Istri pembawa sial

Viona terbangun terlebih dahulu. Tidur di sofa membuatnya tak bisa tidur nyenyak. Apalagi dinginnya AC yang seakan menusuk tulang. Viona menatap jam yang ada di dinding. Ternyata baru pukul empat pagi. Viona berinisiatif untuk mandi terlebih dahulu berhubung belum masuk waktu subuh.

Viona memasuki kamar mandi yang masih asing baginya. Desain yang begitu mewah, bahkan Viona tidak melihat bak mandi atau pun gayung. Benar-benar seperti kamar mandi orang kaya.

"Apa aku harus mandi sambil berdiri?" gumam Viona sambil melihat sower yang ada di hadapannya.

Tidak ada pilihan lain, Viona mandi sambil berdiri. Namun, karena dia belum terbiasa mandi di bawah guyuran sower, kepalanya ikut basah. Padahal Viona tak berniat keramas pagi ini. Tetapi rambutnya sudah terlanjur basah.

"Benar-benar ribet kalau mandi di kamar mandi orang kaya. Mungkin nanti aku mandi di kamar mandi pembantu saja," gumam Viona.

Setelah selesai dengan ritual mandinya, Viona bertadarus sambil menunggu adzan subuh. Tentu aktivitas Viona mengusik tidur nyenyak Rey. Sejak tadi Rey menutupi telinga dengan ke dua tangannya.

"Stt berisik sekali sih, " Rey membuka ke dua matanya, mengedarkan pandangannya ke sekitar. Rey melihat Viona yang sedang duduk di atas sajadah sambil mengaji.

"Hei, bisa diam tidak? Pagi-pagi kok sudah berisik," tegur Rey.

Viona berhenti mengaji, dia menengok ke belakang menatap suaminya. "Maaf, Mas. Aku hanya ingin mengaji saja kok."

"Tapi suara kamu itu membuat tidur nyenyakku terusik. Lain kali kalau mau mengaji itu di luar saja. Lagian di rumah ini ada mushola kok."

"Baik, Kak. Kalau begitu aku keluar saja," Viona berdiri dari atas sajadah, lalu pergi keluar. Dia akan mencari keberadaan mushola di rumah itu.

Sesampainya di mushola, Viona melihat beberapa asisten rumah tangga berada disana. Sepertinya mereka hendak Shalat subuh berjamaah.

"Vio, " panggil seseorang dari arah belakang Viona.

Viona menoleh, melihat Bu Ratih dan Pak Hendra yang sedang melangkah ke arahnya. Viona tersenyum senang, ternyata di tempat barunya yang sekarang semua penghuni rumah itu selalu melaksanakan Shalat berjamaah.

"Nak, mamah senang lihat kamu ikut Shalat disini. Tidak seperti Rey yang tidak pernah mau Shalat bareng kita," ucap Bu Ratih.

"Iya, Nak. Papah harap lain kali kamu bisa membujuk suamimu," sahut Pak Hendra.

"Baik, Pah. Nanti Vio akan usahakan."

Semuanya mulai merapatkan barisan. Begitu pun Pak Hendra memposisikan diri di barisan paling depan. Pak Hendra menjadi imam Shalat di pagi ini.

Pak Hendra dan Bu Ratih saling berjabat tangan. Lalu mereka memperhatikan Viona yang sedang berdoa. Sekarang Bu Ratih merasa tenang karena mempunyai menantu yang cocok untuk anaknya. Setidaknya selama kepergian mereka nanti, masih ada yang mengingatkan anaknya untuk kembali beribadah.

"Pah, jika begini mamah bisa pergi ke luar kota dengan tenang," bisik Bu Ratih di telinga suaminya.

"Benar, Mah. Viona bisa membimbing Rey agar rajin beribadah selama kita tidak ada. Walaupun selama ini kita memang sudah sering membujuk Rey, tetapi tidak berhasil. Semoga saja jika yang menasihati itu istrinya, Rey akan berubah," ucap Pak Hendra penuh harap.

"Amin, Pah. Mamah juga berharap seperti itu."

Ke dua orang tua itu mempunyai harapan besar pada Viona.

...

...

Baru beberapa jam setelah kepergian Bu Ratih dan Pak Hendra, tetapi suasana rumah sudah berubah tegang. Rey mengumpulkan semua asisten rumah tangganya. Begitu juga dengan Viona yang ada disana.

"Selama mamah dan papah di luar kota, semuanya harus menurut dengan aturanku. Kalian semua cukup membersihkan bagian dalam rumah saja. Sedangkan halaman rumah dan taman belakang itu tugas Viona yang mengurusnya," ujar Rey.

"Maaf, Tuan. Tapi itu tugas yang berat jika di lakukan sendirian. Bolehkah saya membantu Nona Viona?" Kepala pelayan yang bernama Marni angkat bicara.

"Tidak perlu! Awas saja kalau salah satu dari kalian berani membantu Viona, saya tidak segan-segan langsung memecat kalian," ancam Rey.

''Baik, Tuan,'' jawab mereka serempak.

Sejenak Rey menatap mereka semua satu persatu. Tatapan matanya yang begitu tajam membuat siapa pun yang melihatnya merasa takut. Termasuk Viona yang kini menundukkan pandangannya.

Setelah kepergian Rey, Bi Marni mengantar Viona ke halaman depan. Memberitahu tugas-tugas yang harus Viona lakukan. Walaupun tak tega, tetapi Bi Marni tak bisa berbuat apa-apa.

''Non, tugas pertama Non Viona menyapu halaman ini. Tapi ini cukup luas, jika Non Vio cape bisa istirahat dulu,'' ucap Bi Marni.

''Baik, Bi. Vio sudah biasa kok melakukan pekerjaan seperti ini. Bibi tidak usah mengkhawatirkan Vio.'' Viona meyakinkan Bi Marni, bahwa dia sanggup melakukan pekerjaan itu.

Baru 30 menit menyapu, belum ada tanda-tanda akan selesai. Beberapa kali Viona mengusap keringat di keningnya. Bahkan jilbab yang dia kenakan juga sudah basah. Viona yang merasa cape, duduk beristirahat sambil berselonjor. Tak lupa dia memijat kakinya sendiri yang terasa pegal.

''Non, ini ada es jeruk untuk Non Vio.'' Bi Marni muncul dengan membawa satu gelas es jeruk yang sengaja di siapkannya.

Viona menoleh ke sumber suara, tersenyum menatap Bi Marni. ''Terima kasih, Bi. Bibi sungguh perhatian sama saya.'' Baru juga Viona akan mengambil gelas itu, suara seseorang menghentikan niatnya.

''Siapa yang mengizinkan Bibi memberinya es jeruk? Bibi jangan lagi peduli sama dia. Biarkan dia minum air putih saja, atau air kran sekalian.'' Rey mendekati mereka, lalu mengambil es jeruk milik Viona.

Viona menyuruh Bi Marni masuk ke rumah, dari pada terus disana nanti malah jadi sasaran kemarahan Rey. Karena Rey sudah jelas melarang siapa pun mendekati apalagi membantu Viona. Rey benar-benar akan memperlakukan Viona seperti pembantu di rumah itu.

...

...

Rey baru mendapat kabar duka dari rumah sakit yang ada di luar kota. Ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan dan tak bisa terselamatkan. Pikiran Rey begitu kacau. Rey masih tak percaya jika orang tuanya akan berpulang secepat itu.

Rey meraih kunci mobilnya dari atas nakas, lalu bergegas pergi. Dia akan ke rumah sakit dimana ke dua orang tuanya berada. Rey berhenti di ruang tengah dan mengumpulkan semua pembantu yang ada di rumah itu.

''Bi Marni, tolong siapkan semuanya untuk acara pengajian nanti malam. Tadi saya baru mendapat kabar duka bahwa mamah dan papah meninggal,'' ucap Rey dengan ekspresi wajah sendu.

''Innalillahi wainnailaihi raji'un,'' ucap mereka serempak.

''Kami turut berduka cita, Tuan,'' ucap Bi Marni.

''Mas, apa aku boleh ikut? Aku juga ingin melihat mamah dan papah.'' Viona sedikit meremas tunik yang di kenakan karena merasa takut saat berbicara dengan Rey.

''Tidak perlu! Lebih baik sekarang kamu bereskan barang-barang kamu dari kamarku. Mulai nanti malam kamu tidur di kamar pembantu. Aku tidak ingin sial seperti mamah dan papah. Pasti karena ada kamu di rumah ini, mereka jadi meninggal,'' ucap Rey penuh penekanan.

Viona tak menyangka suaminya akan berbicara seperti itu. Sungguh perkataannya begitu menyakitkan. Air mata Viona keluar begitu saja dari sudut matanya. Viona sedih di cap sebagai wanita pembawa sial oleh suaminya sendiri.

Bi Marni mengusap punggung Viona memberikan ketenangan. Pasti sangat sulit berada di posisinya saat ini.

''Non, yang sabar ya. Tuan Rey memang seperti itu orangnya.''

''Iya, Bi. Vio akan mencoba ikhlas di perlakukan tidak adil oleh Mas Rey. Vio hanya berharap semoga suatu saat Mas Rey bisa menerima keberadaan Vio.'' Viona mencoba tersenyum walaupun dadanya terasa sesak.

Bi Marni senang karena Rey mendapatkan istri yang berhati mulia seperti Viona. Berbeda sekali dengan Laura, mantan kekasih Rey yang sudah memutuskannya karena mendengar skandal Rey dan Viona. Tetapi Bi Marni bersyukur, karena wanita bermuka dua itu tidak jadi menikah dengan Rey.

Dengan menempuh perjalanan selama dua jam, kini Rey sampai juga di rumah sakit tempat orang tuanya berada. Dia langsung mengurus administrasi, agar orang tuanya bisa segera di pulangkan. Hanya sebentar Rey melihat jenazah orang tuanya. Dia sungguh tak sanggup melihat kondisi orang tuanya yang sudah tak bernyawa.

Setelah mengurus kepulangan orang tuanya, Rey bergegas pulang. Begitu juga dengan jenazah orang tuanya yang kini dibawa oleh mobil ambulance.

Kini suara sirene mobil ambulance terdengar hingga ke dalam rumah. Semua asisten rumah tangga keluar menyambut kedatangan mereka. Tak ada obrolan apa pun, semuanya hanya diam menunduk sedih.

''Bi, apa acara prosesi pemakaman sudah di siapkan?'' Rey bertanya kepada Bi Marni.

''Sudah, Tuan. Di dalam sudah ada Pak Ustadz dan para jamaah masjid yang akan membantu kita,'' jawab Bi Marni.

''Syukurlah. Lalu dimana wanita itu?'' Rey menatap ke sekitar mencari keberadaan Viona.

''Sedang berwudhu. Katanya Non Viona ingin ikut menyalatkan jenazah.''

''Mulai sekarang jangan ada yang panggil dia dengan sebutan Nona. Karena derajat kalian itu sama, dia juga pembantu di rumah ini,'' tegas Rey kepada semua pembantunya.

''Baik, Tuan,'' jawab mereka.

Bi Marni ikut sedih karena Viona di perlakukan dengan tidak baik di rumah itu. Padahal Viona adalah istri sah dari majikannya sendiri. Namun, kerasnya hati Rey tidak bisa menerima wanita berhati mulia seperti Viona.

'Apa sebaiknya saya bantu Non Viona pergi dari sini saja, dari pada Non Viona hidup menderita di rumah ini,' gumam Bi Marni dalam hati.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!