Berakhir juga kerja panjangku hari ini. Pukul tujuh telah berlalu sepuluh menit yang lalu. Sedang kucatat angka penunjuk water meter dan oil meter untuk disimpan dalam laporan yang akurat. Seluruh penggunaan air dan minyak untuk menggoreng mie instant, terhubung dengan alat ini.
Untuk angka hitung minyak dan air di data, kami hampir tidak pernah memalsu. Akan sangat berbahaya jika perkiraan angka yang kami tulis tidak sesuai dengan fakta dilapangan. Hanya berani mengira jika pencatat antara pagi dan malam adalah QC yang sama. Angka itu bisa disesuaikan.
"Dah kah, Ling?" tanya kak Mardiana. Gadis melayu dari pulau pinggiran di Batam.
"Pukul berapa, kak?" tanyaku sambil menutup buku record oil dan water meter sangat tebal.
"Dah lewat dua puluh menit tuh. Yuk, buruan," jawab kak Nita. QC yang bertugas di bagian lab. Orang Melayu juga.
"Yuk, kak,," sambutku sambil menyangkut tali tas di bahu.
Kami tinggal tiga orang saja yang pulang pukul tujuh. Miss Yong sudah pulang pukul lima sore tadi. Rasanya sangat lapang dan bebas jika bos wanita kami sudah tidak lagi berkuasa di ofice QC. Kami bebas untuk menghirup nafas dan kembali menghembuskannya.
Meski begitu, tidak bisa pulang cepat juga saat tiba pukul tujuh. Miss Yong akan memeriksa seluruh data inspeksi record kami di lapangan saat pagi. Jika terjadi ketidaksesuaian atau di luar spesifikasi prodak dalam record, kepulangan kami yang sangat on time akan diungkit dan dipermasalahkan olehnya.
🕸
Rumah cluster itu kembali terang benderang saat pulang. Seperti menyambut kedatanganku yang lelah. Gemericik air terdengar, bersamaan sosok lelaki yang nampak sedang menyirami tanaman dengan air dari selang.
"Assalamu'alaikum,," sapaku saat masuk ke dalam pagar rumah. Tidak disambut olehnya. Mungkin Rush tidak mendengar sapa salamku. Ah, biarlah.. Aku pun laju berlalu.
Kamarku menempel di sisi samping rumah induk. Dengan fasilitas bagus disertai loteng kamar masing-masing. Ada empat kamar yang terpisah. Satu kutempati, satu untuk suami bu Yanti, dan yang dua kamar masih kosong. Ibu kos belum ingin mengisinya.
Teras lapang di depan kamarku untuk berolahraga, dilengkapi juga dengan papan ring basket. Mushola juga tersedia untukku. Hanya dapur yang belum dimiliki. Ibu kos bilang, akan dibuatkan fasilitas dapur khusus untukku sepulang beliau dari haji. Katanya, agar aku leluasa bereksperimen di bidang pangan.
"Assalamu'alaikum, buu,," sapaku pada penguasa dapur. Bu Yanti nampak terkejut menolehku.
"Wa'alaikumsalam.. Eeh,,sudah pulang, Ling?" tanya bu Yanti sambil menaruh piring yang habis dicucinya.
"Iya, bu.. Tinggal nunggu apa lagi, bu?" tanyaku sambil melihat panci berisi sup ayam yang nampak berkebul.
"Sudah, Ling. Kamu duduk saja. Pasti kamu capek, semalam kurang tidur nunggu mas Rus di klinik. Sekarang baru pulang lembur." Bu Yanti berbicara seperti mengeluh dan iba. Aku paham perasaannya. Tapi bagi yang menjalani, terasa biasa saja, tidak semiris yang dipikirnya.
"Nggak papa, kok bu.Waktuku cukup banyak. Justru jika tidak lembur, aku ini mau ngapain. Memang capek, tapi temanku kan ada, bukan aku sendirian yang lembur, buu,," sahutku pada bu Yanti. Sudah kuletak manis pantatku di kursi meja makan. Wanita itu memandangku tanpa menyahut apapun.
"Ehem,,!" suara dehem dari arah rumah bersama dengan pemilik sumber suara, Rushqi.
"Mas, ayo makan bareng sini. Semua sudah siap,," panggil bu Yanti pada anak ibu kos.
Rushqi nampak sudah bugar kembali. Kesan pucat saat kutinggal pagi tadi telah hilang sama sekali. Wajahnya kembali berkharisma seperti waktu kulihat pertama kali semalam.
Pandang mataku tertangkap basah oleh mata dalamnya yang tiba-tiba melaserku. Sedikit kucoba melempar senyum padanya. Tapi lagi-lagi lelaki itu diam saja, dendam sekali kurasa hatiku. Tak kan lagi kusudi tersenyum padamu Rushqi..!
Kusambar piring dan kuisi dengan nasi merah. Ibu kos sangat suka nasi merah. Aku jadi latah dan ikut suka nasi merah. Bagus untuk mengendalikan gula darah.
"Apa setiap hari mengambil over time?" tanya Rushqi tiba-tiba dan tak kusangka. Lelaki itu memandang hangat padaku. Rasa dendam yang berkobar mengotori hati, seketika menguap dari dadaku.
"Bukan aku yang punya niat mengambil. Tapi bosku mewajibkanku lembur. Tidak ada bantahan untuknya." Penjelasanku pada Rushqi meluncur lancar bagai papan ski di atas padang salju.
"Orang mana bos kamu?" tanya Rushqi kembali dengan tatap dalamnya.
"Orang Cina, perempuan. Lajang, tapi judesnya tak ada obat," terangku pada Rush bersemangat. Merasa amat suka mengungkap isi hati ini tentang miss Yong.
Bibir tipis merona itu merapat, tidak melanjut investigasinya lagi padaku. Bu Yanti telah berkata agar kami segera makan dan menghentikan bicara sementara.
Rush langsung diam dan tidak lagi memandangku di depannya. Kini sangat sibuk berurusan dengan seluruh isi di piring yang diambilkan bu Yanti. Bu Yanti sangat perhatian pada Rush.
"Lingga, mana piringmu, biar kuambilkan langsung di panci," pinta bu Yanti dengan langsung mengangkat piringku dan dibawa menjauh dariku. Tentu saja terasa sangat kaget dan haru. Bu Yanti seperti paham dengan tatapan mataku serta suara hati ini. Perlakuan bu Yanti, mengingatkanku pada ibuku.
"Terimakasih, buu,," sambutku saat bu Yanti mengulur piringku kembali dengan senyuman yang hangat.
Telah melimpah sup ayam dengan sayur brokoli empuk di piringku. Sayur favorit dengan rasa yang manis dan segar. Tidak ada apa pun bersamanya. Hanya ada brokoli hijau saja, dan sungguh aku suka.
"Bu Yanti tidak makan sekalian?" tanyaku pada wanita yang berdiri di samping Rush.
"Enggak, aku sudah kenyang," sahut bu Yanti yang mungkin segan pada Rushqi.
"Kenyang? Kapan makan, mbok?" tanya Rush pada asisten di rumahnya.
"Ya, mbok kan masak. Itu tadi habis masak nyicipi sayur brokoli hingga satu mangkuk, nambah sedikit nasi sama nyicipi sup ayam satu mangkuk lagi. Wes kenyang aku ini, mas," jelas bu Yanti tersenyum lebar-lebar. Dan Rush pun tidak lagi berkomentar.
Bu Yanti sering berlogat medok. Dia berasal dari kota Tulung Agung, Jawa Timur. Sama propinsi dengan asalku, namun aku dari Blitar. Sedang keluarga orang tua Rushqi berasal dari kota Solo, Jawa Tengah. Mereka adalah pendatang yang sukses dengan bisnis kulinernya di Batam. Memiliki Restoran besar di ibukota pulau Batam, kota Nagoya.
"Kamu di sini ada sodara, Ling?" tanya lelaki di depanku tiba-tiba. Rush sendiri yang memilih duduk di depanku dengan tepat.
"Enggak, mas." Kugelengkan wajahku. Cepat kuambil gelas berisi air yang sudah kutuang dari tadi. Rasanya hampir tersedak saat menjawab tanyanya.
"Lalu, yang bawa kamu siapa?" tanya Rush.
"Disnaker kotaku," terangku setelah gelas ini kuletak dengan aman.
"Kenapa pilih pergi ke Batam?" Rushqi terus saja bertanya. Sebenarnya risih jika ditanya detail begini.
"Kangen dengan pacarku," kujawab jujur alasanku kala itu.
Rushqi nampak berkerut dahi dan alis itu diangkatnya tinggi sesaat.
"Kamu berkerudung seperti itu, pacaran juga,,?" tanya Rush terheran. Sebenarnya paham dengan maksudnya. Kurasa Rushqi ini adalah lelaki muslim yang on rule. Atau juga justru free rule.
"Apa salahnya dengan orang berkerudung. Masak khusus orang berkerudung saja yang nggak boleh pacaran,,, kan pacaran nggak melulu neko-neko,,," sahutku dengan ekspresi herannya.
"Begitukah menurutmu? Iya juga,,," gumam Rush sambil manggut-manggut padaku. Lelaki itu terdiam dan kembali makan dengan fokus.
Diam-diam, kini aku yang terheran menatapnya. Apa Rush tidak memiliki pacar? Tidak jatuh cinta? Tapi lelaki dewasa dan semenarik Rush, setidaknya dari fisik yang kulihat, cukup aneh jika jomblo. Kecuali,,, apa Rush telah menikah? Atau memang on rule dan sangat sholeh.. Semuanya bisa jadi…
🕸🕸🕸
Terimakasih buat kakak yang sudah ngasih Vote... Yang belum,, kasih dooong... Love You...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Lili Aprilia
rusqi ngapain nanya nanya soal lingga.... apakah rusqi itu suami author sekarang ya thorrr?????????
2023-10-23
1