Chapter 4

Pesta meriah berlangsung dengan baik dan lancar tanpa hambatan apapun, kecuali kedatangan tiga kurcaci Shila yang sedikit membuat keributan. Selebihnya, para tamu berdatangan mengucapkan doa restu mereka.

Kedua keluarga memilih kembali ke rumah dan berkumpul di ruang tamu bersama Raka, sedangkan Shanum ditemani Lia melepaskan atribut pengantin dari tubuhnya. Kamar hotel yang sudah mereka sewa untuk malam pertama pengantin terpaksa dibatalkan karena kesepakatan Shanum dan Raka.

"Tante titip Shanum, ya, Ka. Kamu tahu sendiri, 'kan, gimana orangnya. Kalian juga udah saling kenal dari kecil malah," ucap Nia, ibundanya Shanum.

Raka tersenyum, sudah hafal betul seperti apa sosok Shanum.

"Padahal Raka canggung banget, Tante. Shanum itu bukan sekedar sahabat, tapi udah kayak saudara Raka sendiri. Jadi, gimana gitu, ya." Raka tertawa garing, begitu susah mengekpresikan keadaan hatinya yang dia sendiri tak tahu seperti apa.

"Lho, kok, masih nyebut Tante aja, sih. Nia sekarang itu mamah mertua kamu. Panggil mamah, dong." Leni menyambar, membenarkan panggilan Raka untuk kedua orang tua Shanum.

Nia tersenyum menanggapi, melirik suaminya yang juga menyematkan senyum. Raka menggaruk kepalanya yang tak gatal, selama ini juga dia terkadang memanggil mereka seperti itu tanpa segan.

"Iya. Maaf, Mah." Raka tersenyum canggung.

"Nah, gitu, dong!" Leni menyambar lagi.

"Biasanya juga suka manggil kayak gitu kalo lagi ke rumah. Benar, kalian itu emang udah kayak saudara. Mungkin karena sama-sama anak tunggal, ya. Makanya butuh teman gelut gitu." Nia tertawa bila mengingat persahabatan mereka yang begitu kental.

Sementara di kamar, Shanum baru saja membersihkan dirinya. Lia masih duduk di sofa menemani. Shanum yang meminta karena gugup menghadapi malam pertamanya.

"Sha, mamih minta aku pulang. Kakak aku yang dari luar negeri pulang. Aku nggak bisa nginep," ucap Lia menyesal.

Shanum menjatuhkan kedua tangannya yang sedang membersihkan rambut. Tersirat kekecewaan di wajahnya yang manis dan tampak sempurna itu.

"Maaf. Soalnya kamu tahu sendiri, kakak aku tuh nggak pernah lama kalo pulang. Besok pasti udah pergi lagi." Lia beranjak, memeluk Shanum penuh penyesalan.

"Aku takut tahu. Rasanya canggung banget. Padahal dulu biasa aja waktu Raka sering main ke rumah," keluh Shanum seraya melepas pelukan.

"Aku ngerti. Nanti juga lama-lama biasa. Ayo, turun. Aku mau pamit sama om dan tante." Lia menarik tangan Shanum untuk keluar dari kamar.

Tak terlupa, gadis itu mengambil sisir karena rambutnya masih berantakan. Sudah menjadi kebiasaan Shanum, dia akan meminta Nia untuk menyisir rambutnya selepas mandi.

Ia berdiri gugup ketika Lia berpamitan pada semua orang. Sangat disayangkan karena seharusnya gadis itu pun menginap di sana.

"Mah!" Shanum duduk di dekat Nia memberikan sisir itu padanya.

"Lho. Ka! Ambil, dong. Bantu sisir rambut istri kamu itu," sergah Leni sembari menyambar sisir yang hendak diambil Nia dan memberikannya kepada Raka.

"Sini, Sha. Biar tugas kedua orang tua kamu aku yang gantikan!" serunya sedikit lantang demi menenggelamkan gugup di hatinya.

"Hah ... mamah jadi ngantuk. Pah, ayo tidur!" Leni menarik tangan suaminya dan pergi ke kamar.

"Iya. Tiba-tiba jadi ngantuk begini." Nia juga ikut beranjak diikuti suaminya masuk ke kamar tamu.

"Mah! Pah!" panggil Shanum gelagapan.

"Udah, sini!" Raka memanggil, mencoba bersikap biasa saja meski rasa gugup melanda hati.

"Yang bener nyisirnya!" Shanum bersungut-sungut malu. Kedua belah pipinya merona merah, ia beringsut tanpa berpaling pada laki-laki itu.

Raka tersenyum, mulai membelai rambut Shanum yang basah.

"Harum banget rambut kamu," lirih Raka menggoda.

"Ish. Ini, 'kan, shampo kamu. Baunya sama kayak bau rambut kamu," sahut Shanum semakin gugup.

Raka terkekeh, dengan perlahan dan lembut menyisir setiap helai rambut itu. Jantung keduanya bagaikan genderang yang ditabuh oleh seorang algojo. Berdentam-dentam tak menentu.

Beberapa saat keduanya hanya diam, tak ada bahasan lagi untuk diperbincangkan. Sampai Raka menghela napas, tapi tangannya masih betah menyisir rambut sang istri.

"Maaf, ya, Sha. Padahal aku tahu tipe laki-laki idaman kamu itu kayak apa, tapi kamu harus nikah sama aku. Jauh banget, ya," ucap Raka setelah sekian lama hening. Ia tertawa garing, mulai menyukai kegiatan barunya itu.

"Apaan, sih, Ka. Udahlah nggak usah bahas itu," kilah Shanum tak ingin Raka merasa rendah diri di hadapannya.

"Yah. Kamu tahu, 'kan, aku ini cuma punya toko kecil yang pendapatan per harinya itu nggak seberapa. Beda sama kamu yang bercita-cita memiliki suami seorang pengusaha besar," ucap Raka merasa tak enak hati.

"Semua orang memulai segala sesuatu itu dari kecil. Kita aja merangkak dulu baru bisa lari. Toko kecil itu kalo kita kembangkan dan jalankan dengan penuh syukur, insya Allah akan menjadi besar." Shanum menasihati agar Raka tak berkecil hati.

Laki-laki itu tersenyum, salah satu sifat yang dia sukai Shanum. Terlahir dari keluarga kaya dan hidup berkecukupan, dia tak lupa caranya bersyukur.

"Makasih, ya, Sha. Kamu mau, 'kan, temenin aku dari nol? Kita merintis usaha sama-sama," ucap Raka menyudahi kegiatan menyisir rambut sang istri.

Shanum menghela napas, perlahan memutar tubuh ke depan. Dan menoleh ke samping pada suaminya. Ia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

"Bukannya selama ini aku juga suka bantu-bantu di toko kamu?" ucapnya sembari mengangkat salah satu alis.

Raka memainkan sisir di tangan, tersenyum sambil menundukkan kepala.

"Iya, sih, tapi selama ini kamu itu sahabat aku. Kalo sekarang, 'kan, istri aku. Jadi, beda aja. Keuangan kamu yang pegang, kamu yang atur, aku pasrahin sama kamu," ucap Raka mengangkat pandangan menatap wajah cantik sahabat yang menjadi istrinya itu.

"Mmm ... ya, iya, sih. Duh, kenapa rasanya kayak gini, ya? Gimana gitu? Deg-degan tahu." Shanum menekan dada kirinya, dari dalam sana segumpal daging memukul-mukul membuat sesak.

"Mulai sekarang biasain." Raka tiba-tiba menjatuhkan kepalanya di atas pangkuan Shanum, terlonjak gadis itu karena terkejut.

"Dih! Biasa aja kali. Biasanya juga suka gini, sekarang kayak yang kaget banget." Raka tersenyum menatap wajah gadis itu dari tempatnya sekarang adalah hal yang sangat ia sukai.

Perasaan Shanum semakin tak menentu, jantungnya tak dapat diajak kompromi, terus bertalu-talu seperti di medan pacu.

"Eh, ngomong-ngomong kenapa Shila nggak datang? Pasti ada penyebabnya, 'kan?" Shanum bertanya penasaran, menundukkan pandangan menatap Raka di pangkuan.

Laki-laki itu menghela napas, berbalik memunggungi.

"Dia minta mas kawin yang mustahil, Sha. Kamu tahu sendiri, 'kan, aku cuma punya toko itu. Dia nggak mau kalo cuma alat sholat, tapi akhirnya dia setuju, kok. Nggak tahu kalo jadi kayak gini," ucap Raka kembali terlentang menatap Shanum.

"Emangnya apa yang dia minta?" Shanum bertanya lagi.

"Apartemen yang di tengah kota itu, Sha."

Shanum membelalak lebar.

"Gila si Shila! Udah kayak mau nikah sama CEO-CEO aja dia. Udah tahu calon lakinya Raka, bukan Lee Minho," pekik Shanum sambil berdecak.

"Kayaknya emang cuma kamu perempuan yang tulus sama aku, Sha." Raka mulai memuji.

"Nggak usah bikin jantung aku makin deg-degan, deh!" Shanum memukul lengan suaminya.

Raka tergelak gemas, semua itu ia lakukan demi menutupi kegugupan. Tanpa mereka sadari, empat pasang mata mengintip sambil tersenyum-senyum.

Terpopuler

Comments

Lin Lin

Lin Lin

aduh mba e lee Minho jugayg kaya hidupnya sederhana cemilannya cmn biskuit Roma sama kopi luwak ga smpi 10k ...😆😆🥳

2023-04-05

1

Hafifah Hafifah

Hafifah Hafifah

gila banget tuh baru juga mau nikah udah minta yg macem".udah ketebak tuh lw dia cewek matre

2023-04-04

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!