Sekedar Pengganti
"Gimana? Udah bisa dihubungi belum?"
Raut gelisah dan cemas begitu kentara di wajah seorang wanita paruh baya berkebaya gold. Ia bertanya pada seorang laki-laki lebih tua usianya.
"Belum, Mah. Dari tadi ditelpon nggak bisa-bisa," jawab lelaki itu tak kalah panik.
Pesta meriah sudah digelar, dekorasi mewah begitu sempurna dengan taburan bunga sesuai dengan yang diinginkan mempelai wanita. Janur kuning bertuliskan nama kedua mempelai, Shila dan Raka, terpasang sangat cantik.
Namun, akad yang seharusnya dilakukan dua jam yang lalu, belum juga terlaksana dikarenakan mempelai wanita yang tak kunjung hadir.
Seorang gadis berkebaya putih tulang mendekat, ia tampak cantik dengan rambut yang disanggul dan beberapa helainya dibiarkan tergerai di kanan dan kiri. Polesan make-up sederhana yang melekat di wajahnya, menyempurnakan kecantikan makhluk Tuhan itu.
"Gimana, Om, Tante? Udah ada kabar dari Shila? Ini udah jam sebelas. Tamu udah banyak yang datang, pak penghulu juga kelihatannya udah bosen. Apa nggak nyuruh orang aja buat ke rumah Shila?" cecar gadis itu sama paniknya seperti mereka.
Kedua paruh baya itu saling menatap satu sama lain, bingung dengan keadaan yang pastinya akan membuat mereka malu bila tidak terlaksana. Makanan untuk parasmanan para tamu undangan sudah tersedia, siapa yang akan memakannya?
"Udah, Shanum. Om udah kirim orang, tapi kata mereka rumahnya sepi nggak ada siapa-siapa." Laki-laki itu terlihat frustasi.
Gadis bernama Shanum, melirik mempelai pria yang menundukkan kepala. Hatinya berdenyut nyeri, seharusnya ini menjadi hari bahagia untuk Raka. Akan tetapi, karena ketidakhadiran mempelai wanita menjadi haru duka baginya dan seluruh keluarga.
"Pak, Bu, pak penghulunya mau pamit pergi. Ini gimana? Tamu undangan juga udah banyak yang datang." Nia, ibunya Shanum datang dengan kepanikan yang setara seperti mereka.
Mereka semakin panik, tak tahu harus apa. Lalu, pandangan ketiganya jatuh pada sosok Shanum yang usianya sudah cukup matang untuk menikah. Hanya berjarak satu tahun dari Raka.
"Nak, kamu bisa tolongin Tante dan Om, 'kan?" Leni, ibunda Raka memegangi tangan Shanum.
Alis tebal gadis itu saling berpaut tak mengerti, pertolongan seperti apa yang mereka inginkan darinya. Sementara ia pun tak tahu harus melakukan apa.
"Tolong apa, Tante. Apa Shanum pergi ke kos-kosan temannya aja, ya. Siapa tahu dia di sana." Mata lentik gadis itu berbinar, bibirnya yang tipis turut terkembang sempurna.
Leni menggelengkan kepala, menggenggam semakin erat lengan gadis itu.
"Itu kelamaan, sayang." Leni bergetar hampir menangis.
Shanum tak tega melihatnya, ia menggenggam tangan wanita itu dengan lembut menguatkan hatinya yang sudah pasti terluka.
"Terus gimana, Tante. Kalo kelamaan nanti pak penghulunya keburu pergi," ucap Shanum bingung.
Leni melirik suaminya juga ibunda Shanum, pandangan mereka seolah-olah menyerahkan keputusan padanya.
"Tolong ambil dan gantikan tempat Shila menjadi mempelai wanita," pinta Leni lirih.
Shanum membelalak, tubuhnya oleng dan termundur ke belakang. Ia tidak berniat menikah saat itu juga, apalagi menjadi istri dari sahabatnya sendiri.
"A-apa, Tante? Itu nggak mungkin, Tante. Aku belum mau menikah," tolak Shanum berterus terang.
Jatuh air mata Leni, membuat gadis Nia itu tak tega hati.
"Tolong! Kasihan Raka. Dia pasti akan berubah murung kalo nggak jadi nikah hari ini. Tante percaya sama kamu, kalo kamu bisa menjadi istri Raka yang baik," ucapnya lagi semakin memelas.
Shanum bimbang, menatap ibundanya dengan tatapan memelas. Namun, wanita itu justru tersenyum, dan berkedip mata padanya.
Astaghfirullah! Itu Mak aku bukan, sih? Kok, nggak belain anaknya.
Shanum mengumpat dalam hati, Nia memang menyukai Raka dan dari zaman dahulu kala ingin menjodohkan anak gadisnya dengan laki-laki itu.
Tapi nggak gini juga kali. Mamah!
Wajah Shanum meringis, hampir-hampir menangis. Ia menggigit bibir gamang, tak tahu harus apa.
"Gimana, Pak? Pak penghulu sudah siap-siap mau pergi. Kalo nggak datang juga dia mau pergi ke tempat lain." Ayah Shanum datang menambah gelisah di hati putrinya.
Mereka memang bersahabat.
"Pah, gimana ini? Ya Allah!" Leni menangis tergugu di pelukan suaminya. Tak tega rasa hati Shanum melihatnya.
"Nak. Apa kamu nggak kasihan sama mereka? Mereka cuma punya anak satu-satunya, dan sekarang harus dipermalukan kayak gini. Tolong mereka, Nak." Kali ini ibundanya yang meminta, remasan tangan lembut itu di lengannya mengharapkan persetujuan Shanum.
"Benar, Nak. Papah setuju kalo kamu nikah sama Raka. Dia anak yang baik, Papah dan Mamah juga nggak segan lagi sama dia. Udah kayak anak sendiri, jadi nggak akan canggung lagi." Papah menimpali mendukung rencana mereka.
Shanum menunduk sambil menggigit bibir, tangannya meremas ujung kebaya yang ia kenakan hingga tak sadar manik-manik yang terpasang satu per satu terlepas dan berceceran di atas lantai.
Gadis itu menoleh ke belakang, pada Raka yang masih bergeming di kursinya sambil sesekali mengusap kedua sudut mata. Dia menangis. Untuk pertama kalinya Shanum melihat laki-laki itu menangis.
Ia menghela napas, mengambil keputusan demi rasa kemanusiaan yang ada di dalam jiwanya.
"Bismillahirrahmanirrahim. Baiklah, Shanum yang akan menggantikan tempat mempelai wanitanya." Ia lalu tertunduk, menahan getar di hatinya. Ingin menangis? Tentu saja. Hal ini bukanlah yang dia inginkan.
"Kamu beneran, Nak? Kamu nggak bercanda, 'kan?" Leni berhambur memegang kedua pundak gadis itu. Terlihat sumringah dan wajahnya dipenuhi harapan.
Shanum mengangkat wajah, tersenyum kemudian. Ia lantas menganggukkan kepala sambil menahan tangisan yang hendak menyeruak ke permukaan. Leni memeluknya erat mengungkapkan terimakasih lewat sentuhan.
"Alhamdulillah, ya Allah. Kalo gitu, ayo kamu dandan dulu pake baju pengantin." Semangat menggebu Leni dan Nia menggiring gadis tersebut masuk ke sebuah ruangan.
"Pah, cegah penghulunya supaya nggak pergi!" titah Leni pada suaminya.
Kedua laki-laki paruh baya itu saling menatap satu sama lain sebelum sama-sama beranjak mendekati meja akad.
"Maaf, Pak! Bisa tunggu sebentar? Pengantin wanitanya sudah ada," sergah papah Raka dengan cepat begitu melihat pak penghulu beranjak.
Mendengar itu Raka mendongak, menatap penuh harap pada papahnya. Namun, laki-laki tersebut, tak dapat menjawab pertanyaan tanpa kata itu. Hanya berpaling dengan segera dari pandangan sang putra.
"Jadi, pengantin wanitanya sudah datang?" tanya pak penghulu menegaskan.
"Sudah, Pak. Mohon tunggu sebentar lagi, hanya sebentar." Papah Raka antusias dibantu papahnya Shanum.
"Pah?" Raka memanggil lirih. Air matanya jatuh kembali bersamaan dengan hati yang mengharu biru.
Sang papah menepuk bahunya, "Sudah. Kamu tenang aja. Pengantin wanitanya ada." Raka tersenyum, mengangguk kemudian.
Ia duduk berhadapan dengan pak penghulu, bersiap mengucapkan ijab qabul.
"Nah, itu pengantinnya!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Tiana
like dong
2023-10-06
0
Muawanah
aku mampir nieh kak
lgsg aku ksh vote y+tombol subscribe
2023-05-09
1
🌈Rainbow🪂
👣
2023-04-08
0