Nuri teringat, yang namanya pengantin barukan biasanya pasti akan melakukan yang namanya malam pertama, Nuri kok jadi bergidik ngeri, membayangkan saja dia tidak sanggup, apalagi kalau harus melakukannya.
"Ya Tuhan, bagaimana ini, apa yang harus gue lakukan, gue takut, bagaimana kalau sik Dewa meminta gue untuk melayaninya." Nuri jadi gemetaran sendiri, pasalnya Nuri adalah gadis baik-baik, jangankan melakukan hal yang tidak-tidak, bersentuhan dengan laki-laki saja tidak pernah.
"Bagaimana kalau sik Dewa itu tiba-tiba nyerang gue, dan memperkosa gue, ihhhh." Nuri jadi bergidik ngeri sendiri.
"Lo tidur dibawah, gue gak mau tidur seranjang bersama dengan lo." ujarnya sebagai antisipasi supaya Dewa tidak macam-macam kepadanya.
"Tidur dibawah." ulang Dewa heran, pasalnya merekakan sudah sah sebagai suami istri, jadi kalau tidur bersamakan bukan suatu dosa, "Kitakan sudah suami istri adek, jadi gak apa-apa kalau tidur seranjang." Dewa mencoba memberi pengertian.
"Tapi gue gak mau, gue gak mau tidur sama lo, guekan nikah sama lo karna terpaksa."
"Hmmm, baiklah, kakak akan tidur dibawah, kakak akan melakukan apapun asal adek senang." ujar Dewa sabar.
"Tapi adek, gak mungkinkan kalau kakak tidur dilantai yang dingin, nanti kakak sakit lagi."
"Lo bisa ambil kasur lantai diatas lemari, dan selimut dari dalam lemari gue."
Dewa mengangguk, dia berjalan ke arah lemari untuk mengambil apa yang dia butuhkan.
****
"Babe, ibu, izinkanlah saya membawa Nuri untuk tinggal dirumah saya, meskipun rumah saya sederhana, tapi saya bisa menjamin kalau rumah saya layak dan nyaman untuk ditinggali." ujar Dewa saat mereka sarapan pagi.
Sebenarnya, baik babe Rojali ataupun ibu Nurjanah masih belum benar-benar menerima kalau anak perempuan mereka menikah, apalagi menikah dengan laki-laki yang tidak mereka kenal baik, tapi mereka terpaksa harus mengikhlaskan, daripada menyesali apa yang terjadi, lebih baik menerima saja.
Ibu Nurjanah berkata, "Iya, memang sudah seharusnya istri ikut suaminya, iyakan be."
"Hmmm." babe Rojali hanya bergumam.
Dewa tersenyum mendengar persetujuan dari kedua orang tua Nuri alias mertuanya.
"Terimakasih babe, ibu, saya berjanji akan membuat Nuri bahagia."
"Tapi Nuri mau tinggal disini saja, Nuri tidak mau tinggal dirumahnya Dewa." Nuri menimpali.
"Nuri, apa-apaan sieh kamu, sebagai seorang istri, kamu harus nurut apa kata suami." tandas babe Rojali.
Nuri hanya memberengut, "Bagaimana kalau laki-laki pengangguran ini membuat aku kelaparan, tidak bisa membelikan aku ini itu." itu yang sebenarnya Nuri khawatirkan.
Dan begitu mereka sudah selesai sarapan, dengan menggunakan motor bututnya Dewa membonceng Nuri menuju ke rumahnya.
Dan ternyata rumah Dewa tidak terlalu jauh dari kampungnya, dan meskipun rumah milik Dewa tersebut tidak bisa dibilang rumah gubuk, benar kata Dewa, rumah itu layak dan nyaman untuk ditinggali.
Kenapa Dewa tidak membawa Nuri ke rumah besarnya saja, seperti yang dibilang diawal, Dewa ingin Nuri mencintainya dengan tulus, bukan karna hartanya, sehingga semalam, dia meminta asistennya yaitu Deni untuk mencarikannya sebuah rumah sederhana, Deni tentu bingung dengan permintaan bossnya dan bertanya untuk apa bossnya memerlukan rumah sederhana karna bossnya sudah memiliki rumah yang besar, namun Dewa menjawab pertanyaan asistennya tersebut dengan tidak memuaskan.
"Nahh, ini rumah kita adek, tempat tinggal kita." ujar Dewa meletakkan tas berisi pakai-pakaian Nuri diatas sofa sederhana yang ada diruang tamu.
"Hmmm, boleh juga." gumam Nuri memperhatikan rumah yang akan dia tinggali tersebut.
"Itu adalah kamar tidur kita." Dewa menunjuk salah satu pintu.
"Aku tidak mau tidur satu kamar dengan lo."
"Lho, kenapa adek, bukanya kita suami istri, memang sudah seharusnya kalau kita tidurnya satu kamar."
"Tidak mau, pokoknya gue tidak mau tidur satu kamar, kalau lo memaksa, gue akan pulang ke rumah orang tuaku."
Dewa mendesah berat, dia harus bersabar dalam menaklukkan hati Nuri.
"Baiklah adek kalau itu yang adek inginkan, adek tidur dikamar, biar kakak yang tidur di sofa saja ya."
"Hmmm."
"Aku mau istirahat, aku capek."
"Iya, ayok."
"Kok lo ikut sieh."
"Kakakan harus membawakan pakai-pakaian adek ke kamar."
Nuri merebut tas yang berisi pakai-pakaiannya itu dari tangan Dewa, "Gak usah, gue bisa bawa sendiri."
"Itu berat lho adek, biar kakak bantu bawain ya."
"Gak perlu, gue bisa bawa sendiri." ketus Nuri keras kepala.
"Baiklah kalau adek tidak mau dibantu, sana gieh istirahat."
Nuri melangkah dengan tertatih-tatih menuju kamarnya, selain karna kakinya masih belum sembuh total karna dia juga membawa beban berat.
****
Tok
Tok
Nuri mendengar suara pintu kamarnya diketuk, dia yang saat ini tengah terlelap reflek terbangun.
"Adekk, ayok bangun adek, makan siang dulu."
Nuri menguap, dan mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Adek, makan siang adek."
"Iya." jawabnya malas.
"Ukhhh, tidak bisakah dia membiarkan gue istirahat, gue ngantuk banget."
Dengan ogah-ogahan Nuri turun dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu, begitu dia membuka pintu, dia melihat Dewa tengah menata makanan dimeja, laki-laki yang saat ini telah resmi berstatus sebagai suaminya itu tersenyum begitu melihatnya.
"Sini adek makan siang dulu."
Nuri berjalan mendekat dan duduk disamping Dewa.
"Adek suka lontong sayurkan."
"Hmmm."
"Ayok makan adek, karna kakak belum membeli bahan makanan, jadinya untuk sementara kita beli makanan jadi dulu."
"Kalau boleh tahu, lo kerja apa." tanya Nuri tiba-tiba meskipun yakin kalau suaminya pengangguran.
Dewa yang sejak tadi menyuap menghentikan suapannya, dia mencoba mencari jawaban untuk menjawab pertanyaan Nuri karna dia tidak mungkin menjawab yang sebenarnyakan.
"Hmm, nanti juga adek tahu sendiri kok." jawabnya sok misterius.
"Tapi lo ada kerjaankan, lo bukan penganggurankan."
"Ya bukanlah adek, bagaimana kakak bisa menghidupi adek dan anak-anak kita nanti kalau kakak pengangguran."
"Syukurlah dia ada pekerjaan."
"Bukan menjual narkoba atau..."
"Astagfirullah adek, gak mungkin kakak melakukan pekerjaan haram begitu, meskipun tampilan kakak begini, kakak itu takut dosa lho."
"Syukurlah." desah Nuri lega ternyata Dewa tidak seperti yang dia fikirkan, seenggaknya suaminya tidak pengangguran seperti yang dia fikirkan diawal-awal.
*****
"Gue mau naik angkot saja." tolak Nuri saat Dewa akan mengantarkannya kuliah pagi itu.
"Kakak antar saja dek."
"Gak mau, gue gak mau sahabat-sahabat gue tahu kalau gue udah nikah."
Dewa hanya bisa menghela nafas, kalau ingin mendapatkan Nuri, dia harus bersabar.
"Kakak antar ya adek, kalau adek malu, kakak tidak akan mengantarkan adek sampai kampus kok, kakak khawatir kalau adek naik angkutan umum, sekarang banyak kejahatan terjadi diangkutan umum." Dewa masih belum menyerah membujuk Nuri.
"Baiklah." ujar Nuri terpaksa karna suaminya itu terus saja memaksanya.
Motor butut milik Dewa berjalan bersama dengan kendaraan lainnya dijalan raya, hanya butuh waktu dua puluh menit untuk sampai dikampus Nuri.
Nuri memberengut saat turun dari motor Dewa, gimana tidak, Dewa tidak menepati janjinya menurunkannya agak jauhan dari area kampusnya, Dewa malah menurunkannya didepan kampusnya.
"Dasar pembohong." desisnya cembrut.
"Maafkan kakak adek, kakak tidak tega membiarkan adek jalan kaki, lagian juga jaraknya cukup jauhkan dari kampus adek." ujarnya berharap Nuri tidak marah kepadanya.
"Nanti pulangnya kakak jemput ya."
"Gak usah, gue bisa pulang sendiri."
Dan tanpa permisi atau mencium tangan Dewa terlebih dahulu Nuri masuk ke kampusnya.
Dewa hanya menggeleng, "Sabar Dewa, untuk mendapatkan cinta sejati memang butuh perjuangan."
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Wirda Lubis
sabar dewa
2023-06-04
0