Maria tertawa mendengar kegugupan Lidya. Saat itu juga ia mengerti, Lidya mungkin sedang tidak ingin diganggu. Atau mungkin juga anak gadis semata wayangnya itu sedang asik berduaan dengan suaminya. Setidaknya itulah yang kini ada dalam benak Maria.
Lidya bisa mendengar suara ibunya itu berdehem. "Ya sudah, Nak, nikmati waktu kalian, mama nggak akan ganggu," ucap Maria kemudian, yang sontak membuat Lidya mengembuskan napas lega dengan pelan.
"Makasih atas pengertiannya, Ma," ucap Lidya sembari meringis malu.
"Mama pernah muda dan menikah, jadi mama tahu benar apa yang saat ini terjadi pada kalian," ucap Maria.
Lidya membalasnya dengan kekehan tawa pelan. Padahal dalam hatinya saat itu berucap bahwa ibunya salah besar.
"Ya sudah, kalau gitu mama mau ajak Papa makan malam di restoran," ucap Maria. "Kamu sudah makan?"
"Belum, Ma. Nanti aja, Lidya masih kenyang," jawab Lidya cepat.
Setelah Maria menutup panggilan, Lidya merebahkan tubuhnya pelan. Pergulatannya dengan Alex menyisakan penat dan sakit di beberapa bagian tubuhnya. Ia ingin beristirahat sejenak, sembari menunggu Alex datang dan mungkin mengajaknya makan malam, mengingat sepanjang hari ini tadi mereka hanya makan beberapa suap di pelaminan.
"Alex begitu brutal saat sedang mabuk begitu, aku sampai kewalahan," gumamnya. "Kalau tidak sedang mabuk, apa dia masih seperti itu?" Lidya menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Mikir apa, Lidya? Ingat, kau ini cuma seorang istri abal-abal seorang Alex Pradana, jangan terlalu bermimpi," cibirnya pada diri sendiri.
Lidya mencoba memejamkan matanya sembari menyalakan musik dari ponselnya, ia pun tertidur pulas dalam sekejap.
***
Suara hingar bingar musik dalam sebuah night club, terdengar begitu memekakkan telinga. Banyak pasangan yang menari gemulai mengiringi hentakan dan dentuman, seolah sedang menguji kepekaan dan ketepatan ketukan nada dalam diri mereka masing-masing.
Namun suara itu tidak mengganggu aktifitas Alex yang sedang berdua bersama seorang wanita di kamar VIP, lantai 2, tempat beberapa pasangan muda mudi biasanya menghabiskan malam, dengan sewa yang cukup mahal, karena fasilitasnya yang cukup memadai dan nyaman, layaknya sebuah kamar hotel berbintang.
Alex tersenyum menatap dalam kedua mata wanita yang kini tertunduk di hadapannya. "Kau sudah siap, Lily?"
Wanita yang dipanggil Lily itu hanya tersenyum, tanpa bicara sepatah katapun.
"Kenapa diam?" tanya Alex.
"Aku dengar kau baru saja menikah, hari ini," jawab Lily, sembari tetap menundukkan kepalanya.
"Kau tahu darimana?"
"Ada banyak mata-mataku di luar sana, jangan terlalu meremehkan aku," jawab Lily, kali ini kedua matanya menatap tajam pada Alex.
"Aku terpaksa melakukannya."
Lily tersenyum sinis. "Kau bisa menolaknya jika kau tidak ingin menikah. Bukankah itu soal yang mudah? Papamu pasti akan memenuhi semua keinginanmu, seperti biasanya," ucapnya bernada kecewa.
Alex menghela napas panjang. "Tidak sesederhana itu masalahnya."
Lily tertawa. "Sulit menolak? Apa karena kau sudah menghamilinya, seperti yang kau lakukan pada Heni?" selidiknya.
Raut wajah Alex semburat merah. Darimana Lily tahu tentang Heni yang saat ini sedang hamil dan ingin menjebaknya?
"Kau tahu juga tentang Heni?" tanya Alex.
Lily menegakkan tubuhnya. "Tentu saja, Heni dulu teman sekolahku semasa SMP," jawabnya.
"Lalu, apakah dia mengatakan semuanya padamu?"
Lily menggelengkan kepalanya. "Bukan dia, tapi dari sosial media. Kau lupa kalau nama besar mu sudah setingkat para artis?"
Alex mengumpat pelan. "Kenapa aku bisa melupakannya?"
Lily beranjak dari duduknya lalu menyambar jaket dan sling bag miliknya.
"Kau mau kemana?"
"Pergi. Buat apa aku berduaan di sini bersama suami orang lain?" sinis Lily.
"Jangan pergi, aku akan menjelaskan semuanya padamu," cegah Alex yang lalu menggenggam kedua tangan Lily dengan erat.
"Biarkan aku pergi, Alex. Aku tidak pantas lagi ada bersamamu."
"Tidak, aku sangat mencintaimu, Lily, jangan tinggalkan aku."
Lili tertawa sinis. "Cinta padaku tapi nikahmu dengan orang lain, kau bercanda, Alex Pradana," cibirnya.
"Aku serius, Lily. Tunggu sampai sekitar satu tahun lagi dan aku akan menikahimu, setelah menceraikan Lidya," ucap Alex, mencoba membujuk Lily.
"Oh, jadi namanya Lidya."
Alex mengangguk. "Ya, itu namanya."
"Lalu Heni kau kemana kan?"
"Sebentar lagi dia di penjara, pengacaraku sudah mengurus semuanya. Aku tidak ada hubungan apapun dengannya," jelas Alex.
"Kau dijebak?"
"Begitulah."
Lily melempar kembali sling bag miliknya ke atas sofa, lalu menghempaskan tubuhnya begitu saja, duduk dan bersandar. Jelas terlihat raut lelah pada wajah cantiknya yang adalah seorang brand ambasador sebuah produk kecantikan.
"Maafkan aku," bisik Alex yang kini duduk di sebelah Lily. Satu tangannya menggenggam tangan Lily dengan lembut.
"Aku lelah, Alex," keluh Lily.
"Istirahatlah," ucap Alex penuh perhatian. "Apa perlu ku pijit kedua kakimu?" tawarnya.
Lily menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, kau bukan kacungku," jawabnya.
Alex terdiam menatap wajah Lily penuh tanya. Wanita itu terlihat begitu suntuk, seolah sedang banyak masalah. Alex hendak bertanya, tetapi enggan, karena ia tahu, Lily tidak akan mau jika dipaksa untuk bicara, jika bukan keinginannya sendiri.
Alex mengambil ponselnya lalu memeriksa semua pesan yang masuk. Ia mendecak pelan ketika dari sekian banyak pesan, tidak ada satupun pesan dari istrinya. Istri? Sejak kapan ia mengakui bahwa Lidya itu istrinya? Alex seketika menggeleng dan mengusap kasar wajahnya. "Jangan sampai terpengaruh dengan pernikahan ini, Alex," desisnya dalam hati.
"Kau sudah makan malam?" tanya Lily, memecah kesunyian yang tercipta.
"Belum, aku sengaja datang untuk makan malam bersamamu," jawab Alex.
"Kita pergi sekarang," ajak Lily yang melihat Alex mulai lesu.
"Tapi, Lily, kita masih belum ...."
Lily tertawa pelan. "Jatahmu? Itu nanti, setelah makan malam," tegasnya.
"Jangan sampai berbohong, kalau tidak ...."
"Apa?" Lily melotot menatap Alex, seolah menantangnya.
"Aku akan menyantapmu, sebagai hidangan penutup makan malamku," jawab Alex sembari mengedipkan satu matanya pada Lily.
Lily hanya tertawa lalu menarik pergelangan tangan Alex, mengajaknya ke rooftop, tempat restoran yang ingin mereka tuju berada.
"Kau sudah memesan tempat ini terlebih dahulu, Alex?" tanya Lily tak percaya, saat pesanan tempatnya di tolak.
Alex tersenyum penuh arti. "Seluruh rooftop sudah ku sewa. Kita akan bebas melakukan apapun di sini, tanpa terganggu siapapun, tanpa hiruk pikuk seperti di lantai dasar."
"Ah, dasar orang kaya," gerutu Lily kesal. Ia selalu kalah cepat dengan Alex. Sebenarnya ia ingin sesekali dirinya lah yang membayar semuanya, tetapi Alex selalu saja menolak niat baiknya.
Alex hanya terkekeh lalu melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Lily, membawanya ke tengah area dansa, dimana seseorang sudah mulai memainkan piano, mengumandangkan nada lagu cinta yang kekinian.
Lily tersenyum. Ia begitu terkesan dengan kejutan dari Alex kali ini, biarpun di awal dirinya begitu kesal karena tahu bahwa Alex telah menikahi wanita lain, bukan dirinya yang sudah berpacaran dengan pria itu selama satu tahun belakangan ini.
"Kamu cantik," puji Alex sembari mencium kening Lily dengan lembut.
Lily tersenyum jengah. "Aku wanita ke berapa yang kau puji, hm?"
"Satu-satunya," jawab Alex.
"Bohong."
"Aku jujur padamu, Lily. Seorang Alex tidak mudah memberikan pujian, jika bukan untuk seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya," tegas Alex. "Kenapa kau tidak percaya padaku?"
"Karena kau seorang playboy. Wajar jika aku selalu curiga padamu."
Alex tertawa pelan. "Itu dulu. Sekarang tidak lagi, sejak aku mengenal dan dekat denganmu," bisiknya sembari menggigit pelan cuping telinga Lily.
Mereka berdansa dengan pelan, sesuai irama musik yang mengiringi. Kedua tangan Lily melingkar pada leher Alex dengan erat, sementara bibirnya terkatup dalam cumbuan yang Alex berikan padanya.
"Aku mencintaimu," bisik Alex diantara ciumannya.
Lily tersenyum samar, dalam remang cahaya temaram di tempat itu, Lily melihat Alex mengucap kata cinta sembari memejamkan matanya, bukan menatapnya. Dan itu terasa aneh bagi Lily.
"Siapa yang kau cintai?" pancing Lily.
"Kamu," jawab Alex. "Li--."
Jawaban Alex terputus karena dering ponsel yang seketika membuat Alex membuka matanya dan menatap Lily dengan nanar. "Tunggu sebentar," ucapnya seraya melepaskan pelukannya pada tubuh Lily.
Lily mendesah kecewa. Nyaris ia mendapatkan jawaban jujur dari Alex, tetapi rupanya keberuntungan selalu datang pada pria itu.
"Iya, Pa. Alex ke sana sekarang juga."
Lily menoleh saat mendengar ucapan Alex. Ia yakin ayah Alex telah memanggil kekasihnya itu untuk segera datang. Sekali lagi Lily harus menelan kekecewaannya malam ini.
"Lily, maaf, aku harus pulang sekarang juga," ucap Alex dengan nada menyesal. "Berkemaslah, aku akan mengantarmu pulang."
Tanpa banyak bicara, Lily menyambar tasnya lalu melangkah pergi mendahului Alex.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Sery
Mama Maria salah besar . Lidya tidak nganu-nganu 🤭
2023-04-12
0