Bab 5 Imbalan

Setiap hari, Mas Zayn datang ke toko untuk mengambil haknya berupa dua potong cake dan secangkir kopi sesuai dengan perjanjian kami.

Jika tidak sempat datang di pagi hari, Mas Zayn akan datang pada malam hari.

Malam ini, hari ke enam Mas Zayn menikmati cake gratis dariku. Padahal toko hampir tutup dan Mas Zayn sepertinya tidak perduli akan hal itu.

"Kamu belum pulang, Zi?" tanyanya saat aku mengantarkan cake dan kopi untuknya.

Jika aku tidak ada di toko, aku sudah memberi tahu karyawanku agar memberikannya cake dan kopi jika dia datang.

Aku sudah tahu cake favoritnya. Ia bahkan selalu membeli banyak cake yang ia suka untuk dibawa pulang.

"Seperti biasa, Mas. Aku yang membuka tempat ini saat pagi dan aku juga yang menutupnya saat malam hari."

"Jo, kamu pulang saja! Nanti, biar aku yang mengeluarkan sisanya dari oven," perintahku saat Jojo, salah satu koki yang membantuku di dapur saat ia sedang menyusun roti dan cake di etalase.

"Mbak Zi gak apa-apa ditinggal sendirian?" tanyanya sok merasa sungkan. Padahal ini bukan kali pertama aku memintanya pulang lebih dulu.

Dia memang tidak bekerja dari pagi. Ia akan datang setengah hari jika stok di etalase masih banyak.

Aku menanggapinya dengan tawa. "Sudah biasa, Jo."

Aku melihat Mas Zayn memperhatikanku. Aku menjadi sedikit salah tingkah dan jantungku mulai berdetak tak karuan.

"Sudah sembuh hatinya?"

"Hem?" Aku cukup terkejut dengan pertanyaannya. Dia menanyakan tentang hatiku.

"Sudah sembuh hatinya?" ulangnya lagi.

Aku tertawa tanpa suara. "Sudah."

"Aku harus menatap lurus ke depan, karena melihat ke belakang pun gak ada gunanya."

"Berarti kamu melihatku, dong!" Dia tertawa.

Oh Tuhan, biarkan waktu berhenti agar aku bisa terus melihat tawa itu.

"Ya, karena sekarang Mas Zayn yang ada di depanku," jawabku. Memang benar kan, saat ini dia sedang duduk di depanku.

Zayn menganguk beberapa kali. "Aku sebenarnya ingin bicara serius denganmu."

"Balik dulu, Mbak!"

Ah, Jojo kurang asem. Mengganggu saja!

"Balik sana!" Aku mengibaskan tanganku membuat pria yang baru lulus sekolah tahun lalu itu terbahak.

"Ayam kali ah, main usir aja!"

Setelah Jojo keluar dari tempat ini, aku kembali fokus pada pria yang mengatakan ingin bicara serius padaku.

Aku belum siap sebenarnya. Terakhir kali ada pria yang bicara serius padaku, melamarku dan berniat menikahiku, esoknya malah menikahi kakakku. Jujur saja, trauma itu masih ada.

"Maaf Mas, ingin bicara apa tadi?" tanyaku karena aku masih penasaran.

"Ehm, aku ingin memintamu untuk menemui seseorang."

"Ya, lebih tepatnya aku ingin mengajakmu untuk menemui seseorang."

Apa ini gak terlalu cepat, Mas? Aku belum siap bertemu orang tua mas Zayn.

"Si-siapa?" tanyaku ragu. Kalau benar dia akan membawaku pada orang tuanya, sepertinya aku belum siap.

"Ada, seseorang yang sangat berarti bagiku," ucapnya. Aku melihat wajahnya tampak murung. Ia seperti menyimpan kesedihan yang begitu dalam.

Obrolan saat kami pulang dari pesta pernikahan Reza dan kak Nia membuatku menebak, apa ini ada kaitannya?

Dia mengatakan bahwa tidak ada yang lebih menyakitkan selain berpisah dengan seseorang yang waktunya sudah habis di dunia ini.

Tapi, apa hubungannya dengan dia yang ingin mengajakku menemui seseorang?

Malam itu, aku tidak menanyakan apapun karena dia terlihat sedih dan sepertinya enggan membahas hal itu. Mas Zayn malah mengajakku main tebak-tebakan seperti anak kecil yang aku tahu alasanny adalah untuk mengalihkan pembicaraan kami.

"Boleh ku tahu namanya, Mas?" tanyaku penasaran. Dari pada aku menebak-nebak, lebih baik ku tanyakan langsung.

"Kamu bisa langsung berkenalan saat bertemu dengannya nanti."

Kan, dia membuatku semakin penasaran. Tidakkah dia memikirkan tingkat keingintahuanku begitu besar. Aku bisa mati penasaran kalau begini ceritanya.

"Kenapa Mas Zayn ingin aku menemuinya?" Aku belum puas dengan jawabannya.

Mas Zayn menatapku dalam-dalam. Aku tidak mengerti dengan tatapannya yang tajam namun teduh. Dia seperti melihat luka saat menatapku.

Mas Zayn tiba-tiba membuang muka dan melihat ke atas dengan matanya yang berkedip beberapa kali.

Dia menangis? Mengapa dia menangis saat melihatku seperti tadi? Apa ada yang salah denganku?

"Karena aku ingin melihatnya tertawa lagi."

Apa lagi ini? Aku semakin penasaran saja. Bagaimana bisa aku membuat orang yang dia maksud tertawa lagi? Apa aku harus memakai kostum badut?

"Bagaimana aku bisa membuatnya tertawa lagi, Mas? Apa aku harus memakai kostum atau merias wajahku seperti badut?"

Mas Zayn tertawa. "Tentu enggak, Zi."

Oh, sebuah kemajuan. Dia menghilangkan sapaan mbak sebelum menyebut namaku. Mbak Zi, menjadi Zi. Oke, ini menyenangkan.

"Cukup dengan menemuinya."

"Kapan, Mas?"

"Besok malam."

Jangan tanya seberapa penasarannya aku. Aku berdebar menunggu waktunya tiba. Kira-kira siapa orang yang akan ku temui nanti?

Mas Zayn menjemputku ke rumah sekitar jam 7 malam. Aku memang pulang lebih cepat agar aku punya banyak waktu untuk bersiap.

"Zi, Mas Zayn kamu terlalu ganteng, Nak!" Mama duduk di atas ranjangku sambil memperhatikanku yang sedang memakai lipstik.

Mama baru saja masuk dan membawa informasi kalau pria itu sudah tiba dan katanya berpenampilan luar biasa ganteng.

"Jadi, menurut mama, aku gak pantas untuknya?" tanyaku sambil memastikan penampilanku sudah maksimal.

Bulu mata anti huru-hara, aman. Eyeliner anti air hujan, juga aman. Rambut, oke. Dressku, juga perfect. Hanya hatiku yang lelah dengan perjalanan cinta, ah! Malah curhat.

"Dia cocok denganmu, sayang. Apa lagi dia terlihat dewasa dan nyambung banget sama papa kamu."

Aku seketika menatap mama. "Mas Zayn ngobrol sama papa?"

"Iya lah! Masa sama bibik!"

Aku segera turun sebelum papa menanyakan banyak hal pada Mas Zayn yang awalnya cuma partner yang ku sewa. Jangan sampai papa menanggapi serius hubungan kami.

"Dia memang mandiri, Zayn. Makanya om bangga padanya." Samar-samar kudengar suara papa.

Aku sepertinya terlambat. Papa sudah entah menceritakan apa saja tentangku pada Mas Zayn.

"Terlihat jelas, Om. Dari bagaimana dia mengurus toko kue itu. Dia datang paling pertama dan pulang paling akhir."

"Sudah, Pa?" tanyaku.

"Hahaha... Mendengar obrolan kami, ya?"

Aku mengangguk. "Harusnya Zi turun dari tadi, Pa."

"Papa kan memuji kamu, bukan menceritakan yang buruk-buruk, Zi."

Aku mendekat dan bergelayut manja di bahu papa. "Papa berlebihan."

"Lagi pula, jangan percaya sepenuhnya Mas! Mana ada orang tua yang gak memuji anaknya."

Aku dan Mas Zayn segera pergi dan kami tiba di sebuah rumah yang lumayan besar. Kami masuk ke dalam rumah dan beberapa orang pelayan menyambut kami.

Aku heran, mengapa pelayan-pelayan itu menatapku dengan ekspresi terkejut. Mata mereka membulat bak ingin menerkamku, padahal aku sudah memberikan senyum terbaikku.

Mas Zayn juga sepertinya memberi kode pada semua pelayannya untuk tetap tenang. Seketika pelayan yang jumlahnya lima orang itu menunduk hormat.

Sebenarnya ada apa ini?

Rasa penasaran semakin menjadi-jadi saat Mas Zayn membawaku ke sebuah kamar bernuansa pink muda. Ia menggandeng tanganku untuk berjalan ke arah balkon.

"Belum tidur, Sayang?" sapa Mas Zayn pada seseorang yang duduk menatap bintang di langit.

Terpopuler

Comments

syahira alifa

syahira alifa

apa itu anaknya Zayn??

2024-02-16

0

Andi Sayyid

Andi Sayyid

siapa yaah.....

2023-04-08

2

Andi Syafaat

Andi Syafaat

lanjut

2023-04-06

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!