Tiba-tiba pria bernama Zayn itu muncul di pintu yang sudah tertutup hampir seluruhnya. Hanya menyisakan sela sekitar setengah meter dan Zayn masuk dari sela itu.
"Saya boleh masuk, kan?" tanyanya padaku dan Riri yang masih terpaku karena kemunculannya yang tiba-tiba.
Aku bahkan melihat mulut Riri ternganga dan matanya terbuka lebar.
"Mas Zayn ngapain ke sini? Toko sudah tutup, mas."
"Aku lapar, Mbak Zi. Baru balik dari kantor."
Aku bisa melihatnya. Ia masih memakai kemeja yang sama seperti yang ia pakai pagi tadi.
"Oh, ya. Apa yang tepat dariku?" tanyanya menopang kedua tangannya diatas etalase. Aku khawatir etalase berbahan kaca itu pecah karena tekanan lengannya yang kekar.
Oh Tuhan, aku malah fokus ke lengannya yang terasa sesak dengan kemeja yang ia gulung itu.
"Begini, Mas. Zia butuh emmm..." ku tutup mulut Riri yang ember itu. Enak saja dia mau membongkar aibku di depan orang lain. Untung saja aku bisa bergerak cepat. Kalau tidak, habislah aku.
Aku nyengir ke arah mas Zayn. "Jangan dengarkan dia. Dia suka sekali mengada-ada, Mas."
Riri melepaskan tanganku yang membungkam mulutnya. "Dia butuh partner untuk datang ke pernikahan mantan. Dan dia ingin mas Zayn menemaninya!" Katanya tanpa titik dan koma.
Riri kutu kutu kupret! Bikin malu aja!
Zayn tertawa. "Boleh! Kapan?"
Aku membulatkan mata. Tidak ku sangka pria ini langsung setuju. Apa dia sudah terlalu lama menjomblo sehingga butuh teman wanita atau memang dia terlalu baik? Bersedia membantuku yang notabenenya tidak terlalu akrab dengannya.
"Besok malam."
"Tapi, tidak gratis!"
Apa ku bilang? Dia ternyata tidak sebaik yang ku duga.
"Tidak usah, Mas. Dia hanya bercanda." Aku malas bernegosiasi. Lebih baik ku batalkan saja dari pada memenuhi syarat yang akhirnya akan menyulitkanku.
Dia orang berkecukupan, sudah ku tebak imbalannya bukan uang melainkan sesuatu yang harus ku lakukan untuknya.
"Bayar saja sewanya dengan dua potong cake dan secangkir kopi selama seminggu."
Aku menatapnya heran. "Murah sekali."
Jika dihitung-hitung tidak sampai lima ratus ribu.
Zayn tertawa. "Kalau begitu sebulan saja."
Akhirnya kami bertiga duduk di meja yang sama. Riri lebih banyak bekerja dalam mengurus masalah ini. Dia yang menceritakan masalahku dengan mendramatisir.
Aku hanya bisa pasrah mengikuti aturan main yang Riri buat. Sedangkan mas Zayn mendengarkan dengan teliti semua penjelasan Riri sambil menyantap beberapa potong kue yang ku hidangkan.
Riri juga memberitahunya mengenai penyebab kandasnya hubunganku dengan Reza.
"Zia, mas Zayn sudah setuju. Kamunya malah seperti gak yakin gitu." Riri protes karena aku hanya duduk menyandarkan punggungku di kursi seolah aku tidak bersemangat menjalankan rencana ini.
"Konyol banget, Ri." Itu yang ada dalam fikiranku saat ini. Apa aku terlalu berlebihan untuk terlihat baik-baik saja di depan kak Nia dan Reza?
"Konyol apanya? Bukannya kamu sendiri yang bilang butuh partner sewaan?"
"Sekarang sudah ada di depan mata. Sesuai ekspektasi, dan kamu malah mundur?"
Maksudku adalah partner yang bisa ia cari di aplikasi atau mungkin memang ada jasa penyewaan pacar atau apa sajalah. Asal bukan dengan pria yang ku kenal dan pelangganku pula.
Bukankah ini hanya membuatku makin terlihat menyedihkan?
"Kamu harus buktikan ke mereka kalau kamu baik-baik aja, Zi." Riri memegang bahuku.
"Ayolah, Zi. Tunjukkan pada para pengkhianat itu kalau hidup kamu jauh lebih baik tanpa mereka."
Mas Zayn mengangguk setuju. "Kalau menurutku, dia benar. Datang dan tunjukkan pada mereka bahwa kamu mampu menegakkan kepala meski mereka telah menyakiti kamu."
Malam merangkak naik. Aku terpaksa pulang bersama mas Zayn. Kami juga mengantarkan Riri ke kosannya.
Kata Riri, hal ini lumayan bisa membangun chamistry diantara kami berdua. Entahlah, aku tidak memikirkan chamistry diantara kami karena jantungku kehilangan kendali saat hanya berdua dengan pria ini.
Bagaimana bisa dia masih wangi begini, padahal dia baru pulang bekerja? Apa parfumnya begitu mahal sampai sedikitpun tidak tercium bau keringat atau bahkan rokok. Batinku berkecamuk memikirkan pria disampingku.
Ya, aku memang belum pernah melihatnya menghisap benda berasap itu. Atau mungkin dia memang bukan perokok.
Kami terlibat pembicaraan yang lumayan seru. Aku tidak berdebar-debar lagi. Mungkin aku hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri.
Kami membahas masalah pekerjaan dan hal pribadi yang menurutku merupakan informasi penting untuk menjadi modal acting kami besok malam.
"Tebak saja!" Ucapnya saat ku tanya berapa usianya.
"25."
Dia tertawa. Astaga! Tampan sekali. Masa iya, pria setampan ini masih menjomblo?
"Aku gak semuda itu."
"26?"
Dia tertawa lagi. Matanya sampai hampir tertutup karena terlalu sipit. "30."
Woow! Jomblo matang!
Dia tidak sedang menipuku, kan?
"Kenapa mukanya gak percaya gitu?"
"Aku serius. Tahun ini, aku 30."
"Cocoklah sama kamu yang masih 25." Dia tertawa lagi.
Tuhan! Aku bisa terkena diabetes jika terus-terusan melihat senyumnya.
Mengapa selama ini aku tidak pernah memperhatikannya? Mengapa aku melewatkan pria tampan ini begitu saja?
Sial! Ini pasti gara-gara Reza yang brengsek itu. Aku terlalu fokus pada hiu rakus sepertinya sampai tidak melihat lumba-lumba yang memikat ini.
Aku turun dari mobilnya. Aku melihat senyumnya sekali lagi. Lumayan, sebagai pengganti suplemen sebelum tidur.
"Ku jemput besok malam!"
Aku terus tersenyum. "Terima kasih. Sampai ketemu besok, Mas!" Aku melambaikan tangan seperti anak kecil.
Aku terus tersenyum sambil melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.
"Cepat sekali, move on nya, Zi?" Aku mencari sumber suara. Ternyata, cinta pertamaku sedang duduk di sofa sendirian. Papa pasti menungguku pulang.
"Papa? Belum tidur?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Papa sedang menonton tv. Belakangan ini, terhitung semenjak ia menerima undangan kak Nia, papa selalu tidur larut malam. Aku tahu, ia pasti juga memikirkan kak Nia atau mungkin juga memikirkan perasaanku.
Papa mungkin menyesal karena seolah telah membuang kak Nia begitu saja. Padahal aku juga tahu, papa menyayanginya.
Dan papa pasti memikirkan perasaanku yang ia fikir akan sangat terluka karena mereka mengundangku.
"Jangan mengalihkan pembicaraan. Dia siapa? Pacar baru kamu, Zi?"
Aku menggeleng. "Masih PDKT, Pa."
Maaf aku berbohong, Pa. Ini semua ku lakukan agar papa mengizinkan aku pergi dengan mas Zayn besok malam.
"Apa tidak terlalu cepat?"
Aku meringis menunjukkan gigi putihku. "Yang penting pria itu bukan sebagai pelampiasan, Pa."
"Melupakan Reza bukan hal mudah, Pa. Tapi, mengingatnya justru malah membuat hati Zi sakit."
Papa sepertinya mengerti apa maksudku. "Hati-hati dalam bergaul, Zi."
Aku mengangguk. Papa pasti takut aku hamil seperti kak Nia. Ternyata selama ini kak Nia sering ke hotel bersama Reza.
Padahal, setauku kak Nia hanya suka pergi ke club atau karaoke bersama teman-temannya.
Aku tidak sepenuhnya menyalahkan kak Nia. Reza juga bersalah. Pria itu yang serakah, tidak cukup dengan satu wanita.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Andi Syafaat
lanjut.....
2023-04-06
3
abdan syakura
Mas Zayn.....?
TeOoPE!!!
Lanjuttttt Thor 🥰💪
2023-04-04
1
Andi Sayyid
lanjut
2023-04-03
3