...Kali ini othor bawain visualisasi dari dokter Al Farizi , sekaligus putra tunggal seorang kyai atau yang akrab disapa dengan mbah Mumtaz....
🎆🎆🎆🎆🎆🎆🎆🎆🎆🎆🎆🎆🎆🎆🎆🎆🎆🎆
*
*
*
"Dokter Fa rah." sapa Rahman sambil membaca papan nama kecil .
"Iya pak saya, ada apa?" sahutnya lembut dan begitu santun.
Farah mendekat pada Rahman yang hendak bertanya padanya.
"Apa dokter Al hari ini tidak bertugas?"
"Oh, dokter Al. Dokter Al hari ini telah mengambil cuti untuk mengunjungi keluarganya pak." terangnya.
"Kalau begitu, saya permisi dulu pak. Jika ada kendala lebih lanjut lagi bisa segera hubungi dokter jaga lainnya atau juga bisa dengan saya."
Farah pun meninggalkan Khadijah diruangan itu bersama dengan keluarganya. Bagaikan boneka porselin, Khadijah mendapatkan perawatan begitu intensif dan pengawasan penuh dari kedua orang tuanya.
Kini matanya masih terpejam diatas ranjang, dengan posisi kedua tangan yang terlipat ke bagian perut.
Saat itu, matahari mulai terbenam dan berganti petang. Tepat jam lima sore, Abizar dan Bilal telah tiba dirumah sakit untuk menggantikan posisi kedua orangtuanya.
Sambil mengucapkan salam, Keduanya masuk dari balik pintu.
"Wah, coba lihat siapa yang lagi makan." hibur Bilal .
Kedua kakak lelaki Khadijah ini, begitu senang mendapati sang adik dapat makan dengan lahapnya. Mereka selalu memperlakukan Khadijah layaknya adik perempuan kecilnya.
"Ma, tengok abang ..." rengek Khadijah sambil menunjuk batang hidung Bilal yang hanya berjarak beberapa centimeter dari wajahnya.
"Hmm ..." mama berdehem dan menggerutu tak jelas melihat keduanya tengah bertengkar.
"Ayo, segera habiskan ini. Mama mau menyiapkan makan untuk papa juga."
"Khadijah mau mama disini, jangan kemana-mana." pintanya dengan tatap mata sendu.
Melihat permohonan sang putri, Rahman yang berada tak jauh disana lantas menyetujuinya dengan segera.
"Yah, papa setuju. Mama akan tetap disini, biar papa dan bang Abi yang akan keluar mencari makanan." pungkasnya.
Sedangkan Bilal yang mencoba terus menetralkan suasana, mencoba mengambil alih mangkuk sup milik Khadijah dari tangan sang mama.
"Ayo sama Abang!" tegasnya sambil mengangkat sendok ke arah mulut Khadijah.
"Aaaaaaaa ..." tiru Bilal sambil menyodorkan sendok itu perlahan dengan mulut terbuka lebar.
Rayuan demi rayuan pun berhasil Bilal lakukan untuk sang adik, kini gadis itu telah membuka mulutnya dengan lebar persis menirukan sang abang. Dengan lahapnya Khadijah menikmati makan sore hari itu.
"Nah habis kan, ayo cepetan baik. Kita pulang lah, nggak bosen baringan disini terus!" goda Bilal kembali sambil menata rambut Khadijah diantara daun telinganya.
Khadijah mengangguk seraya mengiyakan permintaan Bilal.
Sementara, Rahman dan sang putra sulung tengah berjalan di dekat sebuah taman rumah sakit. Keduanya nampak serius kala membicarakan kejadian yang menimpa sang adik Khadijah.
"Bagaimana kita bisa menemukan mereka ..." keluh Rahman sambil terus menghela nafasnya.
"Pa, inshaAllah Abi akan usaha semaksimal mungkin. Tapi kita juga serahkan semua ini dengan sang pembuat skenario kehidupan." pintanya sambil mengingatkan kembali sang papa yang hendak berputus asa dijalan Allah.
"Astaghfirullah ..." sahut Rahman dengan mengusap-usap dadanya berulang kali.
*
*
*
Kediaman dokter Al .
Disebuah pesantren dengan lahan yang begitu luas, bahkan tak terkira lagi berapa hektar luas tanahnya. Berdiri sebuah pondok pesantren putri dan lelaki, kedua pondok itu terpisah dengan sebuah bangunan masjid besar yang kokoh tepat berdiri tegak di tengah-tengahnya.
Dan terdapat sebuah rumah yang tak cukup besar dan megah, tapi terlihat begitu hangat jika dipandang. Disanalah dokter Al dibesarkan, rumah dari seorang kyai terenal.
Ketika dokter Al baru saja tiba dan telah memakirkan mobil miliknya, dan hendak menuju rumah sang ayah. Sudah terlihat santri dan santriwati berderet memanjang menyambutnya.
Mereka semua nampak menundukkan kepalanya, kepada dokter Al yang melintas dihadapannya. Dan disudut paling ujung, dokter Al telah ditunggu oleh pengurus pondok milik sang ayah.
"Gus Al," sapanya juga sambil meraih tangan Al untuk dapat di cium.
Sebuah pemandangan yang sering terjadi jika berada disebuah pondok pesantren pada umumnya.
"Ayah mana paman." sahut Al santai dengan gaya bahasanya.
Meskipun dirinya adalah seorang anak kyai, Al sama sekali tak memilih jalan seperti sang ayah. Ia telah menentukan jalannya sendiri sebagai seorang dokter dalam hidupnya. Tapi yang tak dapat Al hindari adalah dia terlahir sebagai seorang anak kyai yang akan begitu menyedot perhatian publik kepada dirinya untuk memberi sebuah penghormatan khusus.
"Ayah..." sapa Al dengan wajah rindu mendalam.
Ayahnya telah memiliki usia yang lanjut, bahkan diusianya yang sudah menginjak kepala 80 tahun ke atas yai Mumtaz masih memiliki pesona layaknya anak muda.
Di usianya yang lanjut, masih dapat beraktifitas dengan segudang kegiatan.
"Kenapa ayah tidak beristirahat saja didalam, kan sudah ada paman yang akan mengurus semuanya." protes Al ketika mengetahui sang ayah masih saja mengurus sejumlah pekerjaan berat.
Hari itu, Al mendapati sang ayah masih membantu para kuli untuk mengangkut sebuah pasir ke bangunan pondok berikutnya untuk para santri.
"Ayah hanya berolahraga,"
"Jika tidak seperti ini mana bisa ayah sehat." goda sang ayah pada putra tunggalnya.
Sepeninggal sang istri, yai Mumtaz hingga sekarang hidup sebatang kara. Bahkan ia telah mampu membesarkan Al seorang diri dengan baik. Ibu Al telah wafat ketika melahirkan dirinya kedunia.
"Kapan ayah bisa lihat Al kecil?" goda ayah dengan menyipitkan kedua tatapannya kepada Al.
"inshaAllah..." imbuh Al dengan senyuman.
Dibalik percakapan keduanya, tiba-tiba saja datang seorang seorang wanita yang memiliki suara paling cempreng bahkan terkesan centil jika melihat kepulangan Al.
"Gus Al , MasyaAllah pripun kabarnya!" serunya dengan tubuh yang tak pernah bisa diam pembawaannya.
"Baik." sahut Al singkat.
"Gus mau saya siapkan makanan apa hari ini?"
"Sop, ayam kare, ayam goreng, pepes ikan atau jangan asem!" wanita itu menyebutkan hampir semua makanan kesukaan Al.
Dia adalah Komariyah, seorang anak pengurus dapur dipesantren tersebut. Tapi ia biasa meminta yang lain untuk menyebutnya Miss Riyah.
"Tidak mbak, Al kenyang." tolak Al dengan sopan.
"Gimana si mas Al ini, masak iya baru pulang kenyang. Orang kekasihnya ini sudah menyambut dengan hangat dan penuh suka cita ini loh!" celotehnya dengan berani , bahkan dihadapan yaitu Mumtaz.
Ayah dari Al tersebut sama sekali tak marah ketika sang anak didekati oleh wanita, cukup baginya bahwa Al bisa memberikan sikap yang sopan dimanapun.
Pemuda itu terlihat mengangkat satu ujung bibirnya dengan ragu.
"Ayolah mas, adek buatkan makanan yok!" rengeknya berkelanjutan , kali ini bahkan menggandeng tangan Al dengan pedenya.
"Hm, Komar ..." timpal yai dengan pandangan penuh ketegasan.
Seketika, ia menurunkan tangannya itu yang telah melingkar sempurna di lengan Al.
"Maaf yai, saya reflek jika pujaan hati ini sudah pulang kesini." tuturnya dengan menundukkan kepalanya dan segera mencari alasan untuk menghindari omelan ayah Al.
...BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Juju
Ah, si kom Kom ini paling bisa emang 🤣🤣🤣
2023-04-05
1