Seperti biasa, Zeline yang kini sudah terbiasa bangun pagi, mandi dan juga bersiap, kantung matanya sedikit terlihat, apalagi saat mengingat semalam, dirinya yang tidak bisa tidur, merasa tenang sekaligus khawatir, tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa, intinya dia hanya berharap bisa bertahan dalam situasi yang tidak tahu akan bagaimana kedepannya.
Zeline menghela nafas panjang, kini dirinya telah selesai menguncir rambutnya, setelah memastikan penampilannya, Zeline berdiri, mengambil tas yang ada di meja belajar, lalu keluar dari kamarnya. Langkah Zeline terhenti saat bertemu dengan Zhen. Pria yang sekarang menjadi kakaknya itu, tersenyum manis dan menyapanya.
"Pagi sayang," ucap Zhen merangkul pundak Zeline mengajaknya melangkah bersama.
"Pagi abang," balas Zeline yang kini hanya bisa menurut.
"Oh ya, abang ingin memberitahumu sesuatu."
Tangan Zeline memilin tali tas nya, penasaran sekaligus khawatir dengan apa yang akan Zhen sampaikan.
"A...apa bang?" Entah kenapa Zeline terbata mengucapkan kalimatnya, mungkin karena mereka sedekat ini, selama ini dia tidak pernah sedekat ini dengan lelaki manapun.
Zhen tersenyum mendengar nada suara adiknya yang gugup. Zhen maklum saja hal itu terjadi, dua tahun tidak bertemu, pasti membuat mereka begitu canggung, apalagi selama ini Zhen memang jarang menghubungi Zeline, bukan Zhen tidak sayang, tapi Zhen tak ingin membuat adiknya sedih.
"Nanti setelah kita makan, kamu pasti akan senang dengan kabar yang akan abang beritahukan."
Zeline hanya diam, sama sekali tidak menanggapi ucapan Zhen.
Begitu sampai di ruang makan, Zhen menarik kursi untuk Zeline duduk, lalu dirinya duduk di samping gadis itu.
Sarapan sudah tersedia, mereka pun langsung menyantapnya. Keduanya sama-sama diam sibuk dengan pikiran masing-masing, baik Zhen maupun Zeline saling mencuri pandang, untungnya sejauh mereka melakukan itu, pandangan keduanya tidak bertemu.
"Biar Zeze aja bang," ucap Zeline yang kini mengambil piring bekas makan Zhen.
Zhen hanya membalas dengan anggukan dan senyuman, tatapannya tak lepas dari gerak-gerik Zeline saat ini.
Setelah meletakkan piring di tempat cucian, kini Zeline kembali duduk. Zeline menarik nafas panjang, memberanikan diri menoleh dan menatap Zhen yang kebetulan saat ini juga tengah menatapnya.
"Apa yang mau abang bicarakan?"
"Hmm rupanya kamu tidak sabar," jawab pria itu dengan senyuman.
Melihat Zeline yang menatapnya penasaran, Zhen menegakkan badannya kemudian berdehem dan meneguk minumannya, tiba-tiba tenggorokannya terasa kering.
"Abang mulai saat ini, akan bekerja disini, di perusahaan keluarga kita."
Zeline mengernyit,.menunggu Zhen melanjutkan perkataannya.
Zhen tersenyum, tak ingin berlama-lama, Zhen pun mengatakan apa yang ingin disampaikannya.
"Abang akan tinggal lagi bersama dengan kamu sayang."
"A...apa bang?"
Wajah Zhen berupa kecut, dia bukan tidak tahu mimik wajah Zeline yang ditunjukkannya saat ini, bukan senang bukan, Zeline sama sekali tidak terlihat senang.
"Kenapa? Kamu tidak senang?" Tanya Zhen kecewa.
"Bagaimana ini?" Ucap Zeline hanya dalam hati, jika dia memang benar-benar Zeline mungkin dia akan senang, tapi masalahnya…"
"Kamu tidak suka abang kembali bekerja disini dan menemani kamu?" Tampaknya Zhen belum puas karena pertanyaannya tadi belum adiknya jawab.
"Bukan begitu bang, Zeze senang kok," Zeline segera merubah raut wajahnya.
"Hmm bang, Zeze mau berangkat sekarang," Zeline buru-buru bangkit, saat akan berlari, Zhen menahan tangan Zeline.
"Abang!"
"Biar abang antar."
Mau tidak mau, Zeline pun akhirnya menurut. Mereka melangkah keluar bersama dengan tangan Zeline yang masih ada dalam genggaman tangan Zhen.
*
*
Kini keduanya sama-sama kembali diam, hanya keheningan yang menemani perjalanan mereka saat ini, yang terdengar hanya deru mesin mobil, juga helaan nafas Zeline berkali-kali.
Zhen melirik Zeline yang kini menatap ke depan dengan pandangan kosong, tapi tidak bisa dipungkiri jika saat ini Zhen melihat kegelisahan di raut wajah Zeline.
Akhirnya mobil tiba di depan sekolah Zeline, Zeline bisa bernafas lega, karena setidaknya dia tidak harus kembali berada di satu ruang bersama Zhen.
"Zeze sekolah dulu bang," pamitnya dan segera turun.
Zeline sedikit berlari masuk ke dalam gerbang. Sementara Zhen menatap nanar punggung adiknya yang semakin menjauh, merasa sedih karena tanggapan Zeline tidak sesuai dengan yang dipikirannya.
"Apa sebegitu marahnya kamu sama abang, hingga kamu sudah terbiasa hidup tanpa abang dan sama sekali tidak senang saat abang mengatakan jika abang akan menemanimu lagi," lirih Zhen, dan saat adiknya sudah benar-benar hilang dalam pandangan, Zhen segera melajukan mobilnya meninggalkan sekolah Zeline.
Sementara itu, Zeline yang kini berada di dalam toilet, berkali-kali menghembuskan nafas kasar saat seseorang di seberang sana tidak kunjung menjawab panggilan darinya.
"Kamu kemana aja sih Ze?" Gumamnya saat lagi-lagi yang dia dengar hanya suara operator.
Melihat jam di ponsel yang menunjukkan sebentar lagi bel masuk akan berbunyi, Zeline memutuskan untuk mengirim pesan saja, berharap setelah orang yang dihubungi membacanya, bisa segera menelponnya kembali nanti.
Benar saja, saat Zeline melangkah melewati lorong, bel sudah berbunyi, Zeline sedikit berlari agar segera masuk dan tidak didahului oleh guru yang akan mengajarnya nanti.
Matanya melotot saat melihat dari kejauhan guru mapelnya kini tengah berjalan menuju kelasnya, Zeline yang dari arah berlawanan, segera mempercepat langkahnya, dan dia beruntung saat ketua kelas tiba-tiba ada di samping guru mereka dan entah sedang membicarakan apa, yang terpenting sekarang Zeline akhirnya bisa masuk lebih dulu ke dalam kelasnya, dan tidak perlu menjawab pertanyaan guru kenapa dirinya sampai terlambat masuk kelas. Mungkin setelah ini, ingatkan Zeline untuk berterima kasih pada ketua kelas, karena secara tidak langsung telah menyelamatkannya, bukan hanya sekali tapi dua kali.
"Gue kira loe bolos lagi," celetuk Evan begitu Zeline duduk di kursinya.
"Hmm, gue kira lo udah lupain kita-kita dan bolos sendiri," Rio ikut menimpali.
"Sstt!" Zeline berbalik memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuknya di depan bibir.
Mereka langsung terdiam, saat melihat guru mapel masuk bersama dengan sang ketua kelas.
Guru langsung duduk di kursinya, sementara ketua kelas, tampak berdiri di depan, memanggil satu persatu nama yang tertulis di buku, rupanya pria itu tengah membagikan buku mereka yang kemarin dikumpulkan. Ya pelajaran pertama ini sama dengan kemarin.
"Sudah semua bu," lapor sang ketua kelas.
Bu Siska mengangguk mempersilahkan ketua kelas duduk.
"Buku kalian sudah diterima, silahkan lihat nilai masing-masing, seperti yang sudah ibu lihat ada 4 anak yang mendapatkan nilai tertinggi. Kalian tidak perlu bertanya siapa salah satunya, karena kalian pasti tau, dan untuk ketiga orang yang lainnya adalah Zeline, Rio dan Evan. Zeline yang masih melihat nilainya tersenyum senang, dia akan membuktikan bahwa dia bisa merubah kebiasaan buruk Zeline sebelumnya.
Rio dan Evan saling pandang, tidak menyangka hasil salinan tugasnya pada Zeline mendapatkan nilai tertinggi.
"Mereka bertiga pasti mencontek bu," salah satu murid perempuan yang duduk di sebelah ketua kelas menyuarakan pendapatnya, tidak yakin dan tidak terima dengan hasil yang Zeline peroleh.
"Benar Evan, Rio, Zeline?"
Rio berdiri kemudian mengakuinya.
"Saya dan Evan hanya menyalin jawaban Zeline bu. Dan Zeline, dia mengerjakannya sendiri. Jika mau menyalahkan, salahkan kami berdua."
"Bukankah itu sama saja, dan Zeline mengerjakan sendiri? Itu rasanya tidak mungkin bukan, seperti yang kita tahu selama ini tentangnya, jangan mengerjakan tugas, dia bahkan jarang masuk kelas," ucap murid yang tadi menyuarakan suaranya, meyakinkan seisi kelas, bahwa apa yang dikatakannya benar.
"Berarti benar, apa yang dikatakan Renata?" Bu Siska melangkah mendekat ke bangku Zeline.
"Jawab ibu, Zeline!" Sentak guru itu.
"Zeline mengerjakannya sendiri bu, tidak ada di kelas ini yang memberikan contekan pada Zeline."
Semua murid menatap ke arah ketua kelas yang tiba-tiba ikut menimpali. Begitu pula dengan Zeline, dia menatapnya, mengucapkan terima kasih lewat tatapannya karena sudah ketiga kalinya pria itu menyelamatkannya.
Bu Siska melangkah kembali ke depan, kemudian menuliskan beberapa angka yang tak lain adalah soal-soal yang hampir mirip dengan PR kemarin.
"Untuk membuktikannya, Zeline silahkan maju ke depan dan kerjakan!"
Zeline yang sedari tadi menatap ketua kelas, terkejut ketika namanya disebut, dia tidak menyangka jika ternyata pembelaan ketua kelas, tidak membuat bu Siska berhenti mencari kebenarannya.
"Mampus!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments