Hazeline terpaku sesaat setelah ia tak sengaja menjatuhkan bekal makanan yang ia bawa sejak tadi.
Dia dengan jelas melihat bagaimana keduanya berciuman mesra dengan Catrin yang ada dipangkuan Manu.
Hazeline hampir tak tahu bagaimana caranya bernapas, saat ia menyadari bahwa Manu sudah bermain dibelakangnya. Sejak kapan? Ia tidak tahu.
"Ma-maaf.." entah kenapa kata itulah yang justru keluar dari bibir Hazeline. Melihat tatapan Manu membuatnya tahu, lelaki itu tidak merasa bersalah. Atau justru dia sengaja memperlihatkan momen dirinya bercumbu dengan sekertaris mudanya?
"Keluarlah." Ucap Manu pada Catrin. Perempuan itupun mengangguk dan berjalan melewati Hazeline dengan takut-takut. Hazeline hanya tertunduk dengan perasaan yang tak bisa ia gambarkan.
"Kau mau terus berdiri disana?" Tanya Manu pada istrinya.
Hazeline tersadar, dia berjongkok untuk mengambil bekal yang jatuh. Untungnya tidak tumpah.
"Aku akan mengambilkan yang baru." Ucap Hazeline tanpa mau menatap Manu. Dia segera keluar dari sana, berlari supaya ia tak lagi mendengar panggilan Manu. Entah memang lelaki itu tidak memanggilnya sama sekali, Hazeline sudah tidak perduli. Dia berjalan cepat dan mengabaikan pandangan orang-orang di dalam sana.
Dia keluar dan mendapati Nathan berdiri disebelah mobilnya.
Hazeline hanya menutup sebagaian wajahnya supaya tak ada yang melihat wajahnya telah basah.
Nathan menyadari itu. Dia membuka pintu untuk Hazeline, menutupnya kembali saat wanita itu telah masuk.
Nathan masih berdiri disana, memperhatikan lobi kantor. Barangkali Manu mengejar istrinya walau harapan itu sangat kecil. Beberapa detik Nathan menunggu, Manu tak muncul. Itu artinya pria bertubuh besar itu tidak berniat menjemput istrinya. Nathan pun masuk dan menjalankan mobil.
Nathan menyetir perlahan. Sesekali ia melirik kaca depan melihat kondisi Hazeline. Gadis itu masih menangis dalam diam. Wajahnya berusaha untuk tegar, walau matanya berkata lain.
Nathan akhirnya menepikan mobil. Ia mengambil sesuatu dari balik jasnya kemudian menyerahkannya pada Hazeline.
Wanita itu mengangkat kepalanya, menatap sapu tangan yang diulurkan Nathan.
"Sapu tangan ini memang tidak bisa menghentikan air mata anda. Tapi ia bisa menyekanya."
Hazeline menerima sapu tangan Nathan untuk kesekian kali. Ucapan Nathan bahwa menangisi Manu tidak membuatnya berubah adalah benar. Lalu sekarang ia mengatakan bahwa sapu tangan ini tidak bisa menghentikan air matanya juga benar. Dan entah kenapa kenyataan itulah yang membuatnya semakin tersiksa.
Hazeline mengusap air matanya dengan sapu tangan itu, dan kembali Nathan menjalankan mobil, entah kemana sebab Hazeline pun tidak peduli kemana Nathan membawanya.
Setelah puas terisak, Hazeline mengangkat wajahnya. Tak sadar ternyata mobil sudah lama berhenti. Wanita itu menatap luar jendela. Ini adalah taman yang tadi malam mereka sempat singgahi.
"Maaf, saya tidak tahu harus membawa anda kemana."
Hazeline membuka pintu. Diikuti Nathan yang menjaganya dengan jarak yang dirasa cukup.
Nathan memperhatikan wanita itu masih duduk diam sama seperti tadi malam. Dia menatap kosong kearah kolam pancur yang masih setia dengan air dinginnya.
Akhirnya, Nathan tahu hal ini pasti terjadi. Hazeline pasti akan tahu bagaimana suaminya jika diluar rumah. Itu sebabnya sejak awal Nathan sangat tahu perempuan itu tidak akan bahagia bersama Manu.
Entah apa yang ada dipikiran Hazeline, kenapa perempuan itu menerima pernikahan dengan Manu? Apa yang membuatnya yakin? Nathan ingin tahu, bagaimana pula cara bos yang tak banyak bicara itu merayu seorang gadis untuk dinikahi. Semua itu masih menjadi misteri.
Ponsel Nathan berdering, ia mengangkatnya.
"Iya, Tuan."
'Kau bersamanya?'
Mata Nathan menatap gadis yang masih melamun itu. "Ya, Tuan."
Cukup lama hening diseberang, sampai Manu memberi titah. 'Turuti dan jaga dia.'
"Baik, tuan."
Jaga dia? Kata yang seharusnya tidak diucapkan suami kepada orang lain. Seharusnya, dia sendirilah yang harus menjaga istrinya.
Nathan menyimpan ponselnya dengan hati yang kesal. Padahal biasanya dia tidak peduli jika Manu bahkan menendang wajah orang di depannya. Tapi ini istrinya, begitu buruk sikap Manu untuk gadis yang mendampingi hidupnya.
Nathan kembali menatap kearah Hazeline berada. Tapi dia tidak menemukan gadis itu duduk disana.
"Hah kemana dia?" Nathan segera berlari kecil kearah tempat dimana Hazeline duduk tadi. Kosong.
"Nyonya!" Teriak Nathan. Dia berjalan cepat menuju kedalam taman.
Dia menebarkan pandangan, mencari sosok Hazeline di tempat yang tak ramai itu. Lalu langkahnya terhenti saat menemukan perempuan itu berdiri diantara bunga-bunga yang bermekaran dan berwarna-warni.
Lelaki itu segera berlari mendekat, memastikan kondisi majikannya yang sempat hilang dari pandangannya.
"Lihat." Ujar Hazeline pada Nathan yang baru datang disebelahnya. Hazeline memperhatikan seekor lebah hinggap diatas bunga yang mekar. Nathan ikut memperhatikan ditengah sesaknya napas.
Pandangan perempuan itu mengikuti kearah lebah yang terbang menjauh, menuju bunga yang lain.
Hazeline merasa sedih saat dia mengibaratkan dirinya adalah bunga itu dan Manu-lah lebahnya. Lebah itu kesana kemari hinggap diantara bunga-bunga indah.
Nathan yang mengerti, menatap Hazeline dengan perasaan yang tidak bisa ia artikan. Jelas ia ikut prihatin, gadis itu tidak beruntung. Padahal dengan dirinya yang sering diibaratkan peri oleh pelayan di rumah, ia bisa mendapatkan pangeran berkuda putih.
"Aku terlihat semenyedihkan itu, kan? Kau sampai melihatku seperti itu."
Nathan menundukkan pandangannya. Padahal Hazeline tengah fokus ke bunga-bunga di hadapannya. Tapi ia bisa melihat tatapan Nathan dari ekor matanya.
"Sebenarnya.. kau tahu kan, Nathan. Kau tahu kalau dia melakukan itu dibelakangku. Itu sebabnya kau selalu memberiku sapu tangan karena kau tahu aku lemah dengan air mata yang selalu tumpah."
Hazeline menunduk dengan senyum palsunya. Ia lalu mengulurkan tangan, menyerahkan sapu tangan biru muda itu pada pemiliknya.
"Terima kasih, tapi aku tidak butuh ini lagi." Ucapnya pada Nathan. Dia tak ingin dikasihani pada orang yang bersekongkol dengan Manu untuk menipunya.
Lain dengan Nathan. Rasanya terlalu sering ia melihat air mata wanita sejak Hazeline ada. Itu membuatnya ingin sekali mengubah suasana hati Hazeline. Namun, ia perlu menjelaskan sesuatu terlebih dahulu.
"Aku tidak pernah melihatmu sebagai perempuan yang menyedihkan."
Sedikit terkejut Hazeline mendengar penuturan Nathan. Lelaki itu berbicara non-formal padanya.
"Air mata bukan tanda kelemahan. Dan kau bukan perempuan lemah." Ucap lelaki itu seraya menatap mata Hazeline yang basah.
Pupil Hazeline membesar. Apa katanya? Nathan seperti berubah sikap. Kini dia berbicara seolah bukan pada istri bosnya. Melainkan seperti teman sebayanya. Mata Hazeline sampai berkedip beberapa kali.
Suara gemuruh langit terdengar, rintikan air hujan pun turun. Tapi tak membuat Hazeline bergerak. Ia tersadar saat Nathan menarik tangannya menuju salah satu tempat berteduh.
Hazeline menepuk-nepuk kedua bahunya yang sempat terkena air hujan. Ternyata awan telah berubah hitam dengan derasnya hujan. Mereka terjebak disana.
Hening. Tidak ada yang berbicara, mereka saling diam setelah pembicaraan terakhir Nathan.
"Maaf.. telah membuatmu berpikir seperti itu."
Hazeline menoleh kesamping, tempat Nathan berdiri.
"Aku tidak pernah memandang perempuan lemah. Malah sebaliknya, perempuan itu sangat kuat. Contohnya saja kau. Berulang kali tuan besar membuang masakanmu, tapi kau selalu saja sabar dan terus memasakkannya makanan dan berusaha supaya makanan itu enak agar tuan bisa makan dengan lahap. Begitu, kan?"
Hazeline masih mematung. Ini kali pertama dia mendengar ucapan Nathan yang panjang lebar.
"Kalau aku jadi kau, tentu aku tidak akan mampu. Aku pasti sudah menendang dan menghajarnya habis-habisan karena telah membuang makanan yang susah payah kumasak. Tapi kau bertahan dan tetap ada disampingnya."
Hazeline perlahan mengangguk. "Atau bodoh, sebenarnya."
"Yah, aku tidak berani mengatakan itu juga."
Hazeline sampai tak percaya. Siapa yang bicara padanya saat ini?
"Ah, maaf. Aku.. Salah bicara." Nathan tampak kaku saat ucapannya tak direspon Hazeline. Sejenak gadis itu diam, lalu tertawa melihat salah tingkahnya Nathan.
"Sejujurnya aku juga ingin sekali menghajarnya." Sambung Hazeline yang sudah mengembangkan senyum.
Melihat itu Nathan merasa teduh. Dia bersyukur sebab Hazeline sudah bisa sedikit tenang.
"Katakan sejujurnya, kau benar-benar ingin menghajarnya, kan?" Tukas Hazeline.
"Apa kalau aku jujur, kau akan menutup mulut?"
"Tergantung seberapa besar bayaranku. Haha." Tawa Hazeline. Rasanya sudah lama sekali ia tidak punya teman bicara dan bercanda.
Melihat wajah yang tertawa itu membuat Nathan bergeming sesaat. Untuk pertama kalinya, ia bisa mendengar suara indah Hazeline saat tertawa disampingnya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Neng Bedah
bolak"belom up juga😭😭
2023-04-27
0
Yoan
seru nihh 😍
2023-04-27
1
MamaKenzo
up yg ini ya tor something between us ya ga butuh nih liat novel yg laen ga ada yg bagus.
2023-04-26
2