Immanuel Benzi

Hazeline menatap dress hitam yang tergantung di lemari. Malam ini dia ikut makan bersama Manu. Hazeline sudah masak sesuai permintaan Manu, namun tak seperti biasa, Manu meminta Hazeline menemaninya. Untuk apa? Untuk ikut melempar piring lagi? Batin Hazeline.

Dia menghela napas panjang, hingga akhirnya memilih masuk ke kamar mandi untuk bersiap, karena sebentar lagi Manu akan kembali.

Setelah bersih-bersih, Hazeline keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk putih. Baru membuka pintu, Hazeline dikagetkan dengan sosok Manu yang berdiri menjulang tak jauh dari pintu kamar mandi. Wajahnya datar, tatapannya dingin kearah Hazeline.

Pria itu tak berkata apapun dan memilih keluar dari kamar, menyisakan Hazeline yang akhirnya menghembuskan napas yang sempat ia tahan.

Lama gadis itu di kamar, berdiri di depan cermin sembari menyisir rambutnya yang bergelombang. Ditatapnya gaun yang hanya sepaha itu. Apa yang akan terjadi malam ini, dia tak bisa menebaknya. Manu mengajaknya makan malam dengan dress seperti ini? Sungguh keanehan. Sudah tiga bulan mereka menikah, inilah kali pertama makan bersama. Biasanya Hazeline akan makan setelah Manu pergi. Tentu ini membuat Hazeline tidak tenang.

Pintu diketuk, Hazeline dengan segera membukanya.

"Permisi, Nyonya. Tuan sudah menunggu di mobil sejak tadi." Robert memberi informasi yang membingungkan.

"Menunggu di mobil? Bukankah kami akan makan malam?"

"Benar, Nyonya. Itu sebabnya tuan menunggu anda. Sebaiknya anda segera menyusul, agar tuan besar tidak marah." Robert hendak melangkah, namun tertahan saat mendengar suara Hazeline lagi.

"Tapi.. aku sudah masak menu yang dia minta. Aku pikir kami akan makan malam disini."

"Saya tidak tahu, Nyonya. Segeralah turun. Permisi." Robert menunduk dan berlalu.

Hazeline masih melongo di depan pintu. Jadi, untuk apa Robert sialan itu memberinya menu untuk dimasak jika akhirnya Manu mengajaknya makan malam diluar? Padahal Hazeline sudah menghabiskan 4 jam waktunya di dapur demi supaya Manu tidak mencampakkan lagi piringnya. Tapi ternyata semua itu sia-sia.

Tersadar, Hazeline segera mengambil tasnya dan keluar. Dia terhenti sejenak saat melupakan sesuatu. Ia masuk kembali dan menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Parfum yang dulu ia beli saat kuliah dan tidak pernah ia gunakan lagi karena memang dirinya selalu terkurung di istana berduri milik Manu.

Hazeline diam menatap Nathan yang membukakan pintu untuknya. Seperti biasa, lelaki itu tampak rapi dengan setelan jas abu-abu.

"Nyonya, silakan."

Mata Hazeline menangkap Manu yang duduk dengan sebuah tablet berukuran besar di tangannya. Dia tampak sibuk sampai kehadiran Hazeline pun tak membuatnya teralihkan.

Pintu ditutup, Nathan masuk dan duduk di belakang kemudi. Mobil pun berjalan ketempat yang Hazeline belum tahu arahnya bersama sebuah mobil lain didepan yang mengawal mereka.

"Kau sudah mengubahnya?" Suara bariton Manu membuat Hazeline yang sejak tadi melamun pun menoleh.

"Apa?" Tanya gadis itu tak mengerti.

Manu meliriknya sebentar, kemudian menatap kedepan.

"Sudah, Tuan. Mereka menggesernya sampai lusa." Jawab Nathan sembari mengintip sekilas dari spion depan.

Ah. Hazeline membuang wajah kearah jendela mobil. Sial sekali, tentu saja dia merasa malu. Bagaimana bisa seorang Manu bicara santai padanya? Pria itu bahkan tidak pernah menyebut namanya.

Hazeline menekan power window hingga kaca mobil terbuka separuhnya. Ia mendongak, merasakan angin berhembus untuk mengusir rasa malunya barusan. Seharusnya ia cukup sadar diri bahwa Manu memang hampir tidak pernah berbicara padanya jika bukan untuk sebuah perintah atau larangan.

"Kau."

Hazeline menoleh kembali saat merasa Manu memanggilnya.

"Tutup itu!" Sentak Manu, membuat Hazeline buru-buru menaikkan kaca mobil.

Dia kemudian diam menatap kedepan. Rasa sedih menyelimutinya. Manu selalu saja begitu. Apa dia tak bisa berkata halus?

Diliriknya Nathan. Pria itu juga tengah melihatnya dari spion depan. Pandangan mereka bertemu beberapa detik, sampai Nathan yang memutuskannya karena ia harus fokus ke jalan di depannya.

Hazeline menatap jalanan melalui kaca jendela. Tatapan Nathan masih terikat di matanya. Tatapan yang sangat sering ia lihat jika Manu melakukan hal semacam ini. Membuat Hazeline kini sedikit kesal karena ia tahu Nathan tengah mengasihani dirinya.

Suasana di mobil hening sampai Nathan menepikannya tepat di depan sebuah restoran yang Hazeline sendiri belum pernah kunjungi. Dari luar saja sudah terlihat mewah, Hazeline sebenarnya tak sabar ingin masuk dan mencicipi makanan di dalamnya. Seenak apakah makanan itu sampai Manu mau singgah dan makan disini.

Hazeline berjalan dibelakang. Bukan dirinya yang bersanding dengan Manu, melainkan Nathan yang juga tengah menjelaskan sesuatu pada Manu.

Kalau dilihat-lihat, posisi Hazeline bukanlah seperti istri Manu. Lebih tepatnya pembantu yang terus mengekori Manu.

Mereka berhenti disebuah meja yang tak jauh dari kolam ikan koi berkaca dengan pancuran kecil. Manu belum duduk, dia masih serius berbicara dengan Nathan. Sementara Hazeline berjalan mendekat kearah kolam yang tingginya hampir sepinggang wanita itu.

Dia membungkuk memperhatikan para ikan berenang dengan santai. Jarinya mengetuk-ngetuk kecil kaca saat ikan mampir lewat di dekatnya. Sedikit senyuman terukir di wajah Hazeline melihat ikan itu. Suara air juga membuatnya sedikit tenang.

Senyuman Hazeline tak luntur. Dia terus mengetuk kaca menyapa ikan. Tanpa sadar ia merasa, suara yang sejak tadi ia dengar kini tak lagi ada. Dia menoleh kebelakang, curiga apakah ia sudah ditinggalkan dua laki-laki itu.

Bukan ditinggalkan, Hazeline justru menjadi pusat dua pasang mata yang menatapnya hingga aktifitas kedua orang itu terhenti.

Hazeline buru-buru berdiri tegak. Aktifitasnya mengetuk kaca pasti membuat dua orang itu merasa terganggu.

Bola mata Hazeline kembali melirik manik milik Nathan beberapa detik. Ia dapati pandangan yang sama seperti biasa. Hazeline canggung karena mata Manu pun tak lepas darinya.

Hazeline menunduk dengan kedua tangan saling memilin di depan, tanda bahwa ia merasa bersalah hingga Manu akhirnya membalikkan badan untuk duduk di meja yang sudah ia reservasi.

Hazeline masih bingung. Apakah ia harus ikut duduk atau tetap berdiri disana. Karena apapun yang ia lakukan nampaknya selalu salah di mata Manu.

Mata Manu menatap Hazeline. Wanita itu langsung tahu apa artinya. Ia pun segera duduk dihadapan Manu yang tengah memegang menu.

"Kalau begitu, saya permisi, Tuan." Ucap Nathan. Ia menundukkan kepala kemudian menghilang entah kemana.

Suasana ini terasa kaku bagi Hazeline. Tidak biasanya ia berdua dengan Manu selain di kamar. Itupun ia harus menunggu Manu tertidur duhulu, baru ia berani merebahkan diri disebelah Manu. Dan sekarang, mereka duduk berdua, berhadapan. Tak ada pelayan seperti di rumah, tak ada tamu lain yang datang, mereka benar-benar berdua.

Hazeline ikut membuka buku menu. Matanya langsung membulat menatap gambar makanan yang ada disana. Semua itu, dia pernah memasaknya. Bukan sekali dua kali, sangat sering Manu menyuruhnya memasak semua menu yang ada disana. Lalu, apa makanan disini sangat enak sampai Manu pesan makanan yang sama dengan makanan saat sarapan pagi tadi?

"Samakan saja." Ucap Hazeline pada pramusaji yang datang untuk menulis pesanan mereka.

Suasana kembali hening saat pramusaji pergi. Diliriknya lagi Manu dengan takut-takut. Pria itu tengah sibuk dengan gadget di tangannya, membuat Hazeline sedikit bersyukur dari pada Manu diam saja menatapnya.

Tak lama, pesanan mereka datang. Hazeline memperhatikan bagaimana plattering di restoran itu. Dia ingin menirunya supaya tampilan makanannya terlihat lebih menarik.

Disaat Hazeline masih menatapi susunan makanan diatas piring, Manu sudah menyantapnya. Hazeline bisa mendengar suara sendok Manu yang terus mengayun kearah piring. Manu menyantapnya bukan satu suapan, melainkan sudah beberapa suapan.

Hazeline sampai terperangah. Itu artinya makanan itu sungguh enak. Iapun segera mengambil sendok dan menyuapkan ke mulutnya. Hazeline terdiam mengecap makanan itu. Tunggu, sebentar.

"Ini tidak lebih enak dari masakanku." Gumam Hazeline dengan alis berkerut. Tanpa sadar, suaranya bisa didengar oleh Manu. Sampai lelaki itu menghentikan aktifitasnya.

"Ah, maksudku, makanan ini sungguh enak. Aku akan mempelajarinya supaya hasilnya mirip dengan ini dan anda menyukainya."

Ocehan Hazeline diabaikan Manu. Dia kembali menyantap makanannya.

Hazeline memejamkan mata. Hampir saja dia mengacaukannya. Tapi.. matanya kembali menatap makanan itu. Bagaimana caranya supaya rasa masakannya sama dengan restoran ini? Apa ada yang salah di lidahnya hingga hanya Manu yang merasakan kelezatannya?

Hazeline menghembuskan napas kasar. Tak habis pikir. Dia sulit menerima ini, masakannya jelas lebih enak tapi kenapa Manu malah selalu membuangnya?

"Kau mengeluh?"

Kembali Manu mengagetkannya. "Ah, tidak. Aku-"

"Kau kesal sampai suara napasmu pun aku bisa mendengarnya?"

Hazeline panik. Tak ia sangka bahkan hembusan kuat napasnya juga menjadi masalah.

Jantung Hazeline mulai berdetak kencang. Dia ketakutan.

"Tidak, bukan begitu. Aku-"

Hazeline tersentak saat Manu menghempaskan sendok hingga suara berisik piring itupun berbunyi keras.

Manu menatapnya tajam, membuat Hazeline semakin bergetar. Namun ia berdiri, ingin menenangkan Manu dan menjelaskan bahwa ia tak bermaksud begitu.

"Maaf, aku tidak bermasuk begitu. Aku hanya-"

Ketakutan Hazeline membuatnya ceroboh. Tanpa sadar ia membuat makanannya tumpah dan mengenai pahanya.

"Aaah. Panas!" Hazeline memekik, tangannya reflek mengipas. Namun Manu hanya berdecak dan mencampakkan lap setelah membersihkan mulutnya.

Manu pergi meninggalkannya. Suasana hatinya sungguh buruk karena Hazeline mengacaukan makan malamnya.

"Tunggu, Tuan. Sebentar." Hazeline mengejarnya dengan kaki yang menahan panas. Padahal pahanya hingga kakinya sudah memerah, namun ia mengabaikan itu. Rasa takutnya lebih besar sekarang.

"Tuan, maafkan aku." Hazeline akhirnya berhenti karena tak kuat dengan perih di kakinya. Air matanya menetes saat melihat mobil hitam milik Manu berjalan cepat. Dia ditinggal sendirian.

Hazeline terduduk disalah satu kursi tamu. Dia menangis disana. Disaat bersamaan, dia melihat Nathan datang. Dia berlutut dihadapan Hazeline, mengeluarkan sapu tangannya. Lalu ia lap-kan ke kaki Hazeline yang tertumpah kuah panas tadi.

Hazeline hanya terisak. Ia bahkan tak lagi malu melakukan itu di hadapan Nathan yang hanya diam mengelap kaki Hazeline sampai benar-benar bersih.

TBC

Terpopuler

Comments

MamaKenzo

MamaKenzo

pen blm up lg ya penisirin ama ceritanya.

2023-04-07

0

Onti Titi

Onti Titi

pen ini emang plg pinter deh bikin tulisan menyayat hati

usia kamu berapa sih penn?
berasa insecure deh

wwkkwkkk

2023-04-07

1

Neng Bedah

Neng Bedah

bikin penasaran ceritanya ...lanjut pen...

2023-04-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!