Nathan

Hazeline hanya terisak. Ia bahkan tak lagi malu menangis tersedu di hadapan Nathan yang masih berjongkok mengelap kakinya yang tertumpah kuah.

"Tunggulah disini. Aku akan segera kembali." Nathan berdiri, dia melangkah pergi entah kemana. Hazeline tidak peduli soal itu. Yang ia rasakan saat ini adalah sakit di hatinya.

Manu selalu membuatnya seperti ini. Padahal Hazeline sendiri tidak tahu jika bernapas keras saja membuat Manu langsung murka begitu. Pria yang menjadi suaminya itu juga tidak peduli saat dirinya tersiram kuah panas.

Nathan kembali. Dia berjongkok lagi.

"Maaf, ini mungkin terasa sedikit perih." Nathan mengangkat kaki Hazeline dan meletakkannya diatas pahanya, membuat Hazeline sejenak berhenti memikirkan Manu.

Lelaki itu dengan lembut mengoleskan krim dingin ke kakinya yang memerah.

Dilihatnya cara Nathan memperlakukan dirinya, sungguh lembut dan hangat. Coba saja kalau Manu yang melakukan itu, mungkin dia akan langsung jatuh cinta.

Hazeline menepis pikirannya. Sampai kapanpun monster bernama Manu itu akan terus kasar seperti itu. Mana mungkin Manu menjadi lembut, sungguh sesuatu yang tidak masuk akal.

Hazeline tersentak saat Nathan kembali meletakkan kakinya diatas lantai. Lelaki itu kemudian berdiri.

"Mari saya antar pulang, Nyonya."

Hazeline belum menjawab. Dia bahkan tak ingin pulang. Dia merasa tidak salah, justru Manu-lah yang salah. Itu sebabnya ia tak ingin bertemu lelaki itu.

"Nathan."

"Iya, Nyonya."

"Apa aku bisa kabur saja? Aku tidak ingin pulang. Aku.. takut."

Mata Nathan tak lepas dari wajah yang tertunduk di depannya. Baru kali ini dia melihat Hazeline lemah setelah berhadapan dengan Manu. Biasanya dia hanya akan kesal, namun kali ini tampaknya rasa lelah Hazeline sudah pada puncaknya.

"Ah, maaf. Tolong jangan laporkan ucapanku ini pada Manu." Hazeline menghapus air matanya lalu berdiri.

"Izinkan aku menghirup udara segar sebentar saja. Ya?"

Nathan akhirnya mengangguk. "Baik, Nyonya. Akan saya temani."

Hazeline tersenyum kecil. Ia lalu berjalan kearah dimana mobil yang dikendarai Nathan terparkir.

Nathan mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Diliriknya Hazeline melalui spion depan, gadis itu tengah termenung menatap keluar jendela. Dia pasti masih syok dengan kejadian yang baru dialaminya.

Nathan sendiri tidak tahu kenapa dia malah mau menemani istri bosnya keluar, padahal bisa saja dia ikut dimarahi Manu. Tapi melihat gurat kesedihan di wajah istri bosnya, Nathan merasa tergerak ingin membawa gadis itu menghirup udara segar.

"Kita kemana, Nyonya?" Tanya Nathan, saat dia merasa bingung menentukan arah.

"Terserah padamu."

Mendengar itu malah membuat Nathan semakin tak tahu harus kemana. Diliriknya lagi wajah Hazeline, wajah teduh dan indah itu membuatnya terpaku sesaat.

"Bagaimana kalau ke taman?"

Hazeline meliriknya, lalu mengangguk. Nathan pun melajukan mobil ke taman yang ia maksud.

Setelah sampai, Hazeline keluar dari mobil. Dia berjalan diekori oleh Nathan. Gadis itu duduk di bangku yang berhadapan dengan kolam air pancur. Gadis itu hanya diam menatap air. Sesekali dia mengelap lengannya yang basah terkena percikan air pancur.

Nathan berdiri tak jauh darinya. Dia membiarkan Hazeline menyendiri sejenak. Barang kali gadis itu memang butuh waktu untuk mencerna kejadian-kejadian yang ia alami sepanjang menikah dengan Manu. Nathan tahu, dia pasti kebingungan.

Nathan memperhatikannya. Matanya tak lepas dari Hazeline yang bergeming. Dia menyadari kecantikan istri tuannya. Hazeline bahkan pandai memasak dan melukis, tetapi Manu tidak melihat itu.

Nathan sendiri tidak tahu kenapa bosnya itu tidak tertarik pada Hazeline. Padahal tadi Nathan sempat berpikir Manu mulai menyukai istrinya saat ia mengajak Hazeline makan malam diluar.

Nathan melirik jam di tangannya. Sudah setengah jam, dia harus membawa Hazeline pulang sebelum tuan besar marah.

Baru saja ingin melangkah, ponsel Nathan berdering. Dia segera merogohnya dari saku, ternyata dari Manu.

"Ya, tuan."

'Kemana kau?' Suara berat itu terdengar mengerikan sebenarnya. Namun Nathan sudah terbiasa.

"Saya mengobatinya sebentar, Tuan. Kakinya memerah terkena kuah panas."

Hening diseberang, tak ada suara setelah Nathan mengatakan itu.

'Segera kembali!' Titah Manu yang langsung memutuskan sambungan telepon.

Nathan beralih pada Hazeline, disana gadis itu juga tengah menatapnya. Dengan langkah tenang Nathan mendekati Hazeline.

"Apa itu darinya?" Tanya Hazeline saat Nathan sudah berdiri di dekatnya.

"Tuan menyuruh Nyonya segera kembali."

Hazeline beralih pandang. Rasanya dia tak bisa kembali sekarang. Dia takut, apa yang akan terjadi nanti? Amukan Manu membuatnya tak ingin kembali.

"A-apa.. dia masih marah padaku? Ah, tentu saja dia marah. Aku mengacaukan makan malamnya." Hazeline meremas jarinya. Dia cemas, bagaimana nasibnya saat pulang dan berhadapan dengan Manu nanti?

"Tuan tidak marah. Dia menyuruh Nyonya untuk pulang."

Hazeline mengerutkan dahi sejenak, lalu tertawa kecil.

"Aku lupa, kau bekerja dengannya. Tentu kau berpihak padanya. Iya, kan?"

Nathan sampai mengangkat alisnya saat dituduh begitu. Padahal dari yang ia dengar memang Manu tampak tidak marah. Nada tuan besarnya memang seperti itu.

Nathan menghela napas dan akhirnya memilih duduk satu bangku dengan Hazeline.

"Tuan Manu memang seperti itu. Dia tempramen dan cukup keras-"

"Sangat keras." Potong Hazeline dengan nada lembut dan pandangan lurus kedepan. Baginya sikap Manu sangat berlebihan hanya untuk sebuah helaan napas yang dianggapnya kesalahan.

"Ya, baiklah. Dia memang begitu. Tapi sebenarnya dia baik."

"Hh."

Suara itu membuat Nathan menoleh pada Hazeline yang tersenyum smirk.

"Baik. Cuma kau yang mengatakan dia baik. Itupun karena kau tangan kanannya. Tapi aku tidak yakin dia akan bersikap lembut kalau kau melakukan kesalahan."

Nathan juga tidak tahu soal itu. Pasalnya dia belum pernah melakukan kesalahan. Dia lelaki yang teliti dan cerdas, sebab itu yang membuatnya berada diatas dan menjadi orang kepercayaan Manu untuk semua urusannya.

"Kau tidak menjawab, aku benar kan?" Tanya Hazeline dengan segaris senyum di bibirnya. "Itu artinya dia tidak cukup baik, Nathan. Orang lain tidak boleh melakukan kesalahan. Tapi dia boleh. Itu egois."

"Maka dari itu, jangan lakukan kesalahan, Nyonya."

"Aku mana tahu kalau sebuah helaan napas saja membuatnya murka seperti itu!"

Nathan melihat perubahan di wajah Hazeline. Gadis itu cemberut juga kesal. Nathan sampai tersenyum kecil melihat wajah Hazeline yang lucu baginya.

"Kau tidak tahu. Aku sangat takut padanya. Dia diam saja aku tidak berani dekat, apalagi saat dia marah begitu. Kau lihat tadi, kan, semarah apa dia?"

Hazeline benar. Nathan akui itu. Di kantor pun, Manu sangat amat ditakuti. Bahkan banyak karyawan yang memilih putar arah dari pada harus bertemu dengannya.

"Tapi amarahnya sudah reda, Nyonya. Itu sebabnya dia meminta anda kembali. Lagi pula, ini sudah larut."

"Tahu dari mana kalau amarahnya sudah reda?"

"Dari suaranya. Dia terdengar menyesal saat saya mengatakan bahwa kaki anda memerah tertumpah kuah panas." Nathan tidak berbohong. Dia memang merasa kalau tuannya itu menyesal.

Hazeline tak lagi menyahut. Walau terdengar aneh jika seorang Manu menyesal, tapi dia sedikit tersentuh juga. Apa benar begitu?

Hazeline mendapati Nathan menatapnya. Membuat alis Hazeline kembali mengerut.

"Aku tahu kau mengasihani aku. Tatapanmu padaku."

Nathan mengerjap. Kasihan? Kenapa Hazeline malah berpikir bahwa ia mengasihaninya? Padahal tidak begitu.

"Terima kasih sudah menemaniku. Tapi, berhentilah menatapku seperti itu. Tanpa kau menatap begitupun aku sudah tahu bahwa aku sangat menyedihkan."

Nathan menghela napas. Dia tidam bermaksud begitu, tapi dia juga tak ingin meluruskannya. Lelaki itu berdiri.

"Mari, Nyonya."

Nathan berjalan mendahuluinya. Namun Hazeline menarik jas lengannya hingga Nathan menghentikan langkahnya.

Nathan berbalik, menatap mata Hazeline yang berubah sendu.

"Kumohon, jangan katakan pada Manu kalau kita berhenti disini."

Nathan juga berencana begitu. Dia takkan memberitahu ini pada Manu yang pasti malah akan semakin membuatnya marah. Nathan mengangguk, menyutujui permintaan Hazeline.

"Terima kasih, Nathan. Tapi bisakah kau berhenti memanggilku Nyonya?"

Nathan menunduk, sebagai tanda hormat. Mengubah panggilan pada istri Tuan besar bukan hal mudah.

Terdengar helaan napas dari Hazeline yang kemudian berjalan lurus masuk kedalam mobil. Lelaki itu tersenyum samar. Lucu, itu yang dia lihat dari wajah Hazeline tadi. Menggemaskan.

TBC

Terpopuler

Comments

Dewi Indah

Dewi Indah

kok belom up" lagi pen, aku kepo nih sama kelanjutan kisahnya 😍

2023-04-17

0

Siti Umi

Siti Umi

kl bisa jgn terlalu lama pennn up nya biar ceritanya gak putus dan feel nya dapet😍😍😍😍😊

2023-04-10

0

Neng Bedah

Neng Bedah

Aku selalu menunggu kelanjutan nya pen ....jangan lama"up nya ath pen
cerita nya selalu bikin penasaran....

2023-04-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!