Aku suka satu kutipan dari seorang penulis terkenal, Mbak Dee, soal bagaimana seorang jatuh cinta. Kira-kira Mbak Dee bilang seperti ini; aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun, orang itu hanya dapat kugapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap ke luar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan atau hujan.
Dan ... aku rasa kutipan itu sangat cocok sekali dengan apa yang kurasakan sekarang.
Sudah lima hari aku berada di rumah sakit dan dokter baru memperbolehkanku dijenguk oleh selain anggota keluarga. Dan tahukah kalian siapa yang pertama kali datang menjengukku
Mimi.
Mimi? Sendirian? Aku bingung saat dia masuk ke dalam kamarku dengan hanya ditemani oleh Bang Rian.
Sejak kapan mereka akur?
Mimi yang melihat ekspresi bingungku hanya tersenyum malu-malu. Bang Rian juga terlihat ragu-ragu. Ada apa, sih, ini?
Setelah beberapa lama berbasa-basi, aku akhirnya bertanya. “Skip the chit-chat, Bang, just tell me.” Aku rasa kini aku bisa menebak apa yang terjadi setelah melihat gelagat keduanya. Mimi yang mesem-mesem dan terlalu tenang berada di dekat Bang Rian dan abangku yang sok kalem serta berwibawa.
“Engg, Dek, aku udah jadian sama Mimi,” aku Bang Rian menunduk saat mengatakan itu.
Aku rasa aku tidak mendengarnya dengan jelas. “Apa, Bang? Aku enggak dengar. Abang bilang apa tadi?” Nope, aku mendengar pengakuannya dengan jelas, aku hanya ingin mempermainkan mereka.
“Aku udah jadian sama Mimi, Dek.” Bang Rian mengulangi kalimat yang sama. Aku melihat Bang Juno dan Mimi yang kini ikut-ikutan menunduk; seperti sepasang anak muda yang tertangkap basah mojok di kos-kosan.
Mau tidak mau ekspresi mereka mengundang rasa geli di dalam perutku. Aku tidak dapat menahan tawa. Pada akhirnya, kedua sejoli itu juga terkikik-kikik bersamaku.
Kemudian aku terlalu sibuk untuk menjadi pendengar setia dari dua orang yang sedang kasmaran tersebut. Kedekatan mereka berawal saat kami masih kuliah; Mimi adalah orang yang memberitahu Bang Rian semua hal yang terjadi padaku. Entah itu masalah Geko, Che ataupun yang lainnya. Semenjak saat itu, Bang Rian jadi sering menghubungi Mimi untuk bertanya tentang keadaanku. Nah, setelah aku ada di Jakarta, Bang Rian dan Mimi masih menjalin komunikasi. Katanya Bang Rian sering bercerita masalahku dan meminta solusi dari Mimi. Hingga akhirnya Bang Rian tertarik dengan kepribadian Mimi yang dewasa di balik kalimat-kalimat jujurnya yang agak pedas dan kejutekannya.
Duduk agak lama masih membuatku pusing, oleh karena itu mereka menyuruhku untuk beristirahat kembali. Sebelum Bang Rian pergi untuk mengantar Mimi, Bang Bian sudah berada di rumah sakit untuk gantian menjagaku. Aku kembali terlelap setelah menghabiskan setengah gelas jus yang dibawa Bang Bian dari rumah.
****
Keesokan harinya keseharianku diisi oleh para Teletubbies yang datang dengan formasi lengkap. Wide sampai dari Jakarta tadi malam dan langsung menuju rumah Mimi. Mereka janjian untuk langsung bertemu di rumah sakit. And, look! Walaupun belum terlihat jelas, ada perubahan yang terjadi pada Lulu. “Aku hamil!” Soraknya saat muncul dari balik pintu. Aku memeluknya sebagai ucapan selamat. Walaupun sempat tertidur sebentar, mereka menemaniku hingga sore hari itu.
****
Sudah dua minggu aku dirawat di rumah sakit, akan tetapi dokter belum memperbolehkanku untuk pulang. Kondisiku masih belum stabil sepenuhnya. Aku berusaha meyakinkan Papa dan Pak Dokter agar aku bisa menjalani proses pemulihan di rumah saja, akan tetapi mereka bersikeras untuk tetap membuatku berada dalam pengawasan. Keadaannya akan lebih buruk kalau nanti di rumah kondisiku menurun. Apa boleh buat, aku harus menyerah pada keputusan dokter.
Aku terbangun dan mendapati Bang Rian duduk di kursi sebelah tempat tidurku. Lampu di kamar sudah menyala. Ini pasti sudah malam.
Aku berusaha untuk duduk dengan bantuan Bang Rian. Aku meminta air putih untuk membasahkan kerongkongan yang masih terasa sangat kering saat bangun tidur. Kemudian Bang Rian bersikeras untuk menyuapkan makan malam meski aku bisa melakukannya sendiri. Dia berkilah agar aku dapat makan lebih cepat karena sudah waktunya untuk minum obat.
“Dek.” Bang Rian memanggilku.
Aku menoleh.
“Apa, Bang?”
“Sekarang rasanya gimana? Kamu udah mendingan?” Bang Rian menatapku dalam. Dia akan selalu menatapku seperti ini sebelum memulai satu pembicaraan serius.
Tatapannya membuat aku agak was-was. “A lot better. Kenapa, Bang?” Aku penasaran dengan hal-hal yang ada dalam kepalanya.
“Aku mau tanya satu hal sama kamu, boleh?” Bang Rian meminta persetujuaku dengan tatapan yang sama.
Aku juga menatapnya dan mengangguk mantap. Aku sudah siap ke mana pun arah pembicaraan Bang Rian. “Kenapa kamu nolak Alex?”
Akhirnya. Bang Rian akhirnya mengajukan pertanyaan yang pasti sudah lama bersarang di dalam pikirannya. Pertanyaan yang juga sudah kuajukan juga pada diriku sendiri. Sebenarnya, apa alasan aku menolak Andrew? “Karena aku menganggap dia sama kayak Abang. Dia bilang Abang minta dia untuk jagain aku, makanya aku pikir dia melakukan semua hal itu karena janji dia sama Abang. Makanya aku enggak pernah berharap lebih sama perhatian dia, Bang. Ehm, no.” Aku menggeleng. "Bukannya gak berharap, tapi aku selalu mematikan harapan itu setiap kali dia muncul. Aku gak mau menaruh harapan hanya untuk kecewa, Bang. Abang lihat kan siapa Alex? Mana mau dia sama cewek kayak aku?"
Aku menatap Bang Rian yang juga menatapku. Ada guratan sedih di dalam bola matanya. “Tapi Abang tau apa? Setelah aku menolak Alex, setelah Alex hilang dari kehidupan aku selama lebih dari tiga bulan ini, aku mulai merasa kehilangan dia, Bang.” Air mata sudah mulai menggenang di sudut mataku. Aku tidak tahan jika harus menyembunyikannya lagi. “Aku sadar sama perasaan aku yang sebenarnya saat Alex udah pergi, Bang. Saat aku udah nolak dia.” Setetes air mata bergulir. Aku sudah lama menahan rasa bersalah dan menyesal ini sendiri. Saat Bang Rian berdiri dan menarikku ke dalam pelukannya, tangisku pun menjadi. “Kayra enggak tahu harus gimana lagi, Bang."
Bang Rian mengelus rambutku lembut. “Udah, udah. Jangan nangis lagi, nanti kondisi kamu jadi tambah drop. Udah, Dek.”
Aku berusaha untuk mengendalikan diri. Setelah beberapa saat, isakku mulai reda. Namun, kini aku melihat genangan di dalam mata Bang Rian. “Maafin Abang, ya.”
Aku tidak mengerti, kenapa Bang Rian yang sekarang yang meminta maaf? “Maksud Abang apa?”
Bang Rian menghela napas panjang. “Maafin Abang, Dek. Seharusnya Abang bilang ini dari dulu sama kamu. Abang pikir kamu bakal terima Alex, well, seharusnya kamu memang bilang iya, kan? Abang enggak nyangka jadinya kayak gini.” Dia mengambil tisu dan membersihkan hidung.
Aku mengerutkan kening. Maksudnya apa? Apa yang seharusnya Bang Rian kasih tahu padaku? “Bang, Kayra enggak ngerti.”
Cowok kekar penggila olahraga itu pun kembali mengembuskan napas panjang. “Kay, dari awal Alex yang merencanakan semuanya,” ungkap Bang Juno sembari menatap mataku.
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments