....
"Jangan main-main sama aku, Lex.”
“Aku gak main-main, Kay. Aku serius. Bilang sama aku gimana caranya supaya kamu yakin sama aku.”
Kuperhatikan mata yang berwarna cokelat terang, hampir kuning keemasan itu dengan saksama. Untuk beberapa saat, kucari apa yang ingin kutemukan di sana. Tidak ada. Aku tidak menemukan tanda-tanda yang mengindikasikan bahwa dia tidak memaknai ucapannya. “Kamu benaran serius? Jadi, maksud kamu, kamu serius mau mengenal aku lebih jauh lagi?”
“Ya.”
“Dan kamu mau aku percaya sama keseriusan kamu?”
“Iya, Kayra.”
“Well, kalau gitu aku akan ngasih tahu kamu satu-satunya cara yang akan membuat aku percaya sama omongan kamu ini.”
“Tell me. Aku akan melakukan apa pun itu.”
“Bilang kalau kamu sayang sama aku di depan kedua orang tua aku.”
Dia terdiam untuk beberapa saat sebelum mengangguk dengan dalam. “Baiklah. Tapi, kamu juga harus janji satu hal sama aku.”
“Apa?”
“Kamu harus janji kalau saat itu datang, ketika aku ngomong ini di depan orang tua kamu, kamu bakal terima aku. Kamu gak akan menolak aku.”
Kali ini giliranku yang mengangguk dengan mantap. “Oke. Aku janji. Kamu boleh pegang kata-kata aku.”
....
Alex-lah yang selalu menjadi seseorang yang bisa kupercaya, sosok yang menjadi tempat untukku bersandar dan berbagi kisah. Alex-lah yang selalu ada untukku, yang secara tidak langsung menjadi perpanjangan tangan keluarga di rumah. Alex-lah yang bisa aku percaya.
Dan aku sendiri yang merusak dan membuang semua itu dengan mengingkari janji yang kubuat sendiri.
****
Aku meragukan kemampuanku untuk melupakan kejadian dua minggu yang lalu, saat seorang Alexander Rahardjo menyatakan perasaannya padaku di depan seluruh keluarga. Saat aku menolaknya, berlari masuk ke dalam kamar, dan kemudian mendekam di sana sampai keesokan harinya. Saat semua kenangan-kenangan kami berputar dengan seenaknya di dalam kepalaku. Saat aku mengingat kembali janji yang pernah aku buat dan pada akhirnya aku langgar sendiri. Saat Alex-lah yang menjadi seseorang yang dengan setia menjaga dan menemaniku kapan pun aku butuh.
Saat keesokan harinya kami diantarkan oleh Bang Rian ke bandara dan semua orang berada dalam mode diam yang aneh dan tidak nyaman sama sekali. Saat aku mencoba mencairkan suasana dengan melemparkan komentar-komentar receh dan Alex hanya membalasku dengan tawa yang dipaksakan, atau sebuah anggukan yang aku yakin dia lakukan hanya karena tidak enak hati dengan Bang Rian yang menjadi sopir sekaligus buffer di antara kami.
Saat dia dengan diam-diam memasang galaxy buds miliknya dan memejamkan mata untuk menghindariku percobaan-percobaan menyedihkan dariku. Saat Bang Rian yang biasanya banyak bicara hanya menyetir dengan diam seribu bahasa. Saat kami check-in, masuk pesawat, dan sampai di Jakarta pun, Alex tidak pernah lagi menganggap aku ada. Ketika menunggu bagasi di conveyor belt, dia sekonyong-konyongnya langsung pergi dan meninggalkanku di sana saat dia sudah mendapatkan kopernya. Alex bahkan tidak melengah ke belakang untuk sekadar melihatku.
Aku meragukan kemampuanku melupakan semuanya karena semakin aku mencoba untuk melupakan, semakin erat kenangan itu mencengkram bilik-bilik ingatan. Saat aku mengirimkan pesan permintaan maaf pada Alex sesampaiku di rumah, saat aku mencoba untuk meneleponnya ketika pesanku tak pernah berbalas, yang kudapati hanyalah sebuah pesan otomatis. "I’m busy right now, you can call me later."
Sudah dua minggu, dan aku masih buta akan kabar Alex.
Akhirnya aku mencoba untuk bertanya kepada Bang Rian, menelan harga diriku dan mengadukan keputusasaan yang kurasa sebab usaha-usaha menghubungi Alex yang terbuang sia-sia. “Aku gak tahu pasti, Dek. Tapi, kalau enggak salah waktu itu dia pernah bilang mau ada urusan kantor ke beberapa daerah, kan?”
Untuk sementara, informasi kecil ini sudah lebih dari cukup. Mungkin Alex memang sedang sangat sibuk dan dia benar-benar tak bisa menghubungiku sekarang ini.
....
“Maaf banget, Kay, aku gak bisa balas pesan-pesan kamu dari kemarin. Aku lagi jalan ke pedalaman Maluku buat urusan perusahaan dan ternyata di sana sinyalnya susah pakai banget. Makanya aku memilih langsung ke sini setelah turun pesawat jam setengah sembilan tadi. Dan ... aku minta maaf banget karena udah bangunin kamu, ya.”
....
Mungkin nanti sepulangnya dari daerah-daerah itu, dia akan mampir ke rumah seperti yang pernah dilakukannya sebelum ini. Mungkin nanti setelah dia mendapatkan sinyal yang agak kuat, dia akan menghubungiku.
Dan aku melanjutkan hari-hari dengan terus mencoba meyakinkan diriku menggunakan mantra-mantra itu.
****
Acara pembukaan cabang yayasan akan dilakukan satu bulan lagi dan persiapannya sudah bisa dikatakan hampir sembilan puluh persen rampung. Semua urusan yang berhubungan dengan operasional di cabang sudah selesai dan hal-hal yang berhubungan dengan donatur sedang diselesaikan olehku dengan bantuan Tante Meli. Dan mungkin karena kepergiannya, urusan yang berhubungan dengan yayasan dan RS grup yang biasa ditangani oleh Alex kini ditangani oleh Mbak Puja, manajer Public Relations perusahaan mereka.
Alex.
Sudah dua bulan dan Alex masih belum menghubungiku. Dan aku akui, kecanggungan kini menyelimuti hari-hari. Biasanya, saat lelah melanda dan aku ingin sekali menghibur diri, Alex selalu ada untuk menawarkan suatu bentuk perhatian. Selalu ada Alex yang memberikan kejutan-kejutan. Selalu ada Alex bahkan saat Wide tidak bisa menemaniku karena terlalu sibuk di restoran. Where are you now, Lex?
****
Seminggu sebelum acara peresmian aku sudah berada di rumah lagi. Aku harus memonitor persiapan acara sebelum hari H. Semua donatur dan pengurus yayasan di Jakarta akan diterbangkan ke sini lima hari lagi. Aku harus memastikan semua akomodasi dan transportasi sudah siap dan sesuai dengan keinginan Tante Meli.
Mama masih belum tidur saat aku pulang dari hotel tempat acara akan diadakan. Beliau masih ditemani oleh Bang Rian yang menonton televisi saat aku masuk. Aku berniat untuk langsung menuju ke kamar, akan tetapi tidak semua niat diizinkan oleh Tuhan untuk menjadi kenyataan.
“Kay, kamu baru pulang, Nak?” Mama berdiri sembari melirik ke arah jam dinding yang tergantung di atas layar smart TV sebesar delapan puluh lima inci tersebut dan menghampiriku. Pukul satu lewat sepuluh menit. Dang. Aku tidak sadar sudah selarut ini.
Beliau kemudian menggenggam tanganku dan mengajakku untuk duduk sebentar bersama Bang Rian yang ternyata sudah mematikan TV yang tadi menyala dalam mode mute. “Kamu sibuk banget akhir-akhir ini, Sayang. Mama lihat berat badan kamu turun banyak dari terakhir kali kamu pulang. Kamu pasti jarang makan, kan?” Mama menangkupkan tangannya di kedua pipiku. Matanya memancarkan kekhawatiran seorang ibu. Bang Rian juga terlihat sama khawatirnya.
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments