Aku tersenyum. Meski hatiku perih karena ucapan Mama mengingatkan aku kembali pada apa yang telah terjadi, akan tetapi aku tidak dapat memungkiri rasa yang timbul saat ini. Nyaman sekali rasanya bisa berada di rumah di saat-saat yang berat seperti ini. “Kayra enggak apa-apa kok, Ma. Cuma sibuk sedikit karena peresmian cabang yayasan ini. Setelah semuanya selesai, berat badan aku juga pasti naik lagi kok. Mama jangan khawatir, ya?” Aku menatap Mama dan Bang Rian bergantian, berharap jawaban klise yang kuutarakan dapat meyakinkan mereka berdua. Atau setidaknya aku lebih suka berpikir bahwa aku bisa meyakinkan mereka. “Kayra ke kamar dulu ya, Ma. Besok pagi harus balik ke hotel lagi untuk final check.” Aku berdiri dan kembali melemparkan tersenyum. Aku tahu, sekuat apa pun aku berusaha untuk mengelabui Mama dengan senyum di bibirku, wanita yang telah melahirkan aku itu akan selalu tahu bahwa aku berbohong.
****
Keesokan paginya aku dikejutkan oleh seorang pria yang sudah standby di dalam mobil yang sudah menyala di teras rumah. Bang Rian sudah rapi dan menawarkan diri untuk mengantarku ke semua tempat tujuanku hari ini. Bukan menawarkan, sih. Dia lebih tepatnya memaksa karena melihat kondisiku yang sudah seperti mayat hidup. Katanya loh, ya.
Secara fisik, mungkin aku masih belum mirip dengan mayat hidup; masih ada daging yang menempel di tulangku, kulit di seluruh tubuhku juga masih kencang, wajahku pun belum cekung dan bibirku masih ada di tempatnya. Namun, saat melihat patulan wajahku di cermin pagi ini, aku bisa melihat sumber kecemasan Mama tadi malam. Kantung mataku yang akhir-akhir ini aku coba sembunyikan dengan polesan makeup dan kacamata sudah terlihat sangat besar dan gelap, wajahku juga agak tirus dan pucat—meskipun aku bukanlah seorang gadis yang kurus, badanku biasa-biasa saja, akan tetapi aku tidak pernah merasa sekurus ini, serta tatapanku yang sudah, tidak hanya terkesan, akan tetapi juga benar-benar tidak fokus.
Aku lupa sudah berapa lama aku tidak mengkonsumsi vitamin harianku, sudah berapa lama aku tidak mengunjungi salon untuk sekedar perawatan wajah dan tubuh, atau kapan terakhir kalinya aku melakukan kegiatan olahraga mandatory sekali dalm seminggu yang biasanya masih bisa kupaksakan. Sudah terlalu lama sejak terakhir kali aku memberikan perhatian pada diri sendiri.
Dan rasanya sudah terlalu lama sejak Alex pergi dan aku kehilangan perhatian darinya.
Aku sudah memikirkan ini lama sekali; tepatnya dua bulan udua puluh tujuh hari sejak hari di mana aku menolak Alex.
....
Aku tidak dapat menghentikan air mata yang mengalir di pipiku, akan tetapi aku juga harus berpikir dengan lebih cepat. Aku tidak mau Alex salah paham dengan jawaban yang kuberikan tadi. Aku tidak bermaksud mengatakan tidak. Aku tidak bermaksud menolaknya. Aku hanya .... Ah, Kayra! Sudahlah, jangan hanya berpikir sendiri di dalam kepalamu. Lekas jelaskan semua yang ada di dalam otak itu kepada lelaki yang seharusnya menerima penjelasan itu! Setelah dimarahi oleh kata hati sendiri, aku segera menggapai ponsel dan mulai mengetik pesan.
Me : I’m so sorry, aku ingkar janji
Me : sebelumnya kamu bilang ke aku kalau Bang Rian yang minta kamu untuk jagain aku
Me : makanya aku selama ini berpikir bahwa kamu cuma menganggap aku adik. Kayak Bang Rian ke aku
Me : aku benar-benar gak menyangka kalau kamu bakal beneran sayang sama aku
Me : Maafin aku, Lex
Centang dua yang ada di samping pesan-pesan itu membuat aku mempertimbangkan apa yang aku katakan selanjutnya. Aku sebetulnya ingin mengungkapkan hal ini secara langsung, akan tetapi sekarang aku tidak punya pilihan lain lagi. Setelah mengambil napas dalam, aku mulai mengetik pesan itu.
Me : aku juga sayang sama kamu
Namun, sebelum aku sempat menyentuh tanda kirim, sebuah pesan balasan masuk terlebih dahulu. Balasan yang membuat kontemplasiku sebelum ini menjadi tidak berarti. Apakah dia akan membenciku setelah ini? Apakah penolakanku akan berakibat buruk pada Alex? Apakah aku akan sangat melukainya? Itu semua dihapus dengan mudah oleh sebuah pesan.
Alex : Just forget it, Kayra
Rasanya seperti ... disambar petir. Kalaupun hal itu benar-benar membuatku mati, aku akan merasa jauh lebih baik karena tidak ada lagi urusanku di dunia ini. Namun, kenyataannya tidak demikian. Petir itu hanyalah perumpamaan. Yang nyata adalah kata-kata dari Alex.
Alex ingin kami melupakannya. Melupakan apa? Apa yang dimaksud oleh Alex? Dia ingin aku melupakan apa? Kejadian malam ini? Atau, penolakanku karena dia menerima maaf dan akhirnya mengerti apa yang aku rasakan? Atau, apakah alasan barusan terlalu mengada-ada? Aku yang terlalu mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi?
Alex ingin aku melupakan kejadian tadi.
Ya, benar. Ini mungkin tidak berarti banyak baginya. Hei, dia adalah seorang Rahardjo. Alexander Rahardjo. Salah satu keluarga dari segelintir orang Indonesia yang masuk ke dalam golongan nol koma satu di dunia. Dia bisa mendapatkan apa saja yang dia inginkan dalam sekejap. Dia bisa mendapatkan wanita mana saja yang dia mau tanpa harus menunggu atau berusaha terlalu keras. Dia hanya tinggal melirik dan tringg! Akan ada antrean panjang wanita yang hendak menjadi miliknya.
He literally got it all.
Aku ....
Perih yang ada di balik rusuk-rusuk ini menyulut isakku lagi. Kubekap mulut dengan tangan agar suara penuh pilu itu tak lepas dan diketahui oleh seluruh dunia.
Kuhapus huruf dari pesan belum terkirim yang masih ada di layar ponselku huruf demi huruf. Mungkin ada baiknya aku belum jadi mengirimkan kalimat itu.
Mungkin dia tidak benar-benar serius karena dia dengan begitu mudahnya menyuruhku untuk melupakan. Hal ini menjadi bukti bahwa apa yang terjadi tidak akan memengaruhi hidupnya sama sekali. Apa yang terjadi malam ini tidak akan melukainya sedikit pun. Dia akan kembali seperti Alex yang biasa menjagaku esok hari.
....
Aku sudah memikirkan ini lama sekali; tepatnya dua bulan dua puluh tujuh hari sejak hari di mana aku menolak Alex. Namun, untuk kesekian kalinya dalam hidup, aku menyadari bahwa selama dua bulan dua puluh tujuh hari ini aku sudah salah. Sudah salah besar. Sudah salah sangat sangat besar. Bahwa aku-lah yang paling terpengaruh oleh kejadian malam itu. Bahwa aku-lah yang terluka sejak menolak Alex malam itu. Bahwa aku-lah yang membenci diriku sendiri karena mengambil keputusan bodoh seperti itu. Bukan Alex.
Aku yang uring-uringan saat tidak ada kabar apa pun dari lelaki itu, walaupun aku sempat mendengar dari Mr. Rahardjo kalau anaknya tersebut baru saja kembali dari Papua New Guinea. Aku tidak tahu bagaimana bisa terpikirkan olehnya untuk me-mention anaknya itu, akan tetapi Mr. Rahardjo tidak akan pernah tahu betapa aku sangat mensyukurinya.
Aku yang berusaha untuk menyibukkan diri agar tidak bisa terlalu sering mengecek ponsel menunggu kabar dari Alex. Aku yang berat badannya turun drastis karena kehilangan nafsu makan akibat semua perasaan ini.
Bukan Alex.
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments