Marwah akhirnya memulangkan semua santri saat itu juga. Ia harus pergi ke rumah sakit untuk melihat ibunya. Beberapa lembar pakaian ibunya ia bawa begitu pun uang tabungannya yang hanya beberapa lembar saja.
Gadis itu tak sanggup berkata-kata sepanjang perjalanan ke Rumah Sakit dalam boncengan Risma. Hanya airmata dan doa yang mengiringinya sore itu.
Ciiit
Risma menghentikan motornya di depan ruang UGD sebelum membawanya ke tempat parkir. Marwah langsung berlari masuk ke ruangan itu untuk menanyakan kondisi sang ibu.
"Dokter, atas nama Ibu Saidah, dibagian mana ya?" tanyanya pada seorang dokter yang bertugas di bagian depan pada meja layanan di ruangan itu.
"Yang baru saja masuk. Ibu usia 50 tahun," lanjutnya untuk memperjelas pertanyaannya.
"Oh iya, silahkan kesana. Ada di bed nomor 4."
"Makasih dok." Gadis itu segera menyusuri deretan ranjang yang terpisah-pisah oleh tirai berwarna hijau itu.
"Ibu," panggilnya pada Saidah yang sudah nampak siuman. Perempuan tua itu hanya sendiri. Mungkin karena tetangga yang mengantar sudah pada pulang. Maklumlah buka puasa sebentar lagi. Mereka pasti ingin berbuka di rumah masing-masing bersama dengan anggota keluarga mereka.
"Wa'," lirih sang ibu.
"Maafin Marwah ya Bu, karena terlalu sibuk sampai gak jagain ibu sampai seperti ini." Marwah menitikkan airmatanya. Ia meraih tangan kurus Ibunya itu kemudian menciumnya.
Saidah ikut menangis. Ia kasihan pada putrinya yang harus bekerja keras untuk membantunya bertahan hidup. Sejak pandemi, ia sudah tidak bekerja lagi di pabrik. Tubuhnya juga entah kenapa sudah terasa semakin tua dan sakit-sakitan. Ia hanya bisa menjaga warung sembako kecil miliknya yang penghasilannya hanya seberapa.
Marwah Jingga membantunya berbelanja kalau pagi sedangkan kalau sore anak itu mengajar anak-anak mengaji di Musholla. Kalau ada yang berinfaq padanya ia tabung untuk melanjutkan pendidikan. Meskipun itu tak seberapa tapi berkahnya begitu banyak.
"Apa kata dokter Bu?" tanya Marwah dengan hati-hati. Sungguh ia berharap kalau ibunya tidak mengidap penyakit yang berbahaya. Selama ini ia hanya berobat ke puskesmas jika sedang merasa sakit dan lelah. Saidah tak tahan untuk tidak mengeluarkan kembali airmatanya.
"Katanya ibu harus dioperasi nak dari hasil USG itu."
"Innalilahi wa Inna ilaihi rojiun. Ibu sakit apa?" Seketika tubuh Marwah gemetar. Ia takut dengan kata operasi. Apalagi pembayarannya. Mereka tak punya kartu BPJS yang katanya bisa membantu mereka berobat gratis.
"Ada miyom di dalam dinding rahim ibu nak," jawab Saidah dengan suara bergetar. Ia sungguh tak sanggup mengatakan ini. Tapi apa boleh buat. Ia tetap harus mengatakannya. Hanya Marwah keluarganya. Suaminya sudah lama pergi entah kemana. Sedangkan keluarga yang lainnya tak ada yang pernah melihat mereka karena terlalu miskin.
"Ibu, yang sabar ya, kalau lewat jalur operasi ibu baru bisa sembuh, insyaallah kita akan lakukan." Marwah berkata dengan tegas untuk menguatkan semangat sembuh untuk sang Ibu.
"Biayanya bagaimana Wa' kita sendiri tidak punya uang nak." Marwah tersenyum kemudian menjawab," Marwah akan ke kantor BPJS besok bu. Semoga saja bisa segera diproses."
"Iya nak. Terimakasih banyak ya, kamu sungguh anak yang baik."
"Ibu Jangan berkata seperti itu, aku anakmu. Dan itu adalah kewajibanku untukmu." Saidah tersenyum kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas. Ia ingin memeluk putrinya yang begitu baik padanya.
Allohu Akbar
Allohu Akbar
"Alhamdulillah, waktunya berbuka," ucap Risma yang baru muncul di antara mereka. Gadis itu membawa es buah ditangannya beserta takjil yang mereka beli di pinggir jalan tadi.
"Berbuka dulu Wa'," lanjut gadis itu seraya menyerahkan es buah dan juga sebungkus kurma pada Marwah.
"Makasih ya Ris. Bu, coba deh kurmanya. Insyaallah akan jadi obat mujarab untuk penyakit ibu, Aamiin." Marwah meminta ibunya untuk membuka mulutnya agar memakan kurma itu.
"Ibu gak jadi puasa deh hari ini, rasanya sangat menyesal. Bagaimana kalau saat ini adalah ramadhan terakhir untuk ibu, Wa'" Saidah merasakan hatinya menghangat. Ia mulai takut.
"Allah faham kok. Ibu kan lagi sakit jadi ada uzur untuk tidak berpuasa. Insyaallah ibu sembuh dan bertemu dengan ramadhan berikutnya, Aamiin."
Mereka bertiga pun menikmati takjil itu kemudian bergantian pergi ke masjid untuk sholat magrib.
Esok pun tiba. Dokter yang memeriksa sang ibu datang lagi untuk menanyakan kondisi Saidah," bagaimana kabarnya hari ini Ibu?" tanya sang dokter dengan ramah.
"Alhamdulillah, agak lebih baik daripada kemarin. Sekarang sudah tidak terlalu sakit."
"Ah iya Bu. Karena kami sudah menyuntikkan obat anti nyeri kedalam cairan ibu supaya bisa beristirahat dengan baik."
"Makasih banyak ya Dokter."
"Ah iya sama-sama. Tapi meskipun begitu ibu tetap harus menjalani operasi. Fibroid atau miyom ibu yang terdapat dalam rahim berada itu sudah banyak dan juga besar. Untuk itu rahim ibu pun harus kami angkat."
"Ya, Allah. Apa tidak ada cara lain yang bisa dilakukan dokter?" tanya Marwah dengan hati yang sangat khawatir. Dokter itu tersenyum kemudian menjawab.
"Hanya itu cara yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu. Memberikan obat-obatan mungkin bisa saja dilakukan jika seandainya fibroidnya tidak terlalu besar seperti ini. Atau jauh-jauh hari sudah diketahui indikasinya. Akan tetapi sekarang hal itu sudah tidak bisa lagi kita lakukan. Ini sudah sangat parah dan berbahaya untuk rahimnya.
Saidah hanya bisa menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Ia begitu takut dengan apa yang didengarnya saat ini.
"Kalau begitu lakukan yang terbaik dokter. Semoga ditangan dokter ibu bisa sembuh."
"Aamiin."
"Baiklah Bu. Jangan khawatir. Ada banyak kok perempuan yang tidak punya rahim masih sehat sampai sekarang. Yang terpenting adalah ibu sehat."
"Iyaa dokter. Terima kasih banyak."
Dokter muda itu pun pergi dasi sana dengan senyum diwajahnya.
"Kenapa kamu berani menyetujui operasi ini Wa' darimana kita akan ambil uangnya." Saidah menatap putrinya itu dengan tatapan sedihnya. Sekarang bukan penyakitnya lagi yang ia pikirkan akan tetapi biaya operasi pun harus ia pikirkan.
"Ibu tidak usah mikirin itu ya, yang penting ibu sembuh. Saya akan ke kantor BPJS saat ini juga. Semoga kita bisa terdaftar. Sekarang saya dan Risma berangkat dulu ya, ibu bisa sendiri kan disini?" Saidah tersenyum kemudian menyentuh kepala putrinya yang berbalut selembar jilbab instan.
"Hati-hati."
"Iya Bu. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam." Dua gadis itu pun pergi dari hadapan Saidah. Akan tetapi sebelumnya mereka berdua mampir dibagian administrasi untuk menanyakan jumlah biaya operasi itu.
"Karena pasien tidak mempunyai kartu BPJS, itu artinya harus masuk umum ya mbak, 60 puluh juta yang harus disediakan. Dan itu belum termasuk biaya rawat pasien selama beberapa hari di sini."
Marwah Jingga merasakan tubuhnya membeku. Selama hidupnya uang lima juta saja tidak pernah ia lihat apalagi uang sebanyak itu. Rasa optimisnya tiba-tiba menguap entah kemana.
"Ayo, jangan dipikirkan dulu. Kita masih ada jalan lewat BPJS." Risma menarik tangannya untuk segera pergi dari tempat itu.
Untuk perawatan selama dua hari ini berapa?
Apa uang tabunganku cukup, oh tidak.
🌻🌻🌻
*Bersambung.
Hai readers tersayangnya othor mohon dukungannya untuk karya receh ini ya gaess dengan cara klik like ketik komentar dan kirim hadiahnya yang super banyak agar othor semangat updatenya okey?
Nikmati alurnya dan happy reading 😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Normah Basir
sehat itu mahal
2024-08-29
0
Uya Suriya
banyak jalan menuju Roma....!!!
2023-04-12
1
☠ᵏᵋᶜᶟ Fiqrie Nafaz Cinta🦂
waduh... itu 60 juta uang semua...... puyeng
2023-04-11
1