Bab 4 | Pisah Kamar

Pasutri itu sarapan pagi. Hening, tidak ada perbincangan diantara mereka seperti bulan lalu, hanya suara dentingan peralatan makan yang terdengar. 

Nadira melirik sebal Arsyil lewat ekor matanya. Kemudian dia tersenyum karena semalam sudah menemukan ide agar tidak selalu dekat-dekat dengan lelaki itu.

"Syil."

"Ya, Dir?" Meletakkan sendok lalu melihat ke arah Nadira.

"Kalo boleh tahu, sejak kapan kamu mencintai aku?" 

"Kenapa nanya gitu?"

"Cuma pingin tahu aja, kok bisa kamu cinta sama aku." Kemudian melanjutkan makannya.

 

"Ehm … itu, sejak kita menikah," bohong Arsyil. Dia takut Nadira berpikiran lain tentangnya kalau dirinya jujur, mengingat wanita itu sedang membencinya. 

"Kenapa? apa yang membuat kamu cinta sama aku?" Meletakkan sendoknya dan melihat ke arah sang suami.

"Cinta gak butuh alasan, Dir. Kalau ada alasan bukan cinta tapi kagum."

"Aneh," gumamnya, lalu kembali melanjutkan makan.

Arsyil mengulurkan tangan dan mengusap puncak kepala Nadira sambil tersenyum. "Aku mencintaimu. Istriku."

"Sudah ku bilang, jangan menyentuhku, Syil!" Melotot ke arah Arsyil.

"Bisakah gunakan panggilan yang sopan untukku, aku ini suami kamu."

"Ribet amat! Aku aja gak nganggap kamu suamiku."

"Entah suka atau enggak, kenyataannya aku memang suamimu."

"Kalau aku gak mau kamu mau apa?!" tantang Nadira, dia meletakkan sendok. Selera makannya hilang.

"Aku akan menciummu," canda Arsyil. 

"Ih, Najis!" Nadira beranjak lalu melenggang meninggalkan meja makan.

"Apa kamu bilang?" Arsyil mengejar istrinya dan mencengkeram tangan Nadira. Lelaki itu menahan emosi karena perkataan tidak sopan sang istri.

"Lepas!" Menghempas tangan Arsyil. Namun, tidak terlepas karena cengkeraman tangan lelaki itu terlalu kuat.

"Kamu mau apa?!" Membalas tatapan nyalang Arsyil.

"Aku cuma minta kamu memanggilku dengan sopan, tapi kenapa kamu tega ngomong gitu sama suami kamu sendiri?"

"Karena kamu mau menciumku, dan aku gak mau!"

"Apa salahnya?"

"Karena aku jijik!" Menghempas tangan Arsyil lalu beranjak pergi. Namun, baru beberapa langkah tangannya kembali ditarik Arsyil, lelaki itu membawanya ke kamar tamu, meski Nadira memberontak.

"Lepas! Kamu mau apa?" pekik Nadira.

 

Arsyil menutup pintu lalu membanting istrinya ke atas kasur lalu menindih tubuh Nadira.

"Kamu mau apa?!" sarkas Nadira di bawa kungkungan sang suami. Jantungnya berdegup kencang merasakan kepanikan.

"Aku mau kamu."

"Lepaskan! Aku harus pergi sekarang!" Nadira mendorong tubuh Arsyil. Namun, tenaganya kalah besar. Lelaki itu kemudian mencengkeram kedua tangan Nadira, hingga dia tidak bisa berkutik lagi.

 

"Jangan kurang ajar kamu, Syil!"

"Kurang ajar? Kata itu pantasnya untuk kamu."

"Lepas!" sarkas Nadira. Namun, bukannya melepaskan Arsyil justru membungkam bibir Nadira dengan bibirnya dan terjadilah apa yang seharusnya terjadi.

...*****...

Nadira duduk di meja kerjanya. Para staf yang ada di sana bingung melihat wajah bos mereka sembab. Dia merasa jijik pada tubuhnya yang kembali dijamah Arsyil, meski lelaki itu suaminya.

 

"Aku harus menjaga jarak darinya," batin Nadira. 

Nadira mengingat perkataan Arsyil saat sedang bercinta dengannya tadi. Lelaki itu meminta Nadira memanggilnya dengan sebutan yang sopan seperti, Mas, Kakak, atau Abang.

"Sehat, Bu?" tanya Yuni memberanikan diri, membuyarkan lamunan Nadira.

 

"Saya baik-baik aja kok," jawab Nadira singkat.

"Udah makan, Bu?" imbuh Meri.

 

"Udah. Mer," jawab Nadira seadanya.

 

Tiba-tiba ponsel Nadira berdering. Nadira langsung menjawab panggilan tersebut. 

Tak lama setelah menjawab panggilan itu, Nadira pamit pulang pada para Stafnya.

 

"Mer, Yun. Aku pulang dulu sebentar ya, nanti siang aku balik lagi." Beranjak dari tempat duduk sambil menenteng tas.

"Iya, Bu," sahut keduanya kompak. 

Sebelum keluar dari ruangan, Nadira sempat melirik meja Luna yang kosong. "Luna mana ya? ini kan udah masuk jam kerja."

"Gak tau, Bu. Belum dateng," tukas Yuni.

"Tumben." Melirik jam tangannya.

"Ya sudah, aku pulang dulu ya."

Meri dan Yuni mengangguk secara bersamaan. Setelah itu Nadira menghilang di balik pintu. 

...******...

Nadira tiba di rumah. Dilihatnya pegawai dari toko tempat ia memesan barang-barang untuk kebutuhan kamarnya sudah menunggu. Mulai hari ini dia akan akan memiliki kamar sendiri, tidur terpisah dari suaminya yang menyebalkan.

Nadira langsung saja meminta para pegawai itu membawa barang-barang tersebut ke kamar yang akan dia tempati. Kamar yang terletak di depan kamar Arsyil.

Wanita itu sibuk membersihkan, menata dan merapikan kamar hingga tanpa sadar hari semakin siang. Sebentar lagi dia harus kembali ke resto. Nadira tersenyum puas, akhirnya dia bisa sedikit berjarak dari lelaki itu.

"Aku memang pintar," gumamnya. Sambil melihat kamar yang sudah rapi dan siap ditempati.

 

Badannya berkeringat dan terasa lengket setelah beberapa jam membereskan kamar barunya. Nadira menanggalkan pakaiannya, meraih handuk lalu berjalan menuju kamar mandi. Dia merasa leluasa di kamar sendiri, jiwanya seperti terbebas.

 

Sehabis mandi, Nadira merasa malas untuk kembali ke resto, dia ingin bersantai di dalam kamar barunya hari ini. Kemudian Nadira mengirimkan pesan kepada Yuni, dia mengatakan tidak kembali lagi ke resto. 

Nadira menghempaskan tubuh di atas kasur empuk sembari merentangkan tangan, matanya menatap langit-langit kamar.

"Akhirnya … kenapa gak kepikiran dari kemarin. Terlalu berbahaya jika aku terus dekat dengannya," gumamnya senang.

Tiba-tiba perut Nadira berbunyi pertanda minta segera diisi, dia ingat jika belum makan siang karena terlalu sibuk menata kamar barunya. Wanita itu turun ke dapur dan memasak makanan. Orang yang bertugas membersihkan rumah itu sudah pulang, ia akan datang lagi nanti sore.

"Senang sekali hidupku jika tiap hari begini, tanpa Arsyil adalah sebuah kebahagiaan," gumamnya sambil mengaduk masakannya.

"Mulai sekarang aku harus memanggil seperti yang dia inginkan, kalo gak bisa-bisa terulang lagi yang pagi tadi. Dasar lelaki gila!"

"Tapi … aku harus panggil apa ya? Mas Arsyil? Ah enggak, itu terdengar seperti suami sungguhan. Abang Arsyil? Gak gak, itu terlalu manis. Ehm. kakak aja kali ya, jadi terdengar seperti panggilan adik dan kakak. Hihi," monolog Nadira.

Tak lama kemudian masakan itu matang, Nadira menaruhnya di dalam piring lalu membawa ke meja dan mulai menikmati olahan tangannya. Dia makan sambil menonton drama korea kesukannya.

"Ini baru namanya hidup," ujar Nadira sambil mengunyah.

Ponsel Nadira berdering, sebuah panggil masuk dari bi Ratih, merupakan orang yang bekerja di rumahnya. Dia segera mengangkat panggil itu.

 

📞 : Halo.

📞 : Halo, Bu. Maaf Bu, nanti sore saya gak bisa ke rumah. anak saya masuk rumah sakit," tutur bi Ratih di seberang telepon.

📞 : Iya, Bi. Gak apa-apa, fokus aja sama anaknya dulu. Semoga anaknya cepat sembuh.

 

📞 : Terima kasih doanya, Bu.

📞 : Iya, Bi.

panggilan pun berakhir.

"Itu artinya aku harus membuatkan makan malam untuk Arsyil? Eh kak Arsyil maksudnya," gumam Nadira sambil berpikir.

"Heh kenapa harus pusing, delivery order aja hahaha. kamu memang pintar Dira! " Nadira terkekeh lalu memuji dirinya.

Nadira segera menghabiskan makan siang, setelah itu dia istirahat.

Sore hari Arsyil pulang. dia membuka kamar, merasakan sesuatu yang berbeda. Namun, dirinya belum menyadari. Lelaki itu abai, dia pikir karena terlalu lelah sehingga kamar sendiri terasa sedikit berbeda. langsung saja dia melangkah ke kamar mandi guna membersihkan diri, setelahnya dia berencana menjemput sang istri di restorannya. tidak peduli bagaimana reaksi Nadira nanti, dia hanya ingin terbiasa dengan kehadirannya.

Sehabis mandi, Arsyil membuka lemari hendak mengambil pakaian. alangkah terkejutnya dia hanya mendapati pakaiannya saja. Sementara, pakaian Nadira sudah tidak ada di sana. jantung Arsyil berdegup kencang, seketika tubuhnya lemas karena mengira sang istri pergi meninggalkannya.

"Dira …," lirihnya.

Arsyil melangkah gontai menuruni anak tangga, dia begitu sedih. kemudian dia tersenyum menertawakan nasib dirinya, nasib cinta yang bertepuk sebelah tangan.

"Aku akan mencarimu."

Mata lelaki itu membulat ketika melihat sang istri tengah berkutat di meja makan dengan beberapa kotak makanan. Arsyil bernapas lega, seketika hatinya seperti di tumbuh bunga-bunga.

"Dira!" Arsyil menghampiri istrinya.

 

Nadira menoleh sekilas lalu kembali fokus pada makanan yang dia pesan.

 

"Kamu Delivery order?" tanya Arsyil sembari menarik kursi yang berseberangan dengan Nadira.

"Menurutmu?" jawab Nadira tanpa melihat lawan bicara.

"Memangnya bi Ratih kemana?" Menarik kursi yang berseberangan dengan Nadira.

"Anaknya sakit."

 

Selesai menata makanan-makanan itu, Nadira langsung bergegas meninggalkan meja makan.

 

"Dira." Mata Arsyil mengikuti langkah Nadira, wanita itu berhenti lalu membalikkan badan menghadap suaminya.

"Apalagi Syil? Eh Kak Arsyil maksudnya." Menghela nafas seperti orang kelelahan habis mengangkat beban berat. 

Bersambung ….

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!