Nadira singgah di taman kota, dia menangis tersedu sedan menumpahkan segala beban yang mengganjal hatinya.
Nadira kecewa Erza tidak mempercayainya, dan yang lebih menyakitkan lelaki itu menuduhnya telah berselingkuh dan berbuat zina. Erza melontarkan kata-kata tajam yang mengoyak hati, tak sampai di situ lelaki itu juga mencampakkannya.
Dia menyesali semua yang sudah terjadi, dia menyesal karena telah menikah dengan Arsyil. Seandainya dia menolak ajakan itu, tentulah jalan hidupnya tidak akan seperti ini. Dirinya terlalu takut waktu itu, hingga tanpa pikir panjang menerima lamaran Arsyil.
Tapi apa? Dirinya tidak hamil sama sekali, bahkan dirinya masih suci hingga sang suami merenggutnya. Nadira semakin tersedu-sedu, ia benci pada Arsyil, ia benci pada dirinya sendiri.
Seandainya dia tidak menikah dengan Arsyil, tentulah saat ini dia masih bersama Erza. Mungkin mereka akan menikah, meski entah kapan itu akan terjadi.
"Argh! Kenapa?!" pekiknya, tanpa peduli pada orang-orang yang melihatnya.
"Siapa orang yang udah tega menjebak aku? Atau mungkin itu semua rencana Arsyil sendiri agar bisa menikah denganku? Dia bilang, dia mencintaiku. Dasar licik! Harusnya aku tidak memiliki teman sepertimu! bisa-bisanya aku tertipu wajahnya lugunya."
"Sialan kau Arsyil! Aku benci kamu!" pekiknya.
...*****...
Sore hari Arsyil datang menjemput Nadira. Nadira yang baru kembali melihat mobil sang suami masuk ke area Restoran miliknya. Wanita itu kesal lalu memukul setir mobilnya.
"Ngapain sih dia ke sini? Bikin muak aja!" umpat Nadira sembari memarkirkan mobilnya.
Nadira turun dari mobil bersamaan dengan Arsyil yang juga turun dari mobilnya. Mereka bertemu, Nadira mengabaikannya dan langsung saja pergi tanpa menghiraukan sang suami yang tersenyum padanya.
"Dira, tunggu!" Arsyil mengejar Nadira dan berhasil menangkap tangannya. "Lepasin!" bentak Nadira sambil menghempas tangan Arsyil. Dia menatap benci pada suaminya.
"Kamu kenapa?" Menelisik wajah Nadira yang sembab sambil mengulurkan tangan hendak menyentuh wajah sang istri.
"Bukan urusanmu! Ngapain kamu ke sini?!" Menepis tangan Arsyil.
"Mau jemput kamu. Kita pulang yuk, kamu …."
"Aku bisa pulang sendiri. Kamu tahu kan, aku bawa mobil sendiri. Gak usah sok perhatian! Aku bukan anak TK yang apa-apa harus di jemput. Aku akan pulang kalau restoran ini sudah tutup." sela Nadira cepat.
"Tapi kamu istriku …."
"Tapi aku gak menganggap kamu sebagai suamiku!"
Hati Arsyil berdenyit perih mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut istrinya, sungguh tega Nadira berkata seperti itu padahal mereka sudah menikah.
"Baiklah. Jika kamu memang belum bisa mencintai aku, setidaknya hormati aku sebagai suami kamu. Bisakah kamu bersikap seperti bulan lalu?"
"Aku gak mau dengar apapun dari kamu. Mending kamu pergi sekarang! Dan ingat, jangan memintaku hormat sama kamu sebagai suami karena aku gak menganggap kamu suamiku. Kamu hanya orang asing yang mengacaukan hidupku. Dan aku gak akan pernah cinta sama kamu!"
"Dir, gak ada sedikit empatimu terhadap aku?"
Nadira terkekeh, menurutnya terlalu konyol lelaki itu berharap dirinya berempati padanya.
"Dir. Kita ini sama-sama korban …."
"Gak usah dibahas! Aku benci mengingatnya. Terlebih aku sudah kehilangan segalanya." Kemudian Nadira berlalu meninggalkan Arsyil yang masih mematung di depan tangga.
"Maksud kamu apa Dir?" gumam Arsyil pelan.
Lelaki itu menghembus nafas kasar, menekan sesak di dada, kemudian berbalik dan pulang ke rumah.
Nadira masuk ke dalam ruangan kerja dengan wajah sembab dan cemberut.
Para staf melihat bos mereka yang sepertinya sedang kacau. Namun, tidak berani untuk bertanya. Mereka hanya saling pandang sambil bertanya-tanya sendiri.
Luna melihat Nadira yang kacau mengabaikannya dan memilih pamit turun ke lapangan dengan alasan mengontrol para karyawan.
"Luna kenapa sih? Kok aneh? Kenapa dia tidak gak nanya aku kenapa atau apalah." Melirik Luna hingga menghilang di balik pintu.
Luna sudah tahu apa yang terjadi dengan Nadira hari ini, dia juga tahu Nadira bertengkar dengan suaminya karena dia melihat lewat CCTV. Luna tersenyum miring seolah menertawakan penderitaan Nadira.
"Sekarang sudah saatnya giliranku berbahagia. sebentar lagi … selamat tinggal restoran jelek ini hahaha," batin Luna sembari melirik hall restoran yang ramai pengunjung dan waiter yang berlalu lalang.
...*****...
Arsyil tiba di rumah minimalis dua lantai yang didominasi cat warna putih serta halaman yang cukup asri. Rumah yang ia beli sebelum menikah dengan Nadira.
Dia tidaklah sekaya Erza, perusahaanya juga tidak sebesar perusahaan keluarga Erza. Meskipun demikian, Arsyil merintis sendiri dari nol dan baru berhasil setelah beberapa kali mengalami kegagalan.
Arsyil menyapukan pandangan ke seluruh sudut kamar. Sepi tanpa adanya sang istri, istri yang selama sebulan ini berlaku baik, yang selalu menyambutnya ketika pulang kerja. Mereka seperti keluarga harmonis, meski hubungan suami istri tidak mereka lakukan.
Dia merindukan momen itu, tapi sayang Nadira berubah sejak mengetahui jika dirinya tidak hamil. Wanita itu membencinya setelah dirinya mengambil sesuatu yang berharga darinya. Sesuatu yang memang seharusnya jadi miliknya.
Dia memang memiliki raga Nadira saat ini. Namun, tidak dengan hatinya.
"Dira …." lirihnya.
Arsyil menghela nafas kasar, menekan sesak yang kembali datang. Setelah ia melesat ke kamar mandi guna membersihkan diri.
...****** ...
pukul sebelas malam Nadira baru pulang ke rumah. Wanita itu masuk ke dalam rumah mendapati sang suami menunggunya di ruang tamu. Nadira menghela nafas karena jengkel lalu memutar bola mata malas.
"Baru pulang Dir?" Berdiri, lalu menghampiri Nadira.
"Seperti yang kamu lihat?" Mengabaikan Arsyil dan melewati pria itu.
"Dir. Tunggu!"
"Apalagi sih?" Nadira yang sudah berada di anak tangga menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap suaminya dengan tatapan tidak suka.
"Kenapa pulangnya malam banget? Restoran, kan tutup jam sembilan?"
"Memangnya kenapa?" Nadira balik bertanya.
"Sudah, aku gak mau berdebat. Aku capek, mau istirahat," tambahnya, kemudian melesat menuju kamar.
Arsyil menyusul Nadira ke kamar, dia mendapati sang istri terbaring sembarang di atas tempat tidur dengan kaki menjuntai ke lantai dan mata terpejam.
"Dir. Mandi dulu gih. Aku sudah siapkan air hangat." Arsyil duduk di tepi ranjang.
Nadira membuka mata, lalu melirik sang suami. "Sudah ku bilang gak usah sok perhatian, aku gak akan luluh sama kamu!" Kemudian bangkit dari tempat tidur lalu menuju kamar mandi.
Selagi Nadira mandi, Arsyil membuka laptop memeriksa pekerjaannya. Tiba-tiba perutnya berbunyi dan berdenyit perih karena sedari sore belum makan. Ia ingin makan bersama Nadira.
Arsyil meringis sembari memegangi perutnya. "Lapar sekali," gumamnya.
Lima belas menit kemudian Nadira keluar dari kamar mandi. Ia memakai pakaian tidur, menggunakan rangkaian skin dan body care malam, kemudian bersiap hendak tidur setelah mengeringkan rambut tanpa mempedulikan sang suami.
"Dir, aku belum makan," tukas Arsyil pada Nadira yang sudah berbaring memunggunginya.
"Makan sana, ngapain ngomong sama aku," sahutnya tanpa menoleh Arsyil.
"Kamu sudah makan?"
"Kalo belum mana mungkin aku bisa tidur."
"Aku lapar Dir."
"Ya makan sana kalau lapar. Gak perlu ngomong sama aku, kamu udah dewasa pasti bisa mikir sendiri. Kalo lapar ya makan bukan laporan."
"Aku mau makan bareng kamu."
Nadira abai, dia memejamkan mata dan memeluk erat bantal guling.
"Dir. Bisa temani aku makan?" pinta Arsyil.
Nadira tetap diam, malas sekali dia menemani lelaki itu. Dunianya terasa sesak terus-terusan berada di dekat Arsyil.
"Baiklah. Aku tidur juga." Arsyil berbaring lalu melingkarkan tangan di pinggan Nadira, wanita itu terkejut dan segera menepis tangan Arsyil lalu menjauhkan tubuhnya.
"Jangan berani-berani menyentuhku!" sarkas Nadira, wanita itu berkacak pinggan di samping tempat tidur.
Arsyil duduk lalu berkata, "aku suami kamu, aku berhak melakukan apapun, memeluk ataupun lebih dari itu gak ada salahnya. Yang ada kamu berdosa karena menolakku."
"Terserah apa katamu! yang jelas geser, aku mau tidur. Kalo gak mau aku akan tidur di luar," ancam Nadira.
"Kalo kamu tidur di luar, aku juga akan tidur di luar," jawab Arsyil singkat.
"Argh!" pekik Nadira sambil mengepalkan tangan, sungguh ia jengkel.
Perut Arsyil kembali berbunyi, Nadira dapat mendengar suara yang keras itu. Sementara Arsyil langsung memegang perutnya.
"Makan sana! Memangnya kamu mau mati kelaparan?"
"Astagfirullah Dir. Kasar sekali bahasamu."
"Makanya makan sana!"
Arsyil pun turun dari tempat tidur lalu berjalan keluar kamar. Nadira bernapas lega saat lelaki itu menghilang di balik pintu. Namun, tak lama kemudian Arsyil kembali dengan sedikit berlari lalu melabuhkan sebuah kecupan singkat di pipi sang istri, setelahnya ia melesat ke luar. Nadira yang bersiap hendak berbaring, mematung mendapat perlakuan yang mengejutkan itu.
"Brengsek! Berani sekali dia!" umpatnya setelah sadar sambil menatap kesal pada pintu yang tertutup.
"Argh! Gak bisakah hidupku tenang tanpa adanya gangguan darinya? Kalo gini terus aku bisa gila." Meremas rambutnya.
"Gak bisa, gak bisa gini terus, aku harus segera menemukan cara agar bisa jauh dari dia," gumam Nadira, lalu merebahkan diri dan memejamkan mata.
Bersambung ….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments