Bab 5. Petuah Dirga

Hari berlalu. Tidak terasa, hampir satu bulan Aru belajar di pondok pesantren. Banyak sekali hal yang bisa Aru pelajari dari pengalamannya belajar disana. Aru simpan baik-baik dan berusaha mengamalkan diri.

Tepat pukul sembilan, Aru keluar dari area pesantren untuk pulang. Tidak ada jadwal sore karena hari ini hari Minggu. Setelah berada di depan gerbang, Aru melihat sopir yang diutus sang Papa telah menunggu.

"Kita pulang, Pak. Tidak ada jadwal sore hari ini," ucap Aru ramah pada pria paruh baya yang menjadi sopir pribadinya.

"Baik, Non."

Setelah Aru duduk di kursi penumpang, mobil melaju sedang membelah jalanan kota. Ketika pandangan Aru menembus kaca mobil, langit tampak gelap. Seperti sebuah tanda jika sebentar lagi air Tuhan akan turun membasahi bumi.

Dor!

Aru terlonjak kaget ketika terdengar bunyi ledakan cukup kencang diikuti mobilnya berhenti dan posisinya miring. "Innalilahi!" pekiknya.

Jantung Aru bertalu-talu pasca ledakan itu terjadi. Setelah mengatur napasnya, Aru bertanya pada pak Sopir yang sama terkejutnya. "Ada apa, Pak? Kenapa ada ledakan?" tanyanya heran.

"Sepertinya, ban mobilnya meledak, Non. Saya akan periksa lebih dulu," ucap pak Sopir merasa bersalah.

Aru mengangguk lalu ikut turun untuk memeriksa langsung. Beruntung, mobil telah menepi sempurna sehingga tidak menganggu pengguna jalan lain. Benar saja, salah satu ban bagian belakang sudah dalam keadaan kempes parah. "Apakah bunyi ledakan berasal dari ban yang bocor, Pak?"

"Benar, Non. Maaf karena saya lupa mengecek keadaan ban pagi tadi. Bagaimana ini, Non? Bengkel juga masih jauh dari sini." Pak sopir tampak gusar dan ketakutan. Takut karena atasannya akan marah karena tidak becus dalam bekerja.

"Bagaimana ya, Pak? Saya akan hubungi Papa dulu ya, Pak." Setelah berucap demikian, Aru pun menghubungi papa Javas. Namun, hingga panggilan ketiga, tidak ada tanda-tanda papanya akan menjawab.

Mungkin papa sedang menikmati hari Minggu bersama sang Mama. Pikir Aru karena hal tersebut yang selalu papa dan mamanya lakukan ketika hari Minggu tiba.

"Tidak aktif, Pak. Kalau begitu, biar saya naik taksi saja ya, Pak? Nanti kalau ada bengkel terdekat, saya akan minta orangnya datang. Tidak mungkin juga mobil bisa dibawa sampai ke sana," ucap Aru memberikan pendapatnya.

"Benar, Non. Tetapi, bagaimana jika Tuan marah? Atau, Non telepon Tuan Reza saja?" tawar Pak Sopir merasa bersalah.

Mulut Aru sudah terbuka untuk membalas ucapan pak Sopir. Namun, suara klakson mobil di belakangnya membuat Aru mengurungkan niat. Dia menoleh dan mendapati mobil sekelas Mercedez Benz tepat berhenti di belakang mobilnya.

Tidak berapa lama seseorang di dalamnya turun. Aru tersenyum ketika yang ditemuinya adalah seseorang yang tadi dimaksud pak Sopir. Yaitu, Om Reza, seseorang kepercayaan papa dan mamanya. "Alhamdulillah, Om datang sebelum Aru telepon," ucap Aru bersyukur.

Reza mengernyit heran. "Kenapa mobilnya, Ru? Bocor?" tanya Reza sambil melihat keadaan mobil yang sudah miring.

Saat Aru ingin menjawab, suara dari arah mobil membuat mulutnya kembali terkunci. "Kenapa, Om? Bannya kempes?"

Aru terpaku di tempatnya berdiri. Mengapa semesta selalu ingin mempertemukannya dengan Dirga? Dimanapun Aru berada, disana juga ada Dirga.

Dirga hanya melirik sekilas ke arahnya. Lalu, kembali fokus pada mobil yang ditumpangi Aru barusan. "Ini, bannya kempes. Kalau misal, kita drop Aru dulu bagaimana? Sebenarnya, Om hari ini libur. Hanya saja, Aru itu sudah Om anggap keponakan sendiri, seperti kamu," ucap Reza meminta persetujuan Dirga.

Lagi-lagi Dirga melirik Aru sebentar. Aru tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Dirga saat ini? Apakah Dirga jijik padanya dan enggan berada satu mobil yang sama? Atau justru sebaliknya? Jika benar, Aru yakin pertanyaan kedua bukanlah jawabannya.

"Tidak masalah, Om. Kita antar Aru dulu. Lagi pula, kita tidak terlalu terburu-buru," jawab Dirga pada akhirnya.

Aru sampai harus menahan napas ketika Dirga mulai membuka suara. Dia takut, kalimat yang akan keluar justru kembali menyakiti hatinya. Namun, perkiraannya salah. Dirga menyetujui tanpa perlu berpikir panjang.

"Kami tinggal dulu ya, Pak. Om Reza akan menghubungi orang bengkel untuk datang kesini," pamit Aru pada sopir pribadinya.

"Iya tidak masalah, Non. Tinggal saja. Saya akan siap menunggu."

Ketiganya memasuki mobil dengan Aru memilih duduk di jok belakang sedangkan dua pria beda generasi itu duduk di kursi depan. Dirga lah yang mengambil alih kemudi.

Sepanjang perjalanan, Aru hanya diam mendengarkan perbincangan keduanya tanpa minat. Dia melempar pandangan pada luar jendela dan langit yang telah resmi menurunkan airnya. Banyak orang berlalu-lalang mencari tempat berteduh karena seketika hujan turun lebat.

"Bukankah kalian satu kampus ya?" tanya Reza yang membuat Aru mengerjapkan mata pelan. Di melirik pada rear view mirror dimana disana memperlihatkan wajah Dirga yang ternyata, sedang menatap dirinya juga.

"Itu dulu, Om. Aru sudah dikeluarkan dari universitas tersebut." Aru menjawab lebih dulu dan tidak ingin ada yang ditutupi. Lagi pula, Om-nya itu mungkin sudah mengetahui akan hal tersebut.

Namun, melihat ekspresi yang ditunjukkan Om Reza yang tampak terkejut, membuat Aru menghela napas. Mungkin, papanya belum bercerita. "Iya. Aku sudah dikeluarkan karena mencoreng nama baik," lanjut Aru yang membuat raut wajah Omnya berubah sendu.

"Tidak apa-apa. Om senang melihat kamu yang sekarang. Semoga Istiqomah ya," ucap Reza tulus tanpa dibuat-buat.

Aru mengangguk dan melirik ke depan lagi. Menganggap jika Dirga sedang mendengarkan percakapannya. Merasa aneh karena Dirga yang semula senang berbicara pedas kini diam, Aru kembali berucap untuk memancing.

"Aku memang tidak pantas berada di sana, Om. Bahkan, penampilan ku yang sekarang, mungkin akan dianggap sebagai penutup aib. Label mu ra han mungkin sudah melekat dalam diriku." Aru berucap merendahkan diri.

Reza menampakkan raut bersalah. "Maaf jika perkataan Om melukai hatimu. Bukan Om bermaksud —"

"Its okay, Om. Aku tidak masalah," sela Aru sambil mengulas senyumnya.

"Walau seseorang itu pelaku maksiat, bukan berarti dia adalah penghuni neraka. Walaupun seseorang itu ahli ibadah, tidak lantas menjadikan dia penghuni surga. Janganlah memandang dosa orang lain, seakan dia sudah pasti masuk neraka. Jangan pula memandang kebaikan diri seakan kita masuk surga.

Sebab ada orang ahli maksiat, tetapi meninggal dalam keadaan beriman. Dan ada orang yang ahli ibadah, namun meninggal dalam keadaan kufur kepada Allah. Ingatlah, dosa dapat dihapus dengan taubat, sementara amal dan ibadah bisa musnah karena riya'." Kalimat panjang itu berhasil keluar dari bibir Dirga.

Aru cukup tercengang. Kemana ucapan pedas yang selalu Dirga lontarkan padanya? Mengapa laki-laki itu berubah menjadi seseorang yang puitis?

Prok. Prok. Prok.

Mendengar suara tepuk tangan dari depan, lamunan Aru tersentak. Dia kembali menguasai dirinya agar tidak terlalu kagum pada ciptaan Tuhan bernama Dirga.

"Ini baru keponakan Om," ucap Reza jumawa.

Setelah itu, detik demi detik dilalui dengan keheningan. Tidak ada keinginan Aru untuk kembali bersuara. Rasanya, ucapan Dirga tadi sudah sangat luar biasa. Hingga suara Reza kembali terdengar dan meminta Dirga menepikan mobil.

"Mau kemana, Om?" tanya Aru heran.

"Om mampir sebentar ke toko kue. Tante mu sangat menyukai kue di toko itu," tunjuk Reza pada toko roti di seberang jalan. Aru mengangguk saja. Dia tidak ingin mencegah.

Setelah Om Reza keluar, keadaan menjadi canggung karena dua insan itu tak lagi saling bicara. Ketika Aru akan mengalihkan pandangan ke luar kaca, suara berat di depannya memanggil namanya. "Aru?"

Aru bahkan sampai harus menajamkan telinga agar tidak salah menangkap. Barangkali, itu hanya halusinasi Aru saja.

"Aru?" panggil Dirga lebih keras lagi diikuti kepalanya yang menoleh ke belakang. Aru bahkan bisa melihat wajah Dirga berada di depan wajahnya dan hanya berjarak beberapa senti.

"Apa? Mau menghinaku lagi?" tanya Aru sambil tersenyum manis. Seakan, hinaan yang Dirga lontarkan tak lagi mengusiknya.

Melihat Dirga yang menggeleng, Aru membuang pandangan. Tidak baik saling bertatapan dengan lawan jenis terlalu lama. Apalagi, keduanya kini tengah berada dalam mobil yang sama dan hanya berdua.

"Bukan. Aku hanya ingin meminta maaf. Mungkin, maaf saja tidak cukup untuk membayar semua daftar kesalahanku padamu. Tetapi, tidak ada kalimat yang mampu mewakili selain kata tersebut," ucap Dirga dan Aru menoleh untuk mencari letak kebohongan, barangkali Dirga hanya basa-basi.

Namun, Aru tak menemukan hal tersebut dalam tatapannya. Yang ada, tatapan itu kini berubah lembut dan sarat akan penyesalan.

"Tidak semudah itu." Aru menjawab dengan bibir tersenyum miring.

Terpopuler

Comments

Ita Mariyanti

Ita Mariyanti

banyak ilmu yg d jabarkan dsni, mkc Thor 🙏🙏

2023-05-03

3

Aditya HP/bunda lia

Aditya HP/bunda lia

ada apa dengan Dirga apa sebenarnya dia itu menyukai Aru dari sebelum kejadian Aru hamil yah ... makanya dia berkata pedas karena kecewa

2023-04-07

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!