Bab 3. Pondok pesantren

Sepulang dari kampus, Aru langsung menuju kamarnya. Dia ingin menenangkan diri dan menyusun kalimat apa yang harus dia katakan pada papa dan mama. Mereka pasti sangat kecewa. Belum lagi, Aru kemungkinan akan mendapatkan kemarahan papanya.

Pikiran Aru melanglang buana pada masa-masa indah bersama Yoda, mantan kekasihnya. Namun, Aru sadar jika masa indah itu hanyalah semu. Tentu tidak mudah baginya untuk melupakan kekasih yang sampai saat ini masih menghuni hatinya.

Namun, Aru berusaha berpikir logis jika seseorang yang mencintai dengan sungguh-sungguh tidak akan pergi saat dalam rahimnya terdapat nyawa yang tak berdosa. Dan satu lagi, laki-laki yang sungguh mencintai tidak akan merusak wanitanya sebelum hari pernikahan itu tiba.

Mengingat hal tersebut, air mata Aru kembali menetes. Yoda hanya main-main dengannya. Entah kemana Kini laki-laki itu berada. Setelah kelulusannya diumumkan, dia tak lagi menampakkan batang hidungnya.

"Ya Allah, mungkin apa yang menimpaku saat ini adalah balasan dari apa yang aku perbuat di masa lalu. Terlalu membanggakan pasangan yang belum halal dan merasa diri paling sempurna. Ampuni aku ya Allah," sesal Aru menutup wajahnya yang sudah basah karena air mata.

Bersamaan dengan itu, azan Zuhur berkumandang di mushola dekat rumahnya. Aru mengucap hamdalah lalu segera mengambil wudu dan menjalankan kewajiban. Kewajiban yang sejak dulu dia abaikan.

Kini, setelah dirinya hancur, Aru baru mendatangi Tuhannya lagi. Aru malu. Namun, dia tahu jika Tuhannya Maha Pengasih dan Maha Pemurah.

...............

"Papa belum pulang ya, Ma?" tanya Aru ketika ikut bergabung bersama Mama Kalea di dapur.

"Paling sebentar lagi pulang. Kenapa memangnya?" tanya Mama Kalea tersenyum penuh arti.

Melihat kegelisahan sang Putri, senyum itu pun luntur. Sebagai seorang ibu, ikatan batinnya dengan anak sangatlah kuat. "Apa ada yang menganggu pikiranmu, Sayang? Apakah ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Mama Kalea yang sudah mengalihkan perhatian seluruhnya.

Aru memilin jari dan menatap sang Mama takut-takut. "Tadi pagi aku sudah mengajukan surat izin aktif di kampus." Dia mulai mencari cara untuk bicara.

"Lalu?" tanya Mama Kalea yang kini kembali mengiris bawang putih yang ada dalam pegangan.

Helaan napas kasar pun terdengar dari Aru. Sangat berat ketika harus mengatakan dengan jujur. Walau begitu, bukan berarti Aru akan berbohong. "Aku dikeluarkan dari kampus, Ma."

"Apa!" Pekikan kencang itu berhasil mengalihkan perhatian dua wanita berbeda generasi yang sedang berada di dapur. Jantung Aru bagai telah berhenti memompa ketika melihat sosok papanya sedang berdiri tidak jauh darinya. Belum lagi, tatapan nyalang yang dilayangkan sang Papa, membuat nyali Aru semakin menciut.

"Apa-apaan ini, Ru? Papa sangat kecewa padamu! Kamu bukan Aru yang Papa kenal lagi. Papa kecewa ...." Papa Javas mengusap wajahnya frustasi.

"Kamu mau jadi apa kalau sampai tidak kuliah? Apa selama ini kamu kekurangan kasih sayang dari kami? Apa selama ini, cinta yang Papa kasih ke kamu tidak cukup? Kenapa kamu tumbuh menjadi orang seperti itu? Papa merasa sudah gagal mendidik dan menjagamu." Papa Javas sudah sangat lelah menghadapi putri yang sangat disayanginya.

Entah menurun dari siapa sikap buruk Aru. Yang papa Javas tahu, semenjak berpacaran dengan Yoda, Aru berubah menjadi pembangkang.

Aru menangis mendengar pernyataan kekecewaan sang Papa. Tangisnya semakin meraung-raung kala merasakan pelukan dari sang Mama. Pelukan yang menenangkan, yang justru membuat Aru terlena hingga ingin menangis sejadi-jadinya.

"Sudah, Pa. Jangan marahi Aru terus-menerus. Dia tetap anak kita. Jangan ikut menghakiminya." Mamanya memberikan pembelaan untuk Aru.

Papa Javas menghela napas kasar. Beliau menatap sang Putri dengan kekecewaan yang memuncak. Putri yang selama ini dibesarkan dengan kasih sayang, tidak sepenuhnya membuat Aru menjadi pribadi yang lebih baik.

Mungkin, karena dulu dirinya begitu memanjakan Aru hingga anak itu bisa bertindak sesukanya. "Papa kecewa padamu, Ru," lirihnya sebelum berlalu meninggalkan anak dan istrinya.

Abi yang menyaksikan hal tersebut, menatap simpati pada kakak tercintanya. Dia mendekat dan ikut memeluk Aru.

"Makanya, Kak. Kalau Papa bicara tuh didengarkan," ucap Abi sama sekali bukan kalimat penenang.

Jitakan di kening pun mendarat sempurna. Siapa lagi pelakunya jika bukan sang Mama?

"Aw! Sakit, Ma!" gerutunya tampak kesal.

"Lagian salah kamu juga. Kakaknya sedang sedih malah kamu ikut mengomeli," ucap Mama Kalea sambil memijit pelipis yang terasa pening.

Baru tadi pagi beban di kepalanya meringan, kini beban itu harus kembali hinggap memenuhi pikiran. Mama Kalea melepas pelukan dan meraih gelas berisi air putih agar perasaanya sedikit membaik.

Aru yang melihat hal tersebut, semakin merasa tidak berguna. Dia sudah menyebabkan kekacauan dalam keluarga. "Maafkan, Aru, Ma. Aru sudah berjanji untuk berubah. Bukan hanya penampilan, tapi Aru ingin berubah sepenuhnya," gumam Aru terdengar pilu. Bagai anak kecil yang meminta mainan sampai menangis lalu mengiris kalbu.

Semenjak hari itu, Mama Kalea dan Papa Javas sepakat untuk membawa sang Putri ke pondok pesantren. Bukan bermaksud untuk menutup aib yang sudah dibuatnya. Melainkan, mereka ingin membuat sang Putri menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Rasanya, belajar dalam ponsel belum cukup menurut keduanya. Aru juga perlu mengaji secara langsung dengan tokoh agama.

Ketika jam makan malam tiba, Aru melihat semua anggota keluarga telah berkumpul. Dia menundukkan kepala ketika tatapannya bertemu dengan tatapan dingin sang Papa. Dia segan dan takut ketika harus ditatap seperti itu.

Makan malam berjalan dengan hening. Tidak ada yang berniat untuk membuka pembicaraan walaupun hanya pembahasan ringan.

Semua terdistraksi dengan adanya ketegangan Aru dan Papa Javas. Hingga suara menggelegar sang Kepala Keluarga pun terdengar.

"Aru!" Panggilan itu berhasil membuat bulu kuduk Aru merinding. Padahal, bukan sebuah panggilan berupa teriakan yang kencang. Hanya panggilan yang didominasi sikap datar dan dingin.

"I-iya, Pa?" Aru tergagap. merasa takut dengan kejadian selanjutnya. Jika sang Papa sudah seperti itu, pasti akan ada sesuatu yang mendebarkan.

"Kamu ingin memperbaiki diri kan? Kamu ingin berhijrah dengan lebih baik lagi kan?" tanya Papa Javas yang segera diangguki antusias oleh Aru.

"Iya, Pa."

"Papa dan Mama sepakat untuk memasukkan kamu ke pesantren. Papa tidak akan menerima kalimat penolakan darimu. Entah kamu ingin atau tidak, kamu harus tetap masuk ke pesantren. Jadilah versi terbaikmu. Jangan lagi mau diinjak-injak dan direndahkan. Memang, kamu seorang perempuan yang mahkotanya sudah hilang. Namun, jangan jadikan hal tersebut untuk hal keterpurukan. Tunjukkan dan tingkatkan kualitas diri kamu," ucap Papa Javas panjang lebar dan penuh nasehat berguna.

Aru menganggukkan kepala, menyetujui keinginan sang Papa. Masuk ke pondok pesantren bukanlah hal yang sulit bukan?

"Oh iya. Papa tidak akan melepaskan kamu dan memberimu kebebasan lagi. Cukup sudah Papa kecolongan dulu. Kamu akan berangkat pagi dan pulang sore dengan diantar sopir. Tidak perlu menginap disana. Karena kalau menginap, bisa-bisa kejadian di masa lalu akan terulang."

Aru seketika merasa tersentil dengan ucapan sang Papa. Aru sudah tidak ingin melakukan perbuatan yang dilarang Tuhan. Aru sudah bukan lagi Aru yang dulu.

Terpopuler

Comments

Ita Mariyanti

Ita Mariyanti

ayo Aru.... be strong dan smart girl

2023-05-03

2

Aditya HP/bunda lia

Aditya HP/bunda lia

Ayo semangat Aru jadilah pribadi yang baik dan membanggakan tunjukan kepada orang2 yang telah mencela dan merendahkan mu karena setiap manusia pasti pernah berbuat salah

2023-04-04

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!