Hari pertama di pondok pesantren Darussalam, Aru mendapat sambutan baik dari pemilik pondok yaitu, Kyai Muntaha dan istrinya, Nyai Hafizdah. Aru diminta untuk memanggil dua orang mulia itu dengan sebutan Abah dan Umi.
"InsyaAllah, Umi akan ajarkan Nak Aru dari awal. Karena yang lain sudah berada di tingkat yang lebih tinggi, Nak Aru akan Umi ajari secara pribadi. Bismillah, Allah Maha Pengampun, Nak," ucap Umi lemah lembut.
Aru terharu dengan perlakuan lembut seperti itu. Padahal, dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya. Namun, sikap perempuan paruh baya yang sangat dihormati di seluruh penjuru pondok itu, tidak berubah sedikit pun.
"Kuncinya sabar. Semua itu adalah proses dari hidup. Allah tahu yang terbaik untuk kamu. Allah bisa menurunkan hidayah bagi siapa saja ingin menjemputnya, wallahi." Beliau tak henti-hentinya memberikan kalimat penyemangat untuk Aru.
Sebuah senyuman pun tercetak jelas dari bibir Aru. "Terima kasih, Umi." Dia tidak tahu lagi bagaimana caranya berterima kasih karena merasa dihargai di tempat tersebut.
"Umi hanya ingin memberi saran. Apapun aib kamu di masa lalu, jangan pernah menceritakan kepada siapapun. Allah sudah menutup aib Nak Aru dengan baik karena saat ini, kamu sudah berubah. Allah tidak pernah melihat seseorang dari masa lalunya. Tetapi, Allah melihat hamba-Nya dari bagaimana cara dia memperbaiki kesalahan di masa lalu tersebut. Contohnya, seperti Nak Aru ini. MasyaAllah. Nak Aru termasuk golongan orang-orang yang beruntung." Laksana embun di pagi hari, petuah Umi Hafizdah berhasil menenangkan gemuruh di dada Aru. Begitu menyejukkan dan menenangkan.
"Alhamdulillah, Umi. Tolong bantu saya untuk semakin dekat dengan Allah ya, Umi."
Matahari mulai berarak naik. Aru masih bertahan di pesantren tersebut karena masih ada jadwal ngaji selepas ashar. Digunakanlah waktu tersebut untuk melihat sekeliling pondok yang begitu menentramkan jiwa. Dia merasa betah di lingkungan orang-orang yang memancarkan aura positif. Seakan, Aru juga ikut terbawa aura tersebut.
Saat kakinya melewati sebuah taman kecil yang ditumbuhi rumput Jepang, penglihatannya sedikit terganggu dengan keberadaan dua orang pria yang seperti terlibat perbincangan ringan.
"Hah? Itu, bukannya Dirga? Kenapa dia ada disini?" gumam Aru keheranan.
Saat ingin mencuri dengar pembicaraan, tiba-tiba ada yang menepuk bahu Aru hingga niat itu hanya berakhir dalam pikiran.
"Aru? Sedang apa di area sini?" tanya seorang perempuan cantik yang mengenakan hijab segi empat berwarna biru.
"Astaghfirullahal'adzim!" Aru terpekik kaget hingga membuat dua orang laki-laki yang sedang berbincang terganggu dan mengalihkan perhatian.
Aru segera berbalik sebelum wajahnya dilihat laki-laki yang suka sekali berbicara pedas. Dia tidak ingin terlihat bodoh karena berada di tempat yang sama dengan Dirga.
"Disini area pondok putra. Sebaiknya kita pergi," ucap Zahra, salah satu pengurus di pondok tersebut.
Aru tersenyum malu. "Maaf, saya benar-benar tidak tahu." Dia meringis lalu mengikuti langkah Zahra menuju pondok putri.
"Mbak?" panggil Aru ketika keduanya berjalan bersisian.
"Kenapa?" tanya Zahra menoleh sekilas lalu kembali menatap ke arah jalan paving. Aru amati, sosok perempuan di sampingnya begitu menjaga pandangan karena sejak tadi menundukkan kepala.
"Tadi itu—"
Belum sempat Aru menyelesaikan kalimatnya, Zahra sudah lebih dulu menjawab. "Beliau Dirgantara Mahesa, donatur terbesar yang menghibahkan sebagian hartanya untuk kepentingan umat."
Mulut Aru terbuka lebar, tertutup, lalu terbuka lagi. Matanya berkedip-kedip lucu membuat Zahra terkekeh sebentar. "Kenapa, Ru? Terkejut?" tanya perempuan yang usianya lima tahun lebih unggul dari Aru.
"Tetapi, penampilan dia ...."
"Jangan lihat dari penampilan. Orang yang berpenampilan baik belum tentu memiliki hati yang baik dan orang yang berpenampilan urakan, belum tentu buruk juga. Don't judge some people from. the cover." Zahra mulai mengemukakan pendapatnya.
Aru masih belum percaya dengan apa yang baru saja didengar. Namun, apa yang baru saja dilihat semakin meyakinkan keraguan Aru.
Dirga? Donatur yang menghibahkan sebagian harta untuk kepentingan umat? Lalu, kenapa tingkah laku ketika berhadapan dengannya sangat berbeda? Sama sekali tidak menunjukkan seorang pria baik-baik. Mulutnya yang pedas dan suka menghina, sangat berbanding terbalik dengan apa yang Aru lihat baru saja.
...----------------...
Hujan baru saja mengguyur kota sore hari itu. Membuat jalanan basah dan menciptakan genangan air. Aru sudah keluar dari mushola tempat dia menjalankan sholat Maghrib berjamaah. Masih di area pondok dan di sana, santri putra maupun putri bisa saja bertemu.
Aru berharap, dia bisa bertemu dengan Dirga lagi. Setelah fakta yang diketahuinya belum lama ini, pikiran Aru tiada henti berpikir seputar Dirga dan Dirga. Dia masih tidak percaya saja.
Bagai semesta mendukung, sosok Dirga pun keluar dari mushola. Lagi-lagi Aru tercengang. Dirga sholat? Pertanyaan itulah pertama kali melintas di kepala.
Kemudian, bisik-bisik di belakangnya membuat Aru menoleh dan mendapati sekumpulan santriwati sedang mengagumi sosok Dirga.
"MasyaAllah. Sudah tampan, pandai bersedekah pula. Memang ciri-ciri suami idaman."
"Memang Bang Dirga tuh nggak ada cela, MasyaAllah, sungguh indah ciptaan-Mu."
"Mana kaya raya ya. Aku nggak akan lupa untuk menyelipkan namanya di sujud terakhirku."
Mata Aru terbuka sempurna. Di dalam pondok ini, ternyata Dirga menjadi idola. Ketika Aru mengembalikan pandangan, tatapannya berserobok dengan mata tajam milik Dirga.
Raut terkejut berhasil Aru tangkap. Sama seperti kejadian yang menimpa dirinya beberapa jam yang lalu. "Jaga pandangan, Nak." Nasehat itu tercetus dari Umi Hafizdah yang membuat Aru tersadar sudah menatap Dirga terlalu lama.
Namun, kalimat itu tidak diperuntukkan pada dirinya. Melainkan pada santriwati yang masih berada di belakangnya.
"Afwan, Umi."
Aru menghela napas lega. Dia bangkit setelah memakai sepatu miliknya. Lalu berbalik untuk berpamitan pada Nyai Hafizdah.
"Umi? Aru pamit dulu. Besok Aru akan tiba tepat waktu," pamit Aru yang dibalas senyum oleh Umi.
"Ucapkan InsyaAllah untuk perkara yang belum kita ketahui, Nak," nasehat Umi yang membuat Kalea menunduk malu. Dia memang masih fakir soal ilmu. Namun, bukan berarti Aru tidak tahu-menahu soal agamanya.
Mama dan Papanya dulu telah mengajarinya. Hanya saja, setelah Aru dewasa, dia meninggalkannya. Aru mengangguk. "InsyaAllah, Umi," ucap Aru pada akhirnya.
"Mari, Umi. Assalamualaikum." Lalu Aru mengangguk hormat dan berjalan menuju mobil sang Sopir yang sudah menunggu sejak pagi.
Sebelum masuk, Aru menoleh sebentar dan melihat Dirga yang kini sedang menatapnya dari kejauhan. Aru tidak pandai membaca sebuah tatapan. Jadi, dia menyimpulkan jika saat ini Dirga mungkin merasa aneh ketika menjumpai dirinya di pesantren.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Ita Mariyanti
real jodoh ini kek nya 😁😁
2023-05-03
1
LANY SUSANA
jodoh Aru tuh Dirga 😍😍
2023-04-04
1
Aditya HP/bunda lia
Jangan tatap tatapan di pesantren ....
2023-04-04
1