Bab 2. Berisik!

Tujuan pertama Aru adalah menuju ruang dekan. Dia harus mengajukan surat izin aktif terlebih dahulu. Aru hanya bisa berdoa semoga pengajuannya diterima.

"Permisi, Bu? Pak Agungnya ada di ruangan?" tanya Aru sopan.

Petugas TU yang Aru sebut Ibu itu menatapnya dengan pandangan merendahkan. Aru sadar jika pandangan wanita paruh baya di depannya itu sedang menelisik penampilan.

Aru sedikit risih tetapi mencoba mengabaikan. "Bu?" ucap Aru lagi baru wanita di depannya mengangguk sebagai jawaban. Sehina itu Aru di hadapan manusia karena kesalahannya di masa lalu.

"Terimakasih, Bu." Setelah berucap demikian, Aru memasuki ruangan dan mengetuk salah satu pintu yang tertulis nama profesor Agung. Di ruang tersebut, masih ada empat pintu lain yang digunakan oleh dosen berbeda.

"Masuk!"

"Permisi, Pak," ucap Kalea setelah membuka pintu. Baru saja kakinya akan melangkah, sang Dekan sudah lebih dulu mencegah.

"Tidak perlu masuk. Saya tidak mau ruangan saya kotor," ucap beliau tak berperasaan.

Deg.

Jantung Aru bagai berhenti berdetak detik itu juga. Aru menghela napas pelan untuk menghilangkan sesak dalam hatinya. "Baik, Pak. Saya bermaksud untuk mengajukan—"

"Tidak perlu dilanjutkan! Dengan berat hati, para petinggi kampus sepakat untuk mengeluarkan kamu. Kami tidak ingin nama universitas menjadi buruk hanya karena satu orang yang tidak bertanggungjawab."

Aru tersenyum miris. Matanya sudah siap mengeluarkan bendungan air di pelupuknya. Namun, Aru mendongak agar air kristal itu urung turun.

Jemari Aru mencengkeram selempang tas yang menggantung di lengannya. "Maaf jika nama saya hanya mencemarkan nama baik kampus. Terimakasih karena pernah menerima saya di universitas ini. Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak," pamit Aru lalu berjalan melewati wanita paruh baya yang bekerja di bidang Tata Usaha.

Langkah Aru terayun cepat menuju belakang rooftop kampus. Dia ingin menenangkan batin yang sedang mengalami pergolakan. Beruntung, untuk bisa sampai kesana, ada tangga darurat sehingga Aru tidak perlu bertemu dengan mahasiswa lain.

Setelah menutup pintu rooftop, Aru berjalan gontai mendekati pagar pembatas. Air matanya luruh seketika. Pagi hari yang mendung itu, semakin membuat suasana hati Aru tak menentu.

Sekuat tenaga Aru menahan isakan tangisnya agar tidak ada seorangpun mendengar. "Apa aku sehina itu? Apa aku sudah tidak memiliki tempat lagi di dunia ini?" racau Aru tersedu-sedu.

Hatinya sakit bukan karena dikeluarkan dari kampus. Melainkan lebih kepada perkataan orang-orang yang menganggap Aru kotor. "Iya, aku memang kotor. Aku tidak ada artinya, aku buruk, aku tidak punya harga diri, dan masih banyak lagi kekurangan ku. Tetapi, apakah mereka tidak bisa menjaga perasaanku sedikit saja?" racau Aru lagi sambil memegangi dadanya yang terasa sesak.

"Papa, sakit sekali. Maafkan aku karena tidak bisa menjadi anak yang membanggakan." Penyesalan itu pun kembali menghantui. Andai waktu itu Aru mendengar nasehat sang Papa untuk tidak lagi mendatangi klub malam, andai Aru mendengarkan kemarahan sang Mama dan kekecewaan sang Adik, mungkin keadaan seperti ini tidak akan Aru alami.

Aru menatap bawah dimana lantai dasar tampak kecil dari tempatnya berdiri. Kepalanya mengatakan, mungkin jika dia lompat dari gedung tersebut, semua masalahnya akan hilang. Namun, hal itu hanya berlaku di dunia. Saat di akhirat, nyawanya akan tertolak.

Terlalu frustasi, Aru berjongkok dan menenggelamkan kepala pada tumpukan lengannya. Tangisnya semakin meraung-raung penuh kesakitan yang begitu menyesakkan.

"Ngapain sih teriak-teriak?! Berisik!"

Suara itu membuat Aru terdiam dan mendongak. Dia celingukan mencari arah sumber suara. Setelah sadar siapa sang pelaku, bukannya mereda, tangis Aru semakin menjadi-jadi.

"Kamu senang kan dengan keadaanku saat ini? Kamu pasti bahagia karena memiliki bahan untuk mengolok-olok ku lagi. Kamu mau mengatakan apa lagi? Aku sok suci? Aku sok alim?" tanya Aru dengan air mata berderai.

Dia berjalan beranjak dan berjalan mendekati laki-laki bernama Dirga. Entah mengapa pria itu ada disini. Bukankah seharusnya dia mengikuti pelajaran?

Aru menatap penuh luka pemilik mata tajam yang berhasil mengintimidasi lawan bicaranya. Namun kali ini, hal itu tidak memengaruhi Aru. "Hina saja aku semaumu. Sekarang. Mumpung aku sedang memberimu kesempatan. Aku tidak tahu apakah besok kamu masih bisa melakukannya," ucap Aru lirih sambil membenarkan pashmina-nya yang tertiup angin.

Matanya sudah memerah begitu juga dengan hidung dan pipinya. Dirga justru terkekeh sinis yang membuat kekesalan Aru semakin memuncak.

"Memang, besok kamu mau kemana?" tanyanya sinis.

"Bukan urusan kamu!" pekik Aru kesal.

Aru lihat, Dirga menghela napas lalu menyimpan telapak tangan ke dalam saku celananya. "Mau lompat ke bawah kan?" tebaknya dengan satu alis terangkat.

Melihat Aru terdiam, Dirga terkekeh sinis. "Kamu pikir, dengan terjun bisa menyelesaikan semua? Apa kamu tidak berpikir jika saat ini orang tuamu sedang berdoa demi kebaikanmu? Apa kamu tidak berpikir bagaimana wajah kecewa dan sedihnya mereka ketika mengetahui putrinya memilih mengakhiri hidupnya?"

Pertanyaan itu membuat Aru tergugu. Dia sampai lupa jika di dunia ini masih memiliki orang-orang yang begitu mencintai dirinya. Orang-orang yang tidak pernah mempermasalahkan masa lalunya. Mereka adalah keluarga.

Aru tersadar jika Dirga di hadapannya tampak berbeda. Walau nada bicaranya sinis, sejak pertemuan tadi pagi, laki-laki itu belum menghinanya. Aru mendongak dan melihat tatapan sendu milik Dirga.

Namun, pemandangan itu hanya sebentar karena setelahnya, tatapan itu berganti dengan tatapan sinis seperti biasa. "Apa?" tanya Dirga angkuh.

Aru memutar bola matanya jengah. "Pergi sana! Jangan ganggu aku!" pinta Aru membuang muka.

"Kamu yang pergi. Aku sudah lebih dulu ada disini," jawab Dirga santai. Tangannya bergerak mengambil sebatang nikotin di saku celananya dan menghidupkan dengan pemantik.

Ketika tatapan Aru tertuju pada lantai, sudah banyak putung rokok yang terbuang. Mungkin benar jika Dirga sudah lebih dulu berada di sana.

Aru terbatuk-batuk ketika asap rokok itu disemburkan pada wajahnya. "Uhuk! Uhuk! Apa-apaan sih, kamu? Aku juga berhak ada di sini!" pekik Aru tidak terima.

"Kata siapa? Bukankah kamu sudah dikeluarkan ya?" Ucapan Dirga membuat Aru menatap pria di hadapannya, seakan ingin menguliti.

Bibir yang tadi berucap baik, kini kembali ke setelan pabrik. Tajam dan penuh intrik.

Aru menghela napas kasar. Tak ingin lagi terpancing emosi karena ucapan Dirga yang menguras stok sabar. Saat Aru akan berbalik dan berjalan, kakinya tiba-tiba terkilir hingga membuat tubuhnya limbung.

"Aakkh!" pekik Aru sambil memejamkan mata. Mengira jika dia akan terjatuh dan kembali dipermalukan. Nyatanya, ketika Aru membuka mata, wajah Dirga lah yang menjadi pemandangan pertamanya.

Aru mengerjapkan mata beberapa kali agar dia tidak terpesona oleh ketampanan seorangpun Dirga. "Berdiri atau aku biarkan kamu jatuh?"

Aru membelalak tak percaya. Selain pedas, ternyata Dirga juga bermulut kasar.

Terpopuler

Comments

Sunflower🌻

Sunflower🌻

Daerah yang katanya tempat orang2 menimba ilmu kok ya begini amat manusia2nya ckck

2023-07-21

0

Ita Mariyanti

Ita Mariyanti

awas cupid memanah mu Dir

2023-05-03

1

Ita Mariyanti

Ita Mariyanti

kq ada mulut dekan g educated gt

2023-05-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!