Bab 5

"Bang, ada apa malam-malam kesini?" lelaki yang sedang duduk di teras rumah mendongakkan wajahnya.

"Jali, Abang ada perlu sama kalian berdua," kata bang Jaka, Abang ipar Lili.

Lili dan bang Jali saling menatap kemudian kembali mengalihkan pandangan pada Jaka.

"Sebaiknya kita masuk dulu Bang," kata Lili ikut bersuara.

Bang Jaka mengangguk setuju, kemudian Bang Jali membuka pintu rumah dan mempersilahkan bang Jaka masuk ke dalam, duduk di atas tikar.

"Ayo duduk dulu bang, biar Lili buatkan kopi," kata Lili ingin beranjak ke dapur.

"Tidak usah Li, Abang hanya perlu dengan Jali saja sebentar dan kamu juga boleh ikut mendengarkannya," kata Bang Jaka membuat Lili penasaran. Entah kenapa, hatinya begitu gundah dengan kedatangan Jaka ke rumah mereka.

"Begini, Abang rencananya mau beli mobil karena kakak ipar kalian yang memintanya tapi uangnya tidak cukup, bagaimana jika rumah Almarhum bapak kita jual saja," kata Bang Jaka membuat Bang Jali kaget.

Pasalnya tidak ada angin hujan bang Jaka meminta rumah Almarhum bapaknya di jual.

" Apa, Abang mau menjual rumah ini, aku tidak setuju bang, hanya ini rumah bapak satu-satunya dan kini aku yang menempatinya," kata Bang Jali keberatan sementara Lili memilih untuk ke kamar, dia tidak ingin ikut campur dengan urusan suami dan Abangnya.

"Kenapa Jal, bukankah Abang juga berhak atas rumah ini. Kalau tidak kalian beli saja rumah ini atau Abang pinjam uang kalian," kata Bang Jaka tetap ngotot ingin menjual rumah yang mereka tempati.

Lili mondar mandir di dalam kamar, takut akan terjadi perkelahian di antara adik kakak itu.

"Bang, Jali tidak punya uang untuk beli rumah ini apalagi kondisi aku yang masih kerja serabutan. Beda dengan Abang yang kerja di pemerintahan, lagian Abang kok mau nurutin semua permintaan Mbak Mala," kata Bang Jali lagi.

"Jali, kamu tahukan kalau Mbak iparmu jika marah, Abang tidak mau berantem. Abang tetap ingin rumah ini di jual, pokoknya dalam waktu dekat rumah ini akan Abang jual dengan persetujuan kamu atau tidak," kata Bang Jaka menatap marah kepada bang Jali kemudian pergi keluar rumah setelah mengatakan itu semua.

Bang Jali menghela nafas dengan pelan, ia tidak menyangka jika Abangnya dengan tega ingin menjual rumah yang mereka tinggali dalam setahun ini. Bang Jali menutup pintu depan kemudian melenggang masuk ke dalam, terlihat Lili berdiri di depan pintu kamar dengan air mata menetes dan memeluk suaminya.

"Bang, kalau rumah ini di jual kita mau tinggal dimana?" Tanya Lili dengan Isak tangis menyayat hati, baru kali ini ia merasa sedih melihat suaminya seperti ini.

"Sudah, adek tidak perlu memikirkan hal itu biar Abang yang pikirkan. Sekarang kita istirahat ya," kata bang Jali tidak ingin istirahat khawatir meski tidak bisa di pungkiri ia juga khawatir.

"Tapi bang...,"

"Dek, kamu percayakan semuanya sama Abang. Lagian jika rumah ini di jual Abang juga berhak mendapatkan bagian, tapi Abang merasa tidak bisa meninggalkan rumah bapak," kata bang Jali.

"Bagaimana jika kita buka dulu tabungan kita bang, mana tahu ada sedikit dan nanti kita bisa cari pinjama sama orang," usul Lili menatap suaminya.

"Tidak, Dek! Abang tidak ingin berhutang sama orang, Abang takut tidak bisa membayarnya," kata Bang Jali menolak usulan istrinya, namun Lili teringat dengan orang tuanya.

"Ya sudah, kita tidur aja bang! Besok jika bang Jaka datang lagi baru kita cari jalan keluarnya," kata Lili menghapus jejak air matanya, kemudian memeluk tubuh suaminya melangkah menuju kamar mereka.

Tidak ada seorang istri pun yang tega melihat suaminya dalam kesusahan begitu juga dengan Lili, ia mencoba untuk mencari jalan keluar dengan masalah yang suaminya hadapi.

Pagi-pagi sekali ketukan pintu terdengar sangat keras, Lili yang sedang menyapu terpaksa ke depan untuk melihat siapa yang mengetuk pintu.

"Iya, tunggu sebentar," teriak Lili dengan kesal.

Lili membuka pintu dan matanya membulat melihat siapa yang datang.

"Bang Jaka...," Panggil Lili dengan lirih.

"Suami kamu ada, Li?" Tanya Bang Jaka.

"Ada, bang! Sebentar saya panggilkan," kata Lili berjalan ke dapur menemui suaminya yang sedang berada di belakang rumah.

"Bang, ada bang Jaka di luar," Bang Jali yang sedang memberi makan ayam terkejut kemudian menatap sang istri.

"Bang Jaka sepagi ini kesini?" Tanya Bang Jali tak percaya dengan sikap Abang yang terlalu memuja sang istri, tak peduli dengan saudara sendiri.

"Iya bang, sepertinya Bang Jaka tetap kekeh menjual rumah ini," kata Lili takut.

"Baiklah, biar Abang temui bang Jaka di depan," kata Bang Jali bangun dari duduk memberikan makan ayam.

Lil hanya mengangguk kemudian berjalan di belakang suaminya, gurat ke khawatiran nampak jelas di wajah suami istriku.

"Bang Jaka, ada apa?" Tanya Bang Jali.

"Sesuai yang Abang katakan semalam, rumah ini ada yang beli seharga 80 juta. Jadi menurut kamu bagaimana?" Tanya Bang Jaka tanpa basa-basi.

"Apa harus secepat itu bang, apa Abang tega menjual rumah peninggalan bapak," kata Bang Jali lagi.

"Bukan masalah tega atau enggaknya Jal, tapi Abang itu butuh uang 80 juta untuk mencukupi pembelian Mobil yang Mbak inginkan," kata Bang Jaka dengan wajah memerah.

"Jika Abang menjual rumah ini 80 juta lalu bagaimana bagian hak aku, dan Kak Sarah," kata Bang Jali menatap abangnya dengan tajam.

"Loh, bagian apa yang kamu maksud? Jika Abang membagikan lagi pada mu dan Sarah maka tetap saja Abang tidak bisa membeli mobil," kata Bang Jaka.

Jak berpikir hasil penjualan rumah akan menjadi miliknya semua, ia tidak ingin membagikan pada adik-adiknya.

"Kalau begitu tidak ada penjualan rumah karena aku dan kak Sarah juga mempunyai hak atas rumah bapak, sebaiknya Bang Jaka bisa mengambil uang di bank untuk membeli mobil," kata Jali pada Abangnya.

Jaka semakin frustasi, pasalnya istrinya semakin mendesak untuk membeli mobil. Karena tidak ingin kalah saing dengan tetangganya, Maya mendesak suaminya untuk membeli mobil meski harus menjual rumah milik orang tuanya.

"Jika Abang tidak ingin mengambil pinjaman di bank, Abang bisa menjual warisan yang di berikan oleh bapak kan. Bukan kah di antara kita bertiga mendapat hak yang sama lalu kenapa Abang ingin menjual rumah ini," kata Jali lagi membuat Jaka terbungkam, meski bang Jaka lebih dewasa dari bang jali tapi Jaka kadang bersikap seperti anak kecil.

"Tidak-tidak, warisan itu untuk masa depan anak-anak Abang. Lagian jika rumah ini di jual bagian kamu buat Abang saja dulu karena abang lebih membutuhkan uang itu dari pada kamu, kamu kan tidak punya anak jadi kebutuhan kamu itu tidak banyak," kata Bang Jaka.

"Cukup Bang...,"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!