"Siapa namamu?" Pria tinggi dihadapanku menanyaiku sembari membuka jaket kulit yang dia kenakan. Kami sudah tiba di lantai 5 beberapa detik lalu.
Aku masih saja menundukkan wajah dalam-dalam, namun pertanyaan pria itu tak mungkin tidak ku jawab disaat Tuan Aro saja tampak begitu menghormatinya.
"Sa--saya, Elin, Tuan."
"Kerjakan tugasmu dengan baik!" titahnya sembari melemparkan sebuah bathrobe ke arahku. Aku tidak mengerti, apa maksudnya ini. Dan lagi, aku pikir di lantai 5 akan ada arena berjudi seperti di empat lantai lainnya, ternyata tidak. Disana hanya ada sebuah ruangan yang bisa dibilang gelap. Aku bahkan tidak dapat melihat dengan jelas ada apa didalam ruangan yang kini sedang ku tapaki.
Klek!
Seolah tau isi kepalaku, pria ini menyalakan lampu ruang dan didetik yang sama barulah aku tau jika disini adalah sebuah koridor yang menghubungkan ke sebuah pintu yang letaknya ada di paling ujung.
Pria itu meletakkan jaket kulitnya di sebuah standing holder, kemudian berjalan menuju pintu. Aku masih diam seolah kakiku terpasak di lantai yang ku injak.
"Kau mau diam disitu sampai pagi?"
Aku tersentak, suara serak khas pria itu menyadarkan ku. Aku lantas mengikutinya dengan sedikit terburu buru.
Saat pintu dibuka, aku membelalakkan mata karena itu adalah sebuah ruang kamar yang tampak cukup besar. Disana ada ranjang berukuran queen dengan lampu tidur bergaya modern.
"Aku ke kamar mandi. Saat aku keluar nanti, kau harus sudah mengenakan bathrobe itu!" ujarnya dingin sembari menunjuk bathrobe yang sejak tadi ku pegangi dengan perasaan bingung.
Dan kini aku semakin bingung lagi dengan apa yang terjadi.
Benarkah aku diminta untuk mengenakan bathrobe ini? Ya, Tuhan ... apakah aku harus mengikuti perintah pria itu?
Saat aku hendak menyuarakan keengganan ku, pria itu sudah keburu masuk ke dalam pintu lain yang ku yakini adalah ruang kamar mandi yang ia maksud.
"Tidak, aku tidak bisa menggunakan ini didepannya." Aku membatin.
Sampai pria itu keluar dari kamar mandi. Aku hanya diam berdiri dengan bathrobe yang ku peluk erat-erat.
"Kau belum mengganti bajumu?"
Aku menggeleng lemah.
Hening. Aku bahkan tidak berani menatap pria didepanku walau hanya dengan ujung mata. Entah kenapa aku merasa aura yang berbeda ada padanya. Belum lagi saat matanya menatapku. Demi apapun, aku takut. Aku takut jika malam ini aku harus kehilangan sesuatu yang ku jaga hanya untuk suamiku nanti.
"Kau masih perawan?"
Pertanyaan pria itu sontak membuatku mengangkat pandangan, disanalah aku melihat jika dia hanya mengenakan bathrobe yang senada dengan yang saat ini ada dalam pelukanku.
"Answer me, are you still virgin?"
"Ya." Aku membuang pandangan ke samping.
"Seriously?"
"Kalau anda tidak percaya tidak apa-apa," jawabku singkat.
Tidak disangka, pria itu justru terkekeh. "Maka dari itu buat aku percaya," katanya ambigu.
Aku masih belum paham kemana arah perkataannya sampai akhirnya dia kembali melanjutkan.
"Buktikan padaku jika kau masih perawan."
"Caranya?" polos aku bertanya.
Pria dengan hidung bangir itu tidak memperlihatkan gelagat apapun atas pertanyaanku, tapi jawabannya selanjutnya justru membuat kelopak mataku terbuka selebar-lebarnya.
"Aku akan mencobamu."
...***...
Aku tidak tau, kenapa aku harus terjebak dalam situasi seperti ini. Entah harus bersyukur atau justru mengumpati nasib.
Pria yang beberapa saat lalu mengatakan ingin mencoba diriku, justru tertidur pulas dengan aku yang diminta menemaninya agar ikut berbaring di ranjang yang sama.
Dia hanya berpesan agar aku membangunkannya jika terjadi apapun.
"Bangunkan aku jika kau mendengar alarm gawat darurat atau semacamnya. Kau mengerti?"
Padahal, aku sudah bersiap untuk melawannya, dengan ancang-ancang alami yang muncul dengan sendirinya dalam diriku--jika terjadi kekerasan atau pemaksaan kehendak darinya terhadapku. Jika sampai aku menerima perlakuan tersebut maka aku tidak akan segan-segan untuk menggigitnyaa atau melawannya dengan cara apapun, demi mempertahankan agar diriku tetap utuh seperti sedia kala--sebelum aku bertemu dengannya hari ini.
Nyatanya, sikap mawas diri yang ku bangun itu justru harus tersimpan sia-sia di dalam otakku saja, karena pada akhirnya pria ini langsung terlelap begitu dia membaringkan tubuh di atas tempat tidur. Dia tidur, benar-benar tidur.
Dengan lancang, aku mencuri pandang pada pria yang ada di sisiku. Suara dengkuran halus terdengar darinya hingga meyakinkanku bahwa dia betul-betul pulas dalam tidurnya.
Harus ku akui, pria ini tampan. Bahkan sangat tampan. Iris matanya hitam pekat, sehingga nampak selalu mengintimidasi siapapun lawan bicaranya. Hidungnya tinggi, mancung sekali. Alisnya tebal dan dia memiliki bibir tipis yang kemerahan.
Demi apapun, baru sekarang ini aku bisa menatap dengan jelas wajah dari lawan jenis. Ini bukan hanya sekedar jelas, melainkan juga sangat dekat. Ini ku lakukan karena terdorong rasa penasaran yang jauh lebih besar ketimbang rasa takut.
Meski diawal tadi aku takut, tapi setelah tidak ada sesuatu yang terjadi. Tepatnya tidak ada kekerasan dan pemaksaan seperti bayanganku sebelumnya, perlahan-lahan rasa takutku memudar.
Dalam keadaan itu, jantungku hampir melompat dari rongganya saat mata pria yang tadinya tertutup itu, tiba-tiba terbuka.
Mati aku.
"Apa yang kau lakukan?"
Aku menggeleng keras-keras.
"Kau mau ku cobai?"
Astaga, dia kembali membahas hal itu, padahal sudah bagus jika tadi dia tertidur pulas.
"Tidak. Aku tidak mau!" jawabku tegas, namun mendadak rasa takutku kembali datang.
"Jika begitu, maka tidurlah! Ini peringatan pertama dan terakhir. Kau tidak boleh menatapku yang sedang tidur!" tegasnya.
"Ya, ya, Tuan."
Pria itu berdecak. "Javier. Itu namaku," katanya dengan nada rendah.
Aku mengangguk, tapi aku tidak menjawab lagi dengan ucapan
"Tidur atau ku tiduri?"
Cepat-cepat aku memejamkan mata, membelakanginya dan memeluk guling dengan eratnya.
Meski begitu, aku masih bisa mendengar hembusan nafas kasar dari pria bernama Javier itu. Hingga akhirnya aku benar-benar jatuh terlelap dalam tidur yang terasa waspada.
...***...
Menjelang subuh, aku tersentak karena alarm bawah sadarku seakan membangunkan. Mungkin karena aku terbiasa bangun di jam ini maka tidak heran jika aku akan terbangun meski tak menggunakan jam weker.
Ku lihat ke samping, nyatanya pria itu tidak lagi ada disana. Sisi ranjang itu telah kosong. Entah kapan dia pergi tapi aku bersyukur bahwa tidak ada yang kurang dari diriku meski semalam aku harus satu ranjang dengan pria asing tersebut.
Aku bangkit dari tempat tidur, tubuhku terasa cukup segar karena ranjang disini lebih empuk ketimbang tempat tidur yang ku tempati di area lantai 4.
Tanpa sengaja aku melihat sisi nakas yang ternyata disana ada lembaran uang yang jumlahnya tidak sedikit.
Sebuah nota kecil dengan tulisan tangan juga terlampir.
For Elin. Thank you. -Javier.
Aku terdiam cukup lama. Entah kenapa tidak langsung meraih lembaran uang itu. Meski semalam tidak terjadi apapun diantara kami, tapi jika aku mengambil uangnya maka aku tampak seperti wanita bayaran yang telah menjajakan diri.
Aku tersenyum miris di posisiku. Mengingat lagi jika semua ini karena ulah Liam. Tanganku mengepal, aku harus membuatnya menyesal telah melemparkanku ke tempat seperti ini.
Dengan gamang, ku raih semua uang itu. Uang ini milikku. Akan ku simpan dan ku gunakan untuk membeli Liam, suatu saat nanti. Itulah tekad dalam diriku.
...Bersambung ......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
wagi giyoux
semangat elin...
hai² aku hadir lg sebagai reader yg setia dgn karya²mu kak.
2023-04-04
1