Bagaimana mungkin hal seperti ini yang Liam katakan sebagai pekerjaan?
Inikah pekerjaan yang sesuai dengan aturan Liam?
Inikah pekerjaan yang tidak membuat pria itu malu?
Aku menatap wajah Liam dan ekspresi pria itu tampak menyeringai puas, seolah baru saja memperkenalkan dunia baru kepadaku.
"Ayo, Elin. Kenalkan dirimu pada Tuan Aro."
Aku mengepalkan tanganku. Memang benar, pekerjaan yang Liam maksud tidak akan membuat kulitku terpapar cahaya matahari. Jelas saja, pekerjaan ini dilakukan pada waktu sore sampai dini hari.
Bagaimana mungkin pekerjaan ini tidak membuat Liam malu? Sedangkan aku saja merasa sangat malu berada ditempat seperti ini.
Kakak macam apa yang membawa adiknya untuk ditempatkan bekerja disebuah kasino alias tempat berjudi?
Tapi, aku segera meyadarkan diri jika hanya aku yang menganggap Liam sebagai kakak, sedangkan dia tidak demikian. Buktinya, dia selalu memperlakukanku dengan buruk setahun belakangan ini. Yang akhirnya itu justru membuatku enggan untuk memanggilnya dengan sebutan Kakak–lagi. Ya, meski didepannya aku masih menyebutnya 'Kak', nyatanya dalam hati aku selalu mengumpatnya berkali-kali.
"Elin!" Liam menyenggol lenganku dengan sengaja. Seolah memberi kode agar aku memperkenalkan diri pada pemilik tempat hiburan ini.
"Maaf, Tuan. Elin memang sedikit pemalu." Liam berkata pada pria dihadapannya yang bernama Tuan Aro.
"Hai, Elin. Ternyata Liam tidak berbohong, kau memang sangat cantik," kata Tuan Aro yang menatapku dengan tatapan genit.
Belum apa-apa, aku sudah merasa jengah berada ditempat ini.
"Y-ya… Aku, Elin." Mau tak mau, aku pun menyambut uluran tangan pria paruh baya itu, karena Liam terus memelototiku.
"Baiklah, mulai sekarang kau bekerja disini. Nanti akan ada pekerja lain yang akan memberitahumu bagaimana mekanisme disini."
Aku menatap pada Liam sebagai isyarat permohonan agar tidak mempekerjakanku di tempat semacam ini. Sayangnya, Liam justru mengiyakan ucapan Tuan Aro.
"Permisi, Tuan. Bolehkah aku bicara empat mata dengan Kak Liam, sebentar?" kataku takut-takut.
Tuan Aro mengangguk dan mempersilahkan.
Aku menarik lengan berotot milik Liam, membawa itu kearah yang tak terlalu jauh.
"Kau apa-apa-an, Kak? Kau mau aku menjual diri disini? Apa ini pekerjaan yang membuatmu tidak merasa malu? Justru aku sangat malu berada disini, Kak."
Liam malah terkekeh seperti meledek. Tak berselang lama, pria itu memberi sebuah jawaban.
"Yang menyuruhmu untuk jual diri, siapa? Kau memang berada disini, tapi bukan berarti kau harus menjual dirimu, Medeline!"
"Lalu apa? Ini tempat judi, Kak!"
"Astaga, Elin. Kecilkan suaramu. Kau mau, Tuan Aro mendengar ucapanmu itu, lalu kau diseret hidup-hidup saat ini juga?"
Aku spontan mengatupkan mulut. Entahlah, semua ini terasa tak masuk akal bagiku. Apa ada seorang kakak yang menjerumuskan adiknya seperti yang dilakukan Liam? Aku pikir, semua itu hanya ada di film-film atau drama, nyatanya itu justru menimpa diriku sendiri.
Tapi setelah ku sadari, memang tidak ada ikatan darah diantara kami jadi jelas saja Liam tidak berat hati saat merencanakan semua ini.
"Elin, Adikku, kau hanya perlu menemani tamu-tamu yang ada disini. Dampingi mereka berjudi. Tuangkan minuman untuk mereka. Itu saja! Kau tidak harus tidur dengan mereka!"
Apa Liam pikir aku akan menyetujui hal ini begitu saja? Aku segera menggeleng keras-keras.
"Aku tidak mau, Kak!"
"Itu terserahmu." Liam mengendikkan bahu cuek. "Jika kau menolak, maka ku pastikan ibumu hanya akan tinggal nama."
"Liam!!!" geramku tak tertahankan.
Liam benar-benar keterlaluan. Ingin sekali rasanya aku menampar pipi pria itu, atau jika bisa aku ingin menyumpal mulut Liam dengan kaos kaki.
"Hahaha, kau tidak bisa berkutik, kan?"
Lagi, aku hanya bisa menggeram dalam hati. Mengumpat pria ini sejadi-jadinya, namun tak bisa menyuarakan itu terang-terangan dihadapan Liam.
"Kau pikir biaya pengobatan ibumu itu murah? Biarpun aku bekerja, semuanya tidak murah, Elin! Kau bantu sedikit saja, ini demi ibumu juga. Gaji disini lumayan besar dan tidak sebanding dengan dagangan emperanmu itu. Kita juga bisa makan enak setiap hari."
"Daganganku masih lebih beradab dan baik ketimbang ditempat ini," ketusku.
Liam tersenyum miring. "Tidak usah membicarakan adab atau baik tidaknya sesuatu. Kau lupa, jika ibumu sendiri menggadaikan tubuh demi dirimu?"
"Maksudmu apa, Kak?"
"Elin, Elin ... kau lupa jika dulu ibumu mau menikah dengan Ayahku hanya karena uang? Ya, memang Ayahku saja yang bodoh karena mau dengan ibumu itu, padahal saat Ayahku kaya, dia bisa saja mendapat yang lebih baik dari ibumu!" tukasnya menohok.
Mendengar itu, entah kenapa aku tidak bisa lagi mengontrol emosi. Sejak tadi aku sudah mencobanya, tapi ucapan Liam yang sekali ini terdengar sangat menjatuhkan harga diri ibuku.
Plak!
Akhirnya pukulan tanganku mendarat juga di pipi Liam. Membuat pria itu menatapku dengan ekspresi mengerikan.
Bahkan, karena kejadian tersebut, membuat hampir semua orang yang berada dalam lingkup ruang perjudian itu jadi terfokus pada kami berdua.
Begitupun atensi Tuan Aro, dia menjadi menatap kearah ku dan Liam. Pria paruh baya itu mendekat dan mencoba menengahi disaat Liam ingin membalas perbuatanku.
"Sudahlah, Liam. Kenapa kau harus memperpanjang masalah ini? Kalian sudah membuat keributan di tempatku."
Wajah Liam tampak sungkan pada Tuan Aro.
Liam langsung menarik diri, padahal tadinya Liam hampir saja melayangkan pukulan balasan ke wajahku.
"Maaf, Tuan. Ini semua hanya kesalahpahaman saja," kata Liam yang masih bisa ku dengar pembicaraan nya dengan Tuan Aro.
"Jadi, bagaimana? Apa Elin sudah siap bekerja?"
Aku ingin menyahut, tapi Liam segera menjawab secepat kilat.
"Tentu saja, Tuan. Elin akan bekerja mulai malam ini juga."
Mendengar itu, otot-otot ditubuhku terasa melemas seketika. Tega sekali Liam memperlakukannya seperti ini.
Setelah mengatakan itu, aku melihat Liam keluar dari kasino dengan sebuah amplop yang diterimanya dari Tuan Aro.
"Elin?"
Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya menyahuti panggilan lelaki tambun itu.
"Ya … Tuan." Kendati aku mencoba bersikap biasa. Tapi tetap saja aku gugup luar biasa.
Bagaimana tidak. Aku melihat berbagai macam wajah dan orang baru ditempat ini. Karakter mereka pasti berbeda-beda. Meski tadi Liam mengatakan jika aku tidak menjual diri disini tapi tetap saja atmosfer ditempat ini sangatlah berbeda. Tentu disini akan minim orang baik.
Membayangkan hal itu, sekujur tubuhku langsung meremang.
"Disini ada beberapa bagian." Tuan Aro memulai penjelasannya saat aku menghampirinya.
"Golongan 1, 2 dan 3. Ada di lantai dasar dan lantai 2. Golongan VIP di lantai 3 dan 4. Untuk super VIP ada di lantai 5," terangnya kemudian.
Aku mengangguk. Mencoba memahami meski sebenarnya penjelasan Tuan Aro tidak masuk ke dalam otakku, mungkin perkataannya hanya lewat sebentar lalu besok aku akan lupa lagi.
Kemudian Tuan Aro mendekat, memangkas jarak diantara kami. Jantungku terasa berdentum keras. Bukan karena gugup tapi karena takut bercampur jijik, aku mendadak kalut, panik jika dia akan melakukan hal yang akan mempermalukan ku disini.
Rupanya tuan Aro menarik daguku, membuat kepalaku mendongak. Lantas, dia seperti memindai wajahku.
"Kau akan ku tempatkan di super VIP." Dia tersenyum miring. "Tapi, sebagai pelajaran pekerja baru, tempati dulu lantai dasar dalam dua hari ini. Jika kau cepat membaur dan pandai membawa diri, kau akan segera naik ke lantai 5."
Aku diam tak menyahut, sebenarnya aku menelan ludah dengan susah payah karena pernyataannya.
"Kau paham, kan, Elin?" Rupanya tuan Aro menuntut jawabanku.
"Ya-ya, Tuan." Aku menundukkan wajah dalam-dalam. Jangan kira aku akan pasrah saja menerima pekerjaan yang diberi Liam ini. Aku akan membuat ulah, agar Tuan Aro tidak sudi mempekerjakanku disini, kalau perlu dia sendiri yang nanti akan memulangkan aku pada Liam karena tidak patut dipekerjakan. Lihat saja nanti.
...Bersambung …...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟηєтα Rєηαтα 📴
jangan cuma d tampar.. klo perlu cakar aja sekalian.. kesel q .. ada ya manusia macam tuch.. jahat kali sama adik sendiri.. mau kerja yg halal g boleh malah d jual ke kasino.. dasar edyan
2023-07-24
0