Alun yang tidak mengerti akan arah ucapan adiknya memilih memutus pembicaraan tidak penting tersebut.
“Jangan banyak bicara! Kalian berdua cukup duduk anteng,” kata Alun yang sudah tidak tahan mendengar ocehan adik manjanya.
“Kagak Asyik lo, Bang!” cemooh Laras dengan kedua tangan yang di lipat di depan dada.
Alun melihat raut wajah adiknya yang cemberut dan yang membuat pemuda itu makin gemes adalah bibir Laras yang mengerucut. Andaikan dia berada di dekat adiknya sudah pasti bibir itu dia ikat dengan karet gelang, lain halnya dengan Muezza—gadis yang memiliki tahilalat di ujung hidung itu memandang penuh binar pantulan wajah Alun di kaca spion tengah.
Tanpa sepatah kata apa pun, Alun sedikit mendorong kaca spion tengah agar menyerong ke kiri. Bahu Muezza berkedik saat Alun mengetahui bahwa dia sejak tadi memperhatikan pemuda tampan yang memiliki aura positif yang sangat kuat.
Untuk menghilangkan kecanggungan Muezza mengalah dengan keegoisannya.
“Emm ... saya turun di lampu merah ke dua Bang,” ucap Muezza sambil *******-***** baju yang dia kenakan.
“Sudah kayak sopir angkot gue hari ini,” cebik Alun lirih.
Mendengar sahabatnya meminta diturunkan, Laras menoleh dengan mata yang memicing.
“Kamu masih waraskan, Mue?”
“Tentu.” Muezza memungut satu per satu barang bawaannya.
“Rumah mu masih jauh, pe’ak!” tukas Laras sambil menyerongkan tubuhnya agar bisa menatap dengan sempurna wajah Muezza.
“Lalu kenapa?” tanya Muezza santai, meski dalam hatinya menginginkan Laras mencegah lebih lagi.
“Yakin?” ujar Laras memastikan lagi.
Muezza mengangguk kecil dengan wajah yang menatap jendela.
“Baiklah kalau gitu.” Laras menyandarkan tubuhnya.
Eh, kenapa nih anak kagak kayak biasanya. Dih, nyebelin si Laras ini, gerutu Muezza dalam hati.
Kenyataan memang menyakitkan. Dia berpikir Laras akan mencegah niatnya, tapi nyataannya Laras malah menyetujui itu tanpa basa-basi lagi.
***
“Assalamualaikum.” Muezza membuka sepatu tingginya lalu membuka pintu.
Kening gadis itu mengernyit, kesunyian siang ini membuat hatinya cemas dan Khawatir.
“Pada ke mana penghuni rumah ini?” tanyanya pada dirinya sendiri.
Ketika dia hendak membuka pintu kamar, suara terompet dan party popper membuatnya terkejut bukan main. Beruntung gadis itu memiliki jantung yang kuat, jika tidak dia akan tiada karena serangan jantung.
Senyum termanis terbingkai di bibir gadis imut itu, pelukan hangat disambut dengan mesra oleh kedua orang tuanya dan adik laki-laki yang terpaut usia 9 tahun dengannya.
“Selamat ya, Kak atas kelulusannya.” Suara ibu terdengar melambai di gendang telinga Muezza.
“Makasih Bunda,” sahut Muezza yang terus mengulas senyum.
“Tetaplah jadi anak yang bijak,” pesan Azmi kepada anak perempuannya.
“Insyaallah, Yah.”
“Maafkan ayah dan bunda, ya Sayang. Seharusnya Bunda ke sana menemanimu saat prosesi wisuda,” ucap Rahma dengan suara bergetar, terlihat mata bening itu berkaca-kaca.
Muezza menyekat air mata ibunya yang hendak berlinang.
“Bunda jangan merasa bersalah gitu dong! Lagi pula Bunda dan Ayah ‘kan memiliki urusan yang sangat penting,” putus Muezza sambil memeluk sang Bunda.
Di tengah keharuan Alif meloncat-loncat dengan jari telunjuk mengacung ke atas, demi mendapat perhatian sang kakak. Muezza mengedipkan sebelah matanya untuk mengerjai adik semata wayang.
“Astagfirullah!” ucap Alif sembari melempar party popper yang dia bopong sedari tadi.
Gelak tawa memenuhi ruang tengah, Muezza sangat senang melihat adiknya marah. Namun, gadis itu begitu sayang kepada Alif, tidak pernah sekalipun dia melupakan adiknya itu.
“Maafin kakak, ya.” Muezza mencubit pipi tembam Alif.
“Emoh!” ketus Alif dengan kaki yang bergerak ke depan ke belakang, karena posisi anak itu duduk di kursi.
“Ya sudah, hadiahnya enggak jadi.”
Mendengar kata ‘hadiah’ Alif memberhentikan gerak kakinya. Lantas anak itu turun dari tempat duduknya dan berbalik dengan senyum lebar.
“Ya sudah, Alif maafkan. Tapi hadiahnya jadikan Kak?” Menadahkan tangan dengan mata berbinar.
Muezza tersenyum dan mengeluarkan sebuah amplop merah jambu dari saku jaket kardigan.
“Yeay, dapet ampau.” Sorak gembira Alif menular ke seluruh anggota keluarga.
Tingkah lucu anak itu selalu sukses membuat ibu, ayah dan kakaknya tertawa.
“Bolehkah Alif minta ampau lagi?” ujar Alif malu-malu.
“Nah, dia minta lagi.” Muezza berkacak pinggang menatap tajam adiknya.
“Hu, pelit!” Anak laki-laki tersebut menjulurkan lidahnya sambil bergoyang mengejek.
“Mulai berani ya, sekarang.” Muezza meletakan buket bunga dan toganya di meja, lantas gadis itu berlari kecil mengejar Alif yang sudah tertawa-tawa.
Azmi dan Rahma hanya bisa tersenyum melihat tingkah kedua anaknya. Hidup kedua orang itu terbilang harmonis, meski perekonomiannya tidak begitu bagus.
“Kamu sudah bertanya?” kata Azmi membuyarkan tawa Rahma.
“Soal apa?” Menatap sekilas wajah datar sang suami.
“Dia mau kuliah di mana?” jawab Azmi melepas dekapan tangannya dari bahu sang istri.
“Belum,” sahut Rahma meraih buket bunga anak gadisnya, “memangnya, Mas sudah ada uang untuk mendaftarkan Mue ke perguruan tinggi?” Rahma duduk di sebelah Azmi.
Terdengar suara napas berat pria paru baya tersebut.
“Jangan dipaksakan Mas! Lebih baik kita bicarakan ini pelan-pelan siapa tahu Mue punya pendapat lain,” ujar Rahma sembari mengelus punggung Azmi.
“Pendapat apa? Aku tidak mau mengabaikan kecerdasan anak kita,” tegas Azmi.
“Orang tua mana yang mau melihat anaknya tidak sukses. Semua orang tua akan berpendapat sama dengan kamu, Mas. Tapi 'kan ... keadaan kita seperti ini,” jelas Rahma yang tidak terima dengan penuturan suaminya.
“Menurut kamu bagaimana baiknya?” tanya Azmi yang terlihat putus asa.
“Lebih baik kita musyawarah dengan Mue, kita dengarkan pendapatnya. Apa yang dia mau?” usul Rahma sambil meletakkan tabung dan plakat wisuda.
“Habis Maghrib nanti, aku akan bertanya pada anak kita.” Azmi beranjak keluar meninggalkan Rahma sendiri dengan kepala yang berputar mengikuti gerak langkah suaminya yang berakhir dengan suara debamam pintu yang ditutup.
Rahma paham akan maksud Azmi, suaminya itu cemas akan masa depan kedua anaknya. Namun, keadaan mereka saat ini membuat hati Rahma sangat gusar. Di pikirannya selalu ada kata 'bisakah mereka memenuhi kebutuhan finansial putra putrinya'.
Waktu terus berputar sang surya kini telah menyembunyikan diri, cakrawala menyuguhkan pemandangan alam yang sangat luar biasa yang diikuti dengan suara adzan berkumandang.
Azmi sudah berdiri tegap di barisan pertama dan kedua wanita di rumah itu berdiri tepat di belakangnya. Kewajiban seorang muslim telah mereka lakukan dan ketika Muezza hendak berdiri ditahan oleh ibunya.
Tatapan serius kedua orang tuanya membuat hati Muezza bergetar, pasalnya bunda dan ayahnya sangat jarang terlihat seserius ini. Meski takut Muezza memberanikan diri untuk bertanya.
“Ada apa Bun? Apa Mue membuat kesalahan?” Menatap wajah ayah dan bundanya secara bergantian.
“Tidak, kamu tidak melakukan kesalahan apa pun. Hanya saja kami ingin berbicara serius,” kata Rahma sambil menggenggam erat jemari anaknya.
Kecemasan membuat telapak tangan Muezza berkeringat dan degup jantungnya tidak berirama membuat dada gadis itu sedikit sesak.
“Ada apa sih, Bun? Mue takut melihat kalian saling menatap seperti ini,” tutur Muezza meminta penjelasan.
“Ayah dan bunda hanya ingin membicarakan tentang pendidikan mu selanjutnya, Nduk. Tidak ada hal lain selain itu,” jelas Rahma kalem.
Layaknya tuan putri sungguhan, Rahma selalu bertutur kata lembut dan selalu bijak dalam bertindak. Bukan Rahma saja yang seperti itu, Azmi—suaminya pun sama persis dengannya hanya beberapa hal saja yang membuat mereka berdua berbeda.
“Kamu mau masuk ke universitas mana? Dan apa yang ingin kamu lakukan sebelum kuliah?” todong Azmi yang sudah meletakan pecinya di atas lemari kecil.
“Mue enggak mau kuliah, Yah. Mue mau kerja saja.” Muezza mengutarakan isi hatinya yang lain.
“Kenapa?” tanya Rahma terkejut.
Wanita itu tidak habis pikir dengan jawaban cepat putrinya.
“Mue bosan sekolah Bun,” sahut Muezza enteng.
“Astagfirullah hal Adzim ...!” seru Azmi seraya memegang dadanya.
Seketika suasana rumah senyap, aura positif yang biasa dirasakan kini lenyap tanpa aba-aba. Kesunyian membawa kemurkaan dan tanpa ampun aura itu telah merambat di seluruh hati gadis berusia 18 tahun tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
👑⁹⁹Fiaᷤnͨeͦ🦂
wkwkwkw🤣
2023-04-16
0
👑⁹⁹Fiaᷤnͨeͦ🦂
Jangan dibujuk lagi ras jangan
2023-04-16
0
👑⁹⁹Fiaᷤnͨeͦ🦂
sensor
2023-04-16
0