Sekarang Embun sudah berumur lima belas tahun. Mata bulatnya masih jadi ciri khas tersendiri di dirinya. Rambut lurus panjang sepinggang itu kini diikat kuncir kuda. Seragam sekolah sudah rapi dikenakannya.
"Om kamu udah bangun?" tanya Marni yang menata sarapan. Embun duduk bersungut seraya terus memandang ke arah pintu kamar mandi.
"Lama banget Om Juna, Nek."
"Ya, Om kamu itu memang begitu. Kamu nggak mau dianterin Kakek aja?" tanya Marni yang kini sudah bertambah tua. Keriput di wajah sudah menjadi make up alami untuknya. Rambut juga mulai banyak ditumbuhi uban di bagian depan juga sisi samping.
Roy datang setelah melipat korannya tadi. Rumah yang mereka tempati tidak berubah dari kali terakhir Ratna dan Ahmad berkunjung. Hanya mengganti pintu yang dimakan rayap. Catnya juga tidak berubah, situasi mereka yang berubah.
Anak mereka tinggal Juna dan satu-satunya. Meski Juna juga cukup membuat mereka bangga dengan gelar dokternya. Foto-foto wisuda kelulusan Juna terpajang rapi di dinding.
Momen wisuda taman kanak-kanak Embun juga ada di sana. Juna yang menemani Embun saat acara pelepasan taman kanak-kanaknya. Gambar mereka berdua tengah akur diabadikan di sana.
Embun memegang toga lengkap dengan pakaiannya, Juna berdiri merangkul bahu Embun dengan menggunakan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku, juga celana jeans warna denim lengkap dengan ikat pinggang.
Banyak ibu-ibu muda di sana menyangka kalau Juna duda anak satu. Ya, Juna selalu menyempatkan diri untuk mengantar dan menjemput Embun.
Bahkan, guru-guru Embun banyak terpikat oleh wajah Juna yang memang cukup tampan. Memiliki rahang tegas dan hidung mancung, membuat beberapa wanita terpesona padanya.
Juna membuang handuk sedang ke wajah Embun. Lalu duduk menikmati sepotong roti. Embun membuang kasar benda persegi berwarna navy itu dengan sedikit dibanting. Embun mengembuskan napas kasar.
"Om Juna ...!" ucapnya geram dan mengepalkan kedua tangan.
"Apa?" Wajah Juna merasa tidak bersalah, dan terus menikmati roti panggang yang dibuat Marni.
Tatapan Embun mengerikan dan siap bertarung dengan Juna. Tapi pria dengan otot di lengan ini justru acuh dan segera berjalan ke motornya.
"Ayo," ajaknya yang sudah berada di atas motor membuat Embun memutar bola mata malas dan berjalan tanpa semangat. Tidak lupa dia mencium tangan Marni takzim sebelum menghampiri Juna.
"Embun berangkat, Nek."
"Ya, hati-hati, Sayang," ucap Marni yang mengusap bahunya diiringi lengkungan senyum. Juna juga sudah mesam-mesem melihat tingkah Embun di pagi hari.
Juna menyodorkan helm bogo pada Embun. Mereka bukan naik motor matic yang dikendarai Ahmad dan Ratna dulu, sekarang kuda besi milik Juna CBR warna hitam. Embun menanjak naik, memegang pundak paman kesayangannya.
"Udah?" tanya Juna yang kini bersiap jalan.
"Udah!" jawab Embun dengan mengerucutkan bibirnya.
"Senyum dulu dong, baru Om anterin," balasnya yang memang tahu kebiasaan Embun. Embun hanya menarik garis, bukan senyuman yang terlukis, itu justru seperti tengah menahan buang air.
Juna tertawa renyah lalu melajukan motornya kencang, sontak Embun memeluk tubuh atletis Juna.
"Om, jangan ngebut-ngebut. Embun takut." Juna memang tidak mengebut, hanya saat tarikan gas pertama saja untuk menggoda keponakan cantiknya itu.
Ya, Embun kini sudah tumbuh menjadi gadis cantik berkulit kuning langsat, mata bulat dengan bulunya yang lentik. Tak jarang beberapa bocah laki-laki di sekolahnya menyatakan cinta dan ada yang mengirim surat.
Surat itu sempat ketahuan oleh Juna. Waktu itu Embun duduk di kelas dua menengah pertama. Bocah laki-laki berkulit sawo matang datang mendekatinya. Memanggil Embun dan menyerahkan surat yang sudah dibungkus rapi dengan amplop warna merah muda.
"Embun, aku minta kamu baca, ya."
"Aduh, Ky. Kayaknya aku nggak sempet, deh. Lagi banyak tugas," tolak Embun halus.
"Ya, pas sempat aja, Mbun."
"Aduh, gimana, ya," ucap Embun lagi seraya menggaruk pelipisnya.
Juna yang sejak tadi memperhatikan dari jarak jauh, akhirnya mendekat dan mengambil kertas yang berada di genggaman Dicky.
Slurp!
"Masih bocah maen surat-suratan. Belajar aja yang bener!" omel Juna yang langsung membuka surat tersebut. Dicky berusaha mengambil kembali yang ada di tangan Juna. Namun, ia kalah tinggi.
Benar, tinggi Juna itu 190 centimeter. Bayangin kayak galah, belum lagi tangan yang diangkat ke atas. Mana sampe bocah ingusan itu mengambilnya. Tidak menjinjit saja ia tidak bisa mengimbangi, apalagi kalau dia menjinjit.
To : Embun
Embun, saat kamu baca surat ini, aku mohon jangan jauhi aku, ya.
Embun, bola matamu membuatku membeku. Bulu mata yang lentik itu, benar-benar menggelitik hatiku.
Kamu, cantik bagai angsa putih yang sedang menari dengan indahnya di langit.
Terimalah cintaku, Embun. Aku sudah lama suka kamu.
Juna sontak saja menatap Dicky bagai elang yang mendapati mangsanya. Tajam. Seperti ular kobra yang siap menggigit dan meninggalkan bisanya yang beracun.
Juna mengembalikan surat dari Dicky dengan menempelkannya di depan dada Dicky, membuat Dicky mundur satu langkah karenanya.
"Masih bau kencur aja udah main surat-suratan. Setelah dewasa, kalau sudah bisa menentukan arah hidup, datanglah pada Embun," ucap Juna yang kini memiting pelan leher Dicky.
Bocah itu hanya meringis dan mengusap-usap lehernya setelah Juna melepaskan cengkeramannya. Sejak saat itu, tidak ada yang berani mendekati Embun. Namun, ada satu orang yang memang Embun suka sejak dulu.
Galang, wajahnya cukup tampan memang. Belum lagi dia pemain basket yang cukup handal, meski bukan bintangnya. Namun, karismanya mampu menerobos hati Embun yang diam-diam memperhatikannya.
Bola mata Galang yang cokelat terang menambah manis wajahnya. Dia tidak terlalu menonjol memang, tapi cukup dikenal para cewek-cewek karena kepiawaiannya bermain di lapangan.
Galang selalu bersama kedua temannya Azriel dan Bayu. Mereka bertiga selalu berbarengan, hanya ke toilet yang pisah. Pun terkadang salah satu dari mereka menunggu di depan pintunya.
Kini Embun juga Galang kembali satu sekolah. Ya, di daerah begini memang hanya sekolah mereka yang terdekat. Berkilo-kilometer lagi untuk tiba di sekolah negeri yang satunya.
Motor Juna sudah tiba di lingkungan sekolah Embun. Ia yang hanya mengenakan kaos oversize juga celana sebatas lutut menambah kesan keren pada dirinya. Embun turun ketika kuda besi itu berhenti di depan gerbang.
Juna menyerahkan tangannya, Embun sambut dengan mencium punggung tangannya takzim.
"Belajar yang bener, ya. Awas aja kalau pacar-pacaran!" ancam Juna yang kini mengacak-acak pucuk kepala Embun.
"Om ...!" gerutu Embun kesal. Juna berbalik arah setelah mengantar keponakan kesayangannya.
Saat jalan pulang, Naura mengangguk pelan seraya tersenyum pada Juna. Juna mengenal bocah centil itu, dia sering main ke rumah mereka untuk mengerjakan tugas bersama. Ia pun membalas sapaan hangat Naura.
Naura mempercepat langkahnya saat melihat Embun akan masuk. "Embun ...!" teriaknya yang langsung berlari kecil untuk segera tiba ke hadapan Embun.
"Ngapain pake lari-lari segala," protes Embun menatap Naura bingung, seraya sebelah tangan memegang tas ranselnya berwarna biru.
"Om Juna makin hot aja, sih," ucap Naura yang menyenggol tubuh Embun. Ia tersipu malu, wajahnya memerah.
"Apaan sih, nggak jelas. Om aku pake mau kamu gebet juga. Umurnya aja dua kali lipat dari kita."
Naura merangkul sahabatnya itu seraya melangkah masuk. "Ya, siapa tahu aku bisa jadi Tante kamu."
"Idih ...! Ogah aku punya Tante modelan kayak kamu!" cibir Embun yang membuang pelan tangan Naura.
Galang berjalan di belakang mereka dengan seragam yang sengaja tidak dikancing. Kaos dalam warna hitam terlihat jelas. Sebelah tangannya berada di saku celananya.
"Sssstt ... Galang di belakang kamu," ucap Naura yang mengejar Embun.
"Ya, biarin aja, Ra."
"Ya elah, nih anak. Kamu tuh kan suka sama dia, ya kamu tunjukkin dong."
"Ogah aku ngikutin saran kamu!"
Galang terus menatap tajam ke arah Embun yang sepertinya tidak terusik dengan kehadirannya. Sebenarnya Galang juga punya rasa untuk Embun. Cuma dia selalu pintar untuk menutupi perasaannya. Bahkan Azriel dan Bayu saja tidak tahu tentang hatinya.
'Embun memang cantik,' batinnya yang terus fokus dengan gerak-gerik Embun. Naura sesekali menatap ke Galang dan tersenyum dipaksakan.
"Woy!" teriak Bayu tepat di telinga Galang. Sontak ia mendengus kesal sambil mengusap-usap daun telinganya. Bayu dan Azriel merangkul tubuh Galang di sisi kiri dan kanan.
"Liat apaan?"
"Nggak ada."
"Yakin?" goda Bayu yang membuat Galang memutar bola mata jengah.
"Lihat cewek, puas kamu!"
"Cie cie, udah punya cewe aja! Siapa? Cerita ke kita," goda kedua bocah yang jalan bersama dengannya.
Masuk ke kelas, duduk di posisi pojok. Embun urutan ke empat di baris ke dua. Tidak jauh dari Galang.
"Kamu ngibul kan soal cewe," bisik Azriel yang duduk di samping Galang dengan mengangkat sebelah kakinya.
"Terserah kamu mau percaya atau nggak!"
Mata Galang tetap tidak lepas dari Embun yang sibuk belajar sebelum kelas dimulai.
"Lang, kita ini sahabatan sama kamu bukan setahun dua tahun, udah dari orok, Lang," timpal Bayu yang memang rumahnya bersebelahan dengan Galang.
"Ya terus?" Atensi Galang teralih pada kedua sahabatnya itu.
"Kamu nggak mungkin punya cewek. Haha!"
"Nggak semua apa yang ada di hidupku, kamu tau."
"Hem, ya deh ya. Percaya."
Guru masuk ke kelas, pelajaran pun di mulai. Embun menopang dagu, lalu memperhatikan ke depan. Sedangkan Galang masih saja memandang Embun, meski terkadang beralih.
Sementara Embun sibuk belajar, Juna sudah tiba di rumah. Ia kembali ke kamar, melanjutkan tidurnya. Lumayan, masih ada sisa satu setengah jam lagi baginya untuk berangkat.
Juna merebahkan diri di kasur. Ia mulai dengan menyatukan kedua matanya. Namun, gawainya sibuk berdering.
Juna berdecap kesal, panggilan itu dari gadis yang terus mencoba menarik perhatian Juna sejak masih kuliah. Juna benar-benar menutup pintu hatinya. Ia berjanji pada diri sendiri, tidak akan menikah sebelum Embun selesai sekolah.
Kembali, benda pipih itu terdengar nyaring di dalam saku celananya. Juna merogoh ke sisi sebela kirinya. Nia, nama itu tertera di layar ponselnya.
"Aish! Ngapain coba Nia nelpon terus. Ah, malas banget ngangkatnya," gerutunya kesal dan membanting ponsel asal. Tapi, lagi-lagi, Nia memanggil. Juna akhirnya menyapu layar sentuh itu.
"Jun, ke rumah sakit sekarang! Ada pasien yang harus kamu bedah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments