Gangguan untuk Ahmad

Perlahan tapi pasti, Ahmad menumbangkan diri bersama Ratna di pembaringan. Pergulatan sengit mereka pun dimulai.

"Stamina kamu masih oke, ya, Mas," puji Ratna seraya menggigit bibir bawah bagian dalam diiringi wajah yang sudah horney.

"Harus dong, walau sudah punya Embun Mas juga nggak mau kalah saat begini," jawab Ahmad yang sudah selesai menuntaskan nalurinya.

Mereka tersenyum mengulang kembali memori enam tahun lalu saat malam pertama. Membiarkan Ahmad dan Ratna mengenang masa silam, Juna justru tengah sibuk menarikan pena di atas kertas.

"Aishh! Kenapa masih semester dua begini sudah susah sih ujiannya," gerutunya kesal lalu mengacak rambut kasar.

Ah, salahnya sendiri yang memilih jurusan kedokteran. Roy padahal sudah memperingatkan kalau fakultas yang dia pilih akan memeras otak juga tenaga, tapi Juna tetap ngeyel.

Roy yang pensiunan perkebunan memiliki cukup uang untuk biaya kuliah Juna hingga selesai. Jabatannya dulu saat duduk di perkebunan milik pemerintah adalah kepala bagian.

Tidak heran, kalau sudah tya begini ia sudah saat berleha setelah perjuangan keras waktu muda dulu. Roy masuk ke kamar Juna tanpa mengetuk. Juna sontak mengarahkan pandangannya ke pintu.

"Kamu nggak makan?"

"Bentar lagi, Pak."

"Oh, yowes. Itu muka asem banget, sama kayak buah-buahan yang dibeli Ibumu tadi."

"Lagi pusing, Pak. Udah ah, nanti aja aku makannya."

Rasa pusing tak kunjung hilang dari kepala Juna. Ia merasa otaknya hampir meledak. Ia membanting pulpen dan pergi dari kamar. Meski kertas sudah berantakan, tidak membuatnya risih.

Juna berjalan ke arah dapur yang disekat gorden rumbai sebagai pembatas. Wajahnya begitu ditekuk, tidak ada semangat atau selera dalam dirinya.

"Kamu kenapa? Muka kok ya sama, sama ini," tunjuk Marni ke arah kedondong yang dibelinya tadi. Sekarang wanita umur lima puluhan ini sudah selesai dengan mencuci buahnya.

"Lagi pusing, Bu."

"Hem, ya udah. Makan dulu aja."

"Sebenarnya nggak selera sih, Bu. Tapi cacing di perut nggak bisa diam."

"Kamu tuh mau jadi dokter, ya kesehatan harus dijaga," ucap Roy yang sudah duduk bergabung dengan mereka.

**

Mentari sudah menyingsing menampakkan sinarnya. Embun, Ratna juga Ahmad tengah bersiap-siap untuk ke Bogor.

Embun memakai dress sebatas lutut motif kotak-kotak, lengkap dengan rambut diikat dua, juga bando sudah bertengger di kepalanya. Tidak lupa, bonek beruang kecil dalam gendongannya.

Ahmad, memakai pakaian formal. Ya, dia hanya akan mengantar istri dan anaknya saja. Setelah urusannya selesai, ia akan menginap di sana. Ratna tengah berbunga-bunga mengingat kisah tadi malam.

Memang, mereka termasuk jarang melakukannya. Jadi, memadu kasih tadi malam seperti asupan gizi untuknya ditengah stresnya mengurus rumah.

Koper kecil sudah masuk di bagasi mobil sedan tua ini. Ratna mengenakan tunik full kancing berwarna cream. Dia membuka pintu mobil untuk Embun.

Ahmad, melakukan hal yang sama untuk Ratna. "Makasih, Mas."

"Sama-sama, Sayang," bisik Ahmad. Malu kalau didengar Embun, takutnya bocah kecil itu menuntut atau cemburu.

Mereka melakukan perjalanan santai dengan terus bercanda tawa. Benar-benar keluarga kecil bahagia. Kurang lebih satu jam, mereka pun tiba di rumah Marni.

Mobil berhenti di halaman hijau yang terbentang luas. Marni dan Roy merentangkan tangan ingin memeluk Embun.

"Nenek, Kakek," serunya berlari begitu keluar dari mobil. Ratna dan Ahmad baru saja menapaki rumput segar di sana.

Embun berhambut ke pelukan Marni. Roy, bersungut. Juna yang baru saja bergabung setelah berolahraga, langsung memeluk Roy. Roy, berdecih berusaha melepaskan diri dari Juna.

"Cih! Ngapain kamu peluk Bapak?"

"Masa' dipeluk anak sendiri nggak mau, Pak."

"Bapak maunya tuh peluk Embun, bukan kamu."

Marni, Ratna, Ahmad, juga Embun tertawa terbahak-bahak melihat kedua pria ini saling berpelukan. Meski Roy terus memberontak.

"Pak, Bu, saya nggak bisa lama-lama. Cuma anterin mereka aja, ada pekerjaan harus dihandle."

"Ya, nggak apa-apa." Ahmad mencium tangan mertuanya takzim. Lalu pamitan pada Embun juga semua orang.

Embun dan Ratna melambaikan tangan pada Ahmad yang sudah duduk dibalik kemudi.

Mereka semua masuk bersama dan terus saja bercanda dengan Embun juga Ratna. Ratna jelas menagih asinan khas kota hujan ini.

"Pesanan Ratna udah ada 'kan, Bu?"

"Udah dong, Sayang. Entar siang ya, baru dimakan."

Embun kini tengah berada dalam pangkuan Juna. Jelas pipinya tidak dilepas pria bermata elang ini dengan cepat. Terus saja dia menjaili keponakannya itu.

"Om, ampun," mohon Embun yang sudah terkulai lemas seraya menghindar geli.

"Nggak Om kasih ampun!" seru Juna yang semakin menggelitik perut Embun. Hingga gadis itu memanggil Ratna minta tolong.

"Kamu tuh, udah ah. Gangguin Embun terus," ucap Marni yang memukul bahu Juna.

"Ibu!" pekiknya tidak terima. "Kak," panggilnya berharap Ratna membantu. Ratna hanya senyum, Embun sudah menangis menggosok-gosok matanya dengan lengannya.

Ratna sontak memeluk gadis kecilnya. Rambutnya sudah berantakan akibat ulah Juna tadi.

"Sudah ya, Sayang. Om Juna 'kan memang begitu. Nanti, kalau Mama nggak ada, kamu nggak boleh cengeng, ya."

"Apaan sih, Kak. Ngomongnya gitu mulu!" Juna sudah berjalan ke dapur mengambil minum, Embun yang sudah tenang, duduk di depan Ratna untuk dirapikan rambutnya.

"Bapak mana, Bu?"

"Palingan juga di belakang."

"Mau apa?"

"Mau minta Bapak ceramahi Kakak. Ngomongnya suka serem."

Ratna hanya terkekeh sebentar. Sedangkan Embun masih setia.menggendong bonekanya, matanya sudah sembab akibat menangis. Juna mencubit pipi Embun gemas.

"Udah, kamu jangan ganggu dia dulu. Kakak mau tidurkan dia."

Juna pun menuruti kata-kata Ratna. Ia beralih ke halaman belakang. Roy terlihat menatap sang surya yang sudah mulai tinggi. Kebiasaannya berjemur, di sana. Kedua tangan di belakang pinggang.

"Pak, lagi ngapain?"

"Lagi jalan-jalan ke mall. Kamu mau dibeliin apa?" jawab Roy yang menoleh ke arah Juna yang melangkah mendekat seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Bapak, bercandanya kebangetan, sih. Lagi berjemur bilangnya jalan-jalan ke Mall."

"Ya, kamu udah tahu malam tanya."

Juna nyengir dan terus menemani Roy. Sedangkan Ahmad yang sudah duduk di kursi kantornya tampak sibuk menatap monitor komputernya.

Mengenakan pakaian santai dan celana kain membuatnya menampakkan dada bidangnya.

Ahmad tidak sendiri, ia ditemani beberapa karyawan yang ikut membantu.

Silvi, salah satu teller bank yang sejak dulu mengincar Ahmad. Sering kali ia menggoda Ahmad dengan sikap manja, berbicara dengan lembut dan terkadang membusungkan dadanya saat tengah meeting. Berharap Ahmad akan meliriknya. Namun, pria berwajah tampan ini tidak pernah menghiraukan Silvi.

Bagi Ahmad, bertanggung jawab dan setia itu prinsip hidupnya. Seperti saat sekarang, di tengah kesibuak Ahmad dengan pena juga laya monitor, Silvi datang membawa secangkir teh untuk manager kesayangannya itu.

"Pak, ini saya buatkan teh untuk Bapak," ucapnya yang jemarinya sudah menyapu meja kerja Ahmad.

Ahmada tetap fokus dan tidak melirik barang sedetik ke arah Silvi. Silvi yang tidak kehabisan akal justru duduk di meja dengan sebelah kakinya bertumpu pada lantai. Ia sengaja menampakkan paha putih mulusnya. Rok yang memiliki belah samping itu, tersibak jatuh ke arah Ahmad.

"Pak," goda Silvi yang kini sudah menarik rambut gelombangnya ke samping untuk menampakkan leher jenjangnya.

Tangan Silvi bergerilya ke arah jemari Ahmad yang sibuk dengan mouse. Ahmad mengeraskan rahang, menutup mata sejenak. Silvi kini sudah mendekatkan wajahnya.

Ahmad mendorong tubuh Silvi kuat hingga gadis berlipstik merah terang itu tersungkur di lantai, tangan bertumpu di sana. Menatap Ahmad penuh benci dan rasa kecewa.

"Cukup, Silvi! Kamu sudah kelewatan! Saya tidak akan pernah tergoda olehmu. Barang murah tidak akan pernah saya ambil dan nikmati. Mengerti?!" Ahmad marah besar, ia sontak meninggalkan pekerjaannya yang masih menggantung. Ahmad sudah tidak peduli lagi akan dipecat atau dimutasi.

Silvi merasa geram dan harga dirinya diinjak-injak oleh Ahmad. Ia menatap punggung Ahmad dengan penuh kebencian. Rasanya ia ingin membunuh Ahmad juga istrinya, sehingga tidak seorang pun yang bisa memiliki pria idamannya.

Silvi menelepon seseorang, ia menyuruhnya untuk memberi pelajaran pada Ahmad. Setelah mendapat perintah itu, kedua pria berbadan tegap dan seram langsung membuntuti Ahmad.

Ahmad tidak menaruh curiga, sebab pikirannya masih kacau mengingat tingkah Silvi tadi yang begitu berani mengganggunya. Padahal ada karyawan lain di sana, meski hanya satu orang dan itu pun tengah pergi ke toilet.

Cukup lelah pikiran Ahmad mengingat sikap Silvi tadi. Kini, mobilnya telah tiba di rumah mertuanya. Embun langsung semringah begitu melihat roda empat itu terparkir di halaman.

Belum juga Ahmad turun dari mobil, Embun sudah berlari ke depan. Memanggil Ahmad girang.

"Papa ...!" teriaknya yang kini sudah berada dalam gendongan Ahmad.

"Kamu kok lari-lari sih, Sayang."

"Embun 'kan pengen jadi orang pertama yang nyambut Papa."

"Oke, deh. Princess Papa ini berhasil," ucap Ahmad yang sudah menurunkan Embun dan langsung mencium punggung tangan Marni takzim. Ratna juga melakukan hal yang sama pada Ahmad.

"Mas, Ibu bikin asinan Bogor. Yuk, aku siapin untuk kamu."

"Sebentar, ya Na. Mas mau mandi dulu, gerah soalnya."

"Oh, ya udah. Aku siapin baju kamu dulu ya, Mas." Ahmad mengangguk lalu duduk di sofa ruang tamu bersama Embun juga Marni. Roy entah pergi ke mana tadi. Tidak pamit pada semua orang.

Mungkin Roy tengah mengecek kebun miliknya yang tidak jauh dari rumah mereka. Juna ikut gabung bersama dengan Marni.

"Gimana kabar kamu, Mas?" tanya Juna yang sudah duduk di samping Marni.

"Alhamdulillah. Kamu gimana?"

"Baik. Cuma lagi pusing ini sama tugas kuliah."

"Ya, namanya kamu calon dokter. Harus begitu, dong."

"Hem."

"Kamu mau Ibu buatkan teh?"

"Nggak usah, Bu. Biar Ratna aja. Saya juga mau mandi dulu." Embun masih saja setia di pangkuan Ahmad, bocah itu seperti tidak ingin lepas dari sang ayah.

"Embul, main sama Om yuk!"

"Enggak, ah. Mau sama Papa aja!"

"Kamu tuh kalau ada Papamu sombong amat," ucap Juna sedikit kesal karena ditolak Embun.

"Kok kamu sih, Jun. Kakak aja nggak berlaku sama Embun."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!