Ratna sudah selesai mengepang rambut Embun. Ponsel itu kini beralih ke tangannya.
"Bu, besok masakin asinan, ya. Ratna pengen makan asinan buatan Ibu."
"Ya. Nanti Ibu belanja, ya."
"Kak, kamu kok nyusahin Ibu? Ujung-ujungnya aku yang disuruh belanja," gerutu Juna sembari menarik-narik daun telinganya pelan.
"Ya, nggak apa-apa dong, Arjuna. Mbak lagi pengen. Siapa tahu, itu permintaan terakhir Mbak."
"Hush! Kamu ngomong apa sih, Ratna." Marni yang mendengar perkataan Ratna begitu tidak suka. Firasat seorang ibu itu pasti benar, dan kini perasaan Marni memang sedang tidak bisa berhenti khawatir terhadap Ratna.
"Tau, nih! Ngomong seenak jidat." Juna juga sama marahnya dengan perkataan Ratna barusan. Ratna hanya menanggapi dengan senyuman.
"Arjuna, Ibu, kalau Ratna udah nggak ada, kalian jaga Embun, ya."
"Ogah...!" jawab Juna cepat dan memutar bola matas malas. Lagi, Ratna tidak marah, justru tersenyum. Hanya mulut Juna saja yang berkata begitu, hatinya sangatlah sayang pada Embun. Jelas, ia akan menjaga Embun tanpa diminta Ratna sekalipun.
"Emang kamu mau ke mana?" tanya Marni lagi, meski dalam hatinya ia sudah menangis mendengar penuturan putrinya. "Mending kamu buat anak lagi. Biar Embun ada temennya."
"Bener tuh, Kak. Biar rame ini rumah kalau pas lagi kumpul," timpal Juna dengan semangat empat lima.
"Insya Allah, Bu. Kalau Allah kasih, pasti Ratna hamil lagi." Hati Marni dan Juna sama-sama tidak enak. Pikiran mereka melanglang buana entah ke mana-mana. Mereka takut, jika ucapan Ratna menjadi wasiat untuk mereka.
"Udah dulu, ya, Bu. Ratna mau beberes dulu."
Ratna sebenarnya sudah mengidap penyakit leukimia saat melahirkan Embun. Namun, sebisa mungkin dia menutupinya dari semua orang. Bahkan, obatnya pun ia simpan di sela-sela lemari mainan Embun dan menyelipkannya cukup dalam.
Hanya dia yang tahu persis letaknya. Ratna mengakhiri panggilan itu. Embun menatap lekat ibunya. Rambut yang sudah rapi, membuat sang bunda tersenyum bahagia.
"Ma, asinan bogor emang enak, ya?"
"Emmm, enak pake banget, Sayang. Apalagi, kalau nenek yang buat."
"Hehe, jadi nggak sabar pengen nyobain, Ma."
"Besok ya, Sayang. Kamu main di ruang tamu dulu, gih. Mama mau beberes, nih."
Embun mengangguk lalu mengambil boneka beruang kecil yang kini sudah dipeluknya. Ratna mulai aksinya dengan menyapu dan pekerjaan lainnya. Sedangkan Arjuna tengah diuber Marni untuk mengantarkannya ke pasar.
"Ayo, antar Ibu," ajak Marni yang sudah rapi. Dompet berukuran sedang sudah diapit di bawah ketiak.
"Sama Bapak aja, Bu."
"Percuma ada kamu, kalau Bapak juga turun tangan untuk nganterin Ibu."
"Tapi Juna belum apa-apa, Bu. Cuci muka aja belum!" kilahnya yang sekarang tengan mengorek mata membuang kotoran yang tertinggal di sana.
"Ya udah, Ibu tungguin."
Meski bersungut, Juna berjalan menuju kamar mandi. Marni duduk di kursi teras sebelah Roy.
"Gimana, Bu? Mau Juna?"
"Ibu paksa, Pak. Tapi, Pak kok Ibu ngerasa ada yang aneh sama Ratna, ya. Ibu khawatir sama apa yang dia bilang barusan."
"Kita doakan saja yang baik-baik, ya. Semoga firasat Ibu nggak bener."
"Ya, Pak. Semoga aja."
Juna berdiri di ambang pintu menggunakan hoodie berwarna abu-abu, lalu berjalan ke samping untuk mengambil motor. Ia mulai menstater sepeda motor maticnya.
Ibu berjalan mendekat untuk naik, saat Juna sudah duduk di sana dan bersiap akan berkendara. Helm tidak lupa ia kenakan.
"Ibu berangkat dulu ya, Pak."
"Ya, hati-hati, Bu. Kamu juga jangan ngebut bawa motornya, ya."
"Ya Allah, Pak. Nggak percaya amat sama anak sendiri."
Roy terkekeh, lalu kendaraan roda dua itu pun melaju meninggalkan Roy sendiri. Di tengah perjalanan Juna dan Marni terus saja bercerita.
Juna selalu menggoda Marni dengan banyolan-banyolan konyol sehingga wanita paruh baya itu terkadang memukul bahu anaknya pelan. Juna hanya tertawa, betapa indahnya kebersamaan mereka.
Seorang gadis melintas, Juna yang usil menggodanya. Maklum, darah muda. Jadi selalu iseng saat melihat yang bening.
"Kamu tuh, kalau nggak mau serius sama perempuan jangan kasih harapan. Apalagi sampe godain anak orang."
"Cuma iseng doang, Bu. Lagian, Juna juga nggak ngapa-ngapain mereka. Dekat sama mereka juga nggak, sekadar mulut yang bersiul."
"Ya, tapi secara nggak langsung kamu tuh nunjukin betapa murahannya kamu untuk ditaklukin sama mereka."
"Em, Juna paling sulit jatuh cinta kok, Bu. Buktinya, sampe sekarang Ibu nggak pernah kedatangan menantu perempuan, kan?"
"Ya. Tapi ingat, jangan pernah mainin perasaannya mereka."
"Ya, Bu."
Benar memang, Juna selalu saja menghindar jika ada gadis yang datang mendekatinya. Belum mau pacaran katanya, atau memang prinsipnya yang teguh. Tidak akan mendekati seorang gadis jika tidak benar-benar memiliki tantangan untuk didapatkan.
Juna memang sangat suka dengan tantangan. Merangsang otaknya untuk lebih kreatif memenangkan sesuatu, begitu sifatnya. Kini, mereka sudah tiba di pasar. Juna lebih memilih untuk menunggu di atas motornya, sedangkan Marni sibuk masuk menyisir pasar untuk membeli yang ia butuhkan.
Meninggalkan Marni yang tengah belanja, Ratna justru sibuk memasak untuk makan malam mereka. Gadis kecil mata bulat itu masih asyik bermain, sesekali Ratna melihatnya dan mengajak ngobrol sebentar sambil memotong sayuran.
"Assalamualaikum..."
"Papa?" Embun langsung berhambur ke pelukan Ahmad.
"Papa dari mana?"
"Papa ada kerjaan sedikit tadi, Sayang."
"Papa nggak pamit sama Embun. Papa 'kan tahu kalau Embun nggak suka orang yang pergi tanpa pamit," protesnya yang membuat Ratna menarik bibir ke dalam dan mengembuskan napas pelan.
Ahmad terkekeh pelan melihat anak semata wayangnya yang sudah berada digendongannya.
"Maaf, Sayang. Papa buru-buru. Papa janji, lain kali akan pamitan sebelum pergi. Oke?"
"Oke."
"Sekarang, Papa mau ke kamar mandi dulu. Kamu lanjut, main lagi, ya."
Benar, karena buru-buru Ahmad sampai lupa berpamitan sama keluarga kecilnya. Ahmad melintasi Ratna, tangannya yang jail mencolek bokong Ratna. Perempuan usia awal tiga puluhan ini menoleh ke arah Embun, takut jika ia melihat aksi Ahmad.
"Kamu, Mas. Kalau Embun lihat gimana? Genit amat, sih."
"Hehe. Udah lama juga 'kan kita nggak begitu," ucap Ahmad nyengir kuda menampakkan barisan gigi rapinya. Ratna hanya mengulum senyum, benar yang dikatakan Ahmad. Mereka sudah lama tidak melakukannya.
"Nanti malam, ya," bisik Ahmad lagi seraya merangkul bahu Ratna. Ratna pun mengangguk pelan diringi lengkungan senyum yang terbit di wajahnya.
Sama seperti Ratna, Ahmad pun tersenyum mengingat aksinya barusan. Lalu tanpa ada drama, Ratna dengan suka rela mengiyakan ajakan Ahmad. Ahmad tengah bermain bersama Embun.
Dia mengajak bocah manis ini bermain sepeda di sekitar halaman depan. Tawa riang terus menghiasi keluarga Ahmad. Mereka hidup dengan bahagia. Hanya pekerjaan Ahmad kadang menjadi kendala mereka untuk melakukan family time.
Petang ini, senja berpendar di langit jingga. Ahmad dan Embun sudah lelah tertawa, mereka berdua merebahkan diri di karpet ruang TV. Ratna muncul di atas mereka.
"Gimana? Udah mainnya?" tanyanya yang membuat ayah dan anak ini kompak saling tatap. Lalu tersenyum mengangguk.
"Sekarang, waktunya mandi ya, Sayang."
"Biar aku aja yang mandiin Embun."
"Hore, mandi sama Papa."
Embun langsung bangkit dan tanganku segera membuka baju Embun. Aku mengosokkan hidungku pada hidung runcingnya.
"Segitu senengnya bisa dimandiin sama Papa."
"Ya, dong, Ma. Papa jarang-jarang mandiin Embun. Kemarin-kemarin, Papa selalu pulang malam."
"Ya, Papa 'kan sibuk. Papa kerja juga buat kita. Ya, kan Pa?"
Ahmad mengusap pucuk kepala Embun. "Benar, Sayang. Maafin Papa, ya. Sekarang kalau Papa ada waktu, Papa pasti mandiin Embun. Oke?"
MAlam pun tiba, kami makan bersama. Selalu dengan suasana hangat begini. Tawa bahagia menghiasi meja bundar yang terdapat empat kursi berhadapan.
Selesai makan, Ratna memilih menonton TV. Sedangkan Ahmad, menemani putri kesayangannya belajar. Ahmad dan Ratna memang belum memasukkan Embun bersekolah, takut gadis itu bosan.
Setidaknya butuh lima belas tahun sampai ia tamat pendidikan perguruan tinggi. Embun memang selalu manja pada Ahmad. Tadi ia meminta Ahmad membacakan buku dogengn untuknya, biasanya itu tugas Ratna.
Tapi hari ini, kehadiran Ratna seolah tidak berlaku padanya. Embun seperti ingin menikmati waktu yang hilang dari ayahnya. Padahal, hanya satu hari ini saja Ahmad pergi tanpa pamit.
Sudah cukup lama memang Ahmad berada di kamar Embun yang mereka hias dengan berbagai furniture kuda poni, juga beruang.
Ratna membuka daun pintu pelan lalu melongok dari sana dengan suara yang berbisik-bisik, Ahmad berbaring di samping Embun seraya menepu-nepuk pelan punggung gadis itu. Sebelah tangannya memegang buku dongeng cinderella.
"Embun sudah dari tadi tidurnya, Mas?"
"Belum. Tunggu sebentar lagi, sampai dia benar-benar nyenyak, nanti Mas menyusul ke kamar, ya."
"Oke."
Ratna kembali menutup pintu pelan sekali. Embun sudah terlelap dengan nyenyak bahkan gadis itu sudah bermimpi bertemu dengan kuda poni kesayangannya kala menonton kartun barbie.
Ratna masuk ke kamarnya membersihkan wajah. Juga, sudah berganti pakaian dengan dinas malam. Sesuai yang mereka sepakatin tadi sore, sekarang waktunya untuk memberi Embun adik.
Ratna memakai make up tipis di wajah ayunya, merias diri saat akan melakukan ritual suami istri seolah penting baginya. Bahkan, ia menyempatkan mandi tadi. Baginya, kenyamanan suami di atas ranjang harus tetap dijaga dan menjadi prioritas dalam rumah tangganya meski mereka jarang melakukannya.
Itu juga sebabnya, Ratna ingin melakukan full service pada suaminya. Masih duduk di depan kaca, Ahmad berdiri di belakang Ratna. Kedua bahunya disapu lembut Ahmad.
Ahmad mencium pipinya sekilas. "Kamu wangi, Sayang," ucapnya yang melihat Ratna dari kaca bening besar di hadapannya, sontak Ratna berbalik dan menatap Ahmad lekat.
"Mas."
"Hem."
Ahmad meminta tangan Ratna, ia menggenggamnya lalu perlahan membawa Ratna bangkit dari duduknya. Pinggang ramping Ratna sudah ditarik oleh Ahmad untuk lebih dekat.
Jemari Ahmad mengangkat dagu Ratna, tatapan mereka semakin lekat dan dalam. Ahmad mengecup ranum bibir Ratna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments