Ahmad hanya tersenyum mendengar ocehan mereka. Matanya berbinar menatap Embun, senyumnya terukir dengan jelas sambil mencium pucuk kepala Embun. Embun berbalik mencium pipi Ahmad, lalu bergelayut manja.
"Tuh kamu lihat, kan?"
Ahmad menarik napas dalam, Marni pamit ke dapur. Ia akan menyiapkan makan malam untuk anak dan menantunya.
"Mas siap mandi temeni aku ke swalayan pinggir jalan besar, ya."
"Oke, tapi aku mandi dulu, ya." Ahmad pamit pada Embun, bocah itu pun sontak berpindah ke pangkuan Juna. Bukan tidak sadar, ia memang sengaja duduk di sana.
"Eh, nih anak. Gua dijadiin kaperlek, Kak."
Embun dengan santainya bermain boneka yang ia letakkan di meja tadi. Juna langsung saja mengganggu ketenangan Embun. Ya, pipi gembulnya menjadi santapan Juna sore ini. Embun terkikik oleh Juna, sesekali ia mengangkat bahunya geli.
Ratna hanya terkekeh melihat ulah mereka berdua. "Jaga Embun, ya."
"Pasti aku jagain dong, Kak."
"Syukur deh."
Ratna meninggalkan mereka berdua di ruang tamu, beralih membantu Marni di dapur. Sedangkan Ahmad, ia berpikir cukup pelik di bawah tetesan air yang mengguyur tubuhnya.
Perlahan ia meremas rambutnya. Ingin menjerit takut Ratna dan yang lain mendengar. Memang, Ahmad sudah sejak lama curiga akan sikap Silvi yang terus saja mencari cara untuk menggodanya. Namun, ia tidak menyangka hari ini puncaknya.
"Huh, padahal dia cantik. Harusnya bisa mendapat lelaki yang baik. Ada-ada saja perempuan zaman sekarang," ucapnya yang kini sudah sibuk mengenakan pakaian.
Keluar dari kamar mandi, Ratna langsung menyambut untuk membawa Ahmad ke meja makan. Kaos oblong berkerah juga celana kain sudah melekat di tubuh Ahmad.
"Makan dulu ya, Mas. Sekalian cicipi asinan buatan Ibu." Ia mengangguk lalu mengambil posisi duduk salah satu kursi kayu.
"Kami nggak diajak makan, Kak?" timpal Juna yang sudah ikut bergabung di sana.
"Ya udah, sini. Kamu di rumah sendiri, masa' harus Kakak tawari lagi."
Juna terkekeh pelan, Embun sudah duduk di sebelah Ahmad. Pria bertubuh atletis itu, mengambilkan nasi untuk gadis kecilnya.
"Makasih, Pa."
"Makan yang banyak ya, Sayang." Ahmad mengusap rambut Embun, dengan wajah semringah. Setiap gerak-gerik Embun membuatnya bahagia.
"Jangan terlalu manjain Embun, Nak Ahmad. Takutnya, dia bakalan kecewa berat kalau kamu nggak selalu ada buat dia." Marni akhirnya angkat bicara. Dia khawatir, Embun akan jadi anak yang ketergantungan dengan orangtuanya.
"Ya, Bu." Asinan Bogor yang dibuat Marni sudah tersedia di mangkuk kecil. Ratna dan Ahmad akan menyantapnya seusai makan nasi. Asinan yang terdiri dari buah mangga, nanas, kedondong juga bengkoang itu tampa menggunggah selera Juna. Ia mencopot salah satu buah di sana.
Marni langsung memukul tangannya. "Nggak sopan! Ambil sana di kulkas, itu punya Kakak kamu."
"Pelit banget sih, Bu," gerutu Juna kesal lalu bangkit menuju lemari es.
"Om, Embun mau," seru gadis itu. Juna menarik napas dalam, tapi ia tidak bisa menolak keinginan Embun.
Embun adalah kelemahannya. Rasa sayang Juna padanya tidak bisa membuatnya marah atau membentak Embun. Egonya ditekan habis saat keponakannya meminta apa yang dia inginkan.
Embun punya magnet yang mampu menarik garis emosi Juna untuk tidak meluap. Namun, Juna tidak memanjakan Embun dengan segala keinginannya harua dituruti, ia ingin mengajarkan bocah itu untuk tetap berusaha mendapatkan apa ya ia mau.
Selesai makan dan nyobain asinan bogor yang dibuat Marni, Ahmad sekeluarga pamit untuk keluar. Ya, sesuai permintaan Ratna tadi. Kali ini, mereka tidak ingin naik mobil. Ahmad meminjam motor Juna.
Motor matic itu langsung Juna serahkan pada kakak iparnya. Embun duduk di depan Ahmad. Ratna di belakangnya. Embun melambaikan tangan pada Juna.
Motor yang mereka naiki sudah berjalan santai sembari memandang alam terbuka yang masih asri. Udaranya yang sejuk membuat mereka betah lama-lama berjalan menyusuri kerikil di sepanjang jalan.
Cukup lama memang, sampai akhirnya mereka menuju jalan aspal hitam. Tempat yang dimaksud Ratna berada di seberang sana. Ahmad langsung saja menuju mini market yang tidak begitu ramai.
Belum juga tiba ditujuan, sebuah truk langsung menabrak motor yang ditumpangi Ahmad. Embun terpental cukup jauh. Ahmad dan Ratna jatuh seketika di tempat kejadian.
Darah mengalir dari kepala Ahmad. Ratna tidak sadarkan diri, darah segar juga mengucur dari telinga dan hidung. Embun berlari menghampiri orangtuanya.
Ia berdiri cukup lama, lalu menempelkan daun telinganya di dada Ahmad. Lalu menghampiri Ratna yang hanya berjarak beberapa meter dari Ahmad. Dia memegang dada Ratna cukup lama.
Kemudian Embun menangis histeris. "Papa, Mama!" panggilnya dengan terus menggoyangkan tubuh keduanya.
"Papa, Mama ...!" teriak Embun lagi. Orang-orang telah ramai mengerumuni. Namun, tak seorang pun dari mereka yang datang membantu Embun. Bocah kecil itu terus memanggil orangtuanya.
Juna yang melintas langsung mendatangi kerumunan orang-orang. Matanya melotot tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.
Kakak dan iparnya sudah bersimbah darah. Hanya Embun yang tidak terluka parah. Ahmad langsung berteriak meminta orang-orang memanggil ambulance. Lalu ia menatap Embun sendu yang sudah menangis.
"Kamu nggak apa-apa, Sayang?" Embun mengangguk, dan masih terus menangis. Juna memeluk Embun. Entah mengapa di saat semua ini terjadi, hujan turun perlahan dan membasahi tubuh mereka berdua.
"Sebentar ya, Sayang. Om periksa Mama sama Papa, ya. Kamu jangan ke mana-mana, ya." Lagi, Embun mengangguk. Bocah laki-laki dengan rambut berponi depan menutup mata Embun, sementara Juna mendekati tubuh Ratna juga Ahmad.
Juna memeriksa denyut nadi Ratna, masih ada meski itu lemah sekali. Lalu beralih ke Ahmad, detak jantungnya hilang timbul. Berarti mereka masih hidup, itu pikir Juna.
"Arjuna," panggil Ratna dengan suara yang amat pelan. Tapi Juna bisa mendengarnya dengan jelas. Juna sontak mengangkat kepala Ratna dan dibawanya ke pangkuannya.
"Kak," ucap Juna dengan mata mengembun.
"Arjuna, jaga Embun, ya."
"Kak, Kakak juga yang harus jaga Embun. Kak ...!" teriak Juna histeris saat melihat embusan napas terakhir Ratna. Embun berjalan memegang pundak Juna. Juna langsung menoleh ke jemari kecil keponakannya itu. Bocah laki-laki yang bersama Embun tadi, ditarik oleh ibunya untuk tidak dekat-dekat dengan darah yang sudah mengalir dibawa tetesan air.
Juna memeluk Embun erat, erat sekali. Tangannya yang sudah terkena darah Ratna mengusap baju Embun. Ia tidak bisa membayangkan semua ini terjadi di depan Embun.
Deras hujan membuat darah segar yang mengelilingi Ratna juga Ahmad menyapu bersih di sekitar area. Suara sirine ambulance datang dan membawa tubuh sepasang suami istri itu ke rumah sakit.
Tidak lupa, mereka mengobati pelipis dan lutut Embun yang tergores aspal. Tidak ada luka dalam dan serius, hanya beberapa jahitan di dahi sebelah kiri Embun.
Roy dan Marni tiba di rumah sakit. Marni terkulai lemas saat dokter memberitahu kalau anak dan menantunya telah tiada. Roy juga terpukul dengan kenyataan ini. Namun, ia tetap kepala keluarga yang harus menjaga anak dan istrinya tetap kuat, belum lagi cucu kesayangan mereka dan satu-satunya.
"Ratna ... Ahmad ...!" teriak Marni yang sudah terduduk lemas di lantai. Roy membawa Marni ke dalam pelukannya. Benar, semua orang terluka karena kepergiannya yang mendadak.
Mereka juga baru tahu kalau selama ini Ratna memiliki riwayat leukimia dari hasil autopsi dokter. Ahmad meninggal karena pendarahan hebat di otak karena benturan keras, sedangkan Ratna pecah pembuluh darah.
Mereka pasangan sejoli, sehidup semati. Cinta mereka dibawa hingga ke liang lahat. Juna terus menatap wajah Embun. Gadis kecil tak berdosa ini harus kehilangan kedua orangtuanya sekaligus. Ia berpikir, jika hal itu terjadi padanya pasti Juna tidak akan mampu menjalani kehidupannya ke depan. Namun, bagaimana dengan Embun?
Hanya aku, bapak dan ibu yang Embun miliki sekarang. Jenazah Ratna dan Ahmad akan dimakamkan besok. Setelah Embun keluar dari rumah sakit.
"Om, Papa sama Mama udah meninggal?" tanya Embun yang saat ini mereka menyaksikan pemakaman Ratna dan Ahmad.
"Ya, Sayang."
"Om, Embun nggak punya siapa-siapa lagi?"
"Punya, dong. Om, Nenek juga Kakek, selalu ada untuk Embun." Meski bibir Juna bergetar dan hatinya rasa sakit mengatakan itu, tapi apa lagi yang bisa dikatakan Juna untuk menanggapi pertanyaan Embun.
Prosesi pemakaman selesai, mereka semua pulang. Ratna masih menangis dalam rengkuhan tangan Roy, ia tidak menyangka kalau anaknya bisa pergi secepat itu. Ya, di usia yang masih sangat muda 28 tahun sedangkan Ahmad lebih tua dua tahun dari Ratna.
Sepuluh tahun kemudian ...
Tok ... Tok!
"Om, bangun," panggil Embun yang terus menggedor pintu kamar Juna. Embun sudah memakai seragam sekolah putih abu-abu. Tas ransel sudah berada dalam gendongannya.
Sedangkan Juna masih menikmati indahnya pulau kapuk. Juna pulang dini hari, karena ia bertugas malam sebagai dokter jaga. Meski kini dia sudah menjadi dokter spesialis bedah, tapi ada shift kerja yang harus mereka jalani.
Lagi Embun menggedor dan memanggil Juna berulang kali. Ia bahkan menghentakkan kaki kesal sendiri, melihat Juna masih tidak merespon. Bibir sudah menjembik lima centimeter ke depan.
"Om ...! Om Juna ...!" teriak Embun, yang perlahan berhasil mengusik Juna. Meski masih dengan kondisi mata yang tertutup, Juna sudah mulai menggerakkan tangannya mencari ponsel yang ia letakkan di nakas.
Dengan tubuh yang terlungkup dan sebelah tangan menyentuh lantai, Juna berusaha membuka matanya. Namun, rasanya berat sekali.
"Om Juna, ih! Aku dobrak, ya. Satu ... dua ...."
Juna membuka pintu dengan menggaruk-garuk kepala bagian belakangnya. Wajah bantal masih menguasainya, bahkan matanya juga masih tetap terpejam.
Embun langsung menarik kaos Juna dan membawanya menuju kamar mandi. Juna sontak melebarkan matanya.
"Eh, eh. Apaan ini, Embun?"
"Om, aku tuh udah hampir terlambat. Ayo anterin!"
"Sama Kakek aja. Om shiftnya siang. Kelamaan kalau harus anterin kamu dulu."
"Ah, nggak mau. Embun maunya dianterin Om Juna!"
Juna mengusap wajah gusar, menghela napas panjang. Lalu menyentil dahi Embun.
"Aw!"
"Ya udah, tunggu bentar!"
"Cepetan ...!"
"Ya, Embul."
"Aku udah enggak embul, Om."
"Kamu masih embul di mata, Om," ucap Juna yang kembali membuka pintu kamar mandi. Embun langsung mendorong wajahnya yang melongok dari sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments