Eby dan Mahira sepakat mengajak Ratih berbincang dari hati ke hati, selepas pulang bekerja.
Eby menyempatkan diri untuk singgah di unit yang ditempati dua sahabatnya itu.
Wajah sendu Ratih membuat Eby tidak tega sekaligus gemas.
Ratih terlalu polos, terlalu buta oleh cinta, sehingga ia percaya saat Yoga mengatakan jika hubungan mereka hancur saat ini, adalah karena dirinya yang terlalu keras kepala.
Ratih terus menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi, itu yang membuat Eby dan Mahira mencoba menyadarkannya. Meyakinkan wanita itu jika dirinya tidak bersalah. Takut jika pikiran negatif membuat sang sahabat mengambil jalan pintas mengakhiri hidupnya.
"Bukan salah kamu jika kalian harus berpisah, Ratih ... Jangan selalu menyalahkan diri sendiri."
"Tapi semua ini terjadi karena aku nggak mau berhenti bekerja, By ... Aku terlalu fokus sama keluargaku hingga aku mengabaikan perasaan dia." Ucap Ratih lirih. Mata wanita itu sudah bengkak akibat terlalu lama menangis.
"Yoga yang bilang jika kamu abai sama perasaan dia?" Tanya Eby.
Ratih mengangguk pelan.
"Dia bilang, hidup adalah pilihan. Dan aku memilih egois dengan mementingkan pekerjaanku. Maka jangan salahkan dia jika dia juga memilih jalannya sendiri."
"Dengan mengkhianatimu?"
"Dia nggak khianati aku, By. Dia terpaksa mencari pelampiasan lain agar nggak terlalu sakit hati sama sikap aku."
Eby dan Mahira saling tatap beberapa saat. Merasa jengah karena Ratih begitu saja percaya dengan ucapan Yoga.
Laki-laki manipulatif seperti Yoga, memang sangat mudah mencuci otak wanita polos seperti Ratih.
"Ratih ... Yang namanya menjalin hubungan dengan orang lain, disaat kita masih terikat dengan hubungan yang berbeda pula, itu tetap berkhianat namanya. Kamu jangan percaya gitu aja sama Yoga donk ... Kamu sadar nggak dia itu sengaja pojokin kamuuu terus, biar kamu merasa bersalah. Padahal sebenarnya dia memang laki-laki brengsek. Coba kalau kamu nggak kirim ss ig cewek itu ke dia, mana mungkin dia jujur ngaku kalau dia menjalin hubungan dengan orang lain di sana?" Cecar Eby mencoba menyadarkan Ratih.
"Ya Tih, benar kata Eby. Cowok kayak Yoga itu manipulatif namanya. Dia nggak akan mau mengakui kesalahannya, dia akan membuat seolah-olah kamu yang bersalah dan dia yang tersakiti. Percaya sama aku, Tih ... Tuhan pasti akan kirimkan laki-laki yang jauh lebih baik untuk mendampingi kamu kelak. Laki-laki yang nggak cuman menginginkan kamu, tapi juga keluargamu. Yang bisa dijadikan pelindung untuk kamu juga adik-adikmu, nantinya." Ucap Mahira memberi semangat untuk sang sahabat.
Ratih menggeleng, rasanya tidak mungkin ia bisa membuka hati untuk orang lain lagi.
"Jauh pikiran aku untuk itu. Kalian tau, rasanya sakiiit banget. ... Hubungan kami bukan hanya sebulan atau dua bulan, kami sudah melewati empat tahun bersama-sama. Dan sekarang harus berakhir gitu aja, bahkan tanpa kita ketemu lebih dulu?"
"Mungkin ini cara Tuhan menjaga kamu, agar tidak semakin terluka." Sahut Eby menimpali.
"Coba kamu bayangkan, gimana sakitnya hati kamu, jika kalian bertemu disaat dia sudah menggandeng cewek lain? Bukan hanya terluka karena kalian harus berpisah, aku yakin kamu juga pasti merasa kalah dan semakin sakit hati karena itu." Lanjut Eby lagi.
Manusia sering kali pintar menasihati orang lain, tapi lupa cara mengingatkan diri sendiri.
Terlalu pintar memberi jalan bagi orang lain, tapi membiarkan langkahnya sendiri tersesat dalam kegamangan.
Eby berusaha menyadarkan Ratih, jika laki-laki seperti Yoga tidak pantas untuk ditangisi.
Ia lupa, ketika manusia dihadapkan pada cinta, segala akal dan logika seketika lumpuh tak berdaya.
Ia juga lupa, di seberang benua sana, kekasihnya pun belum tentu setia.
Dan seandainya pengkhianatan itu ia yang rasa, bisakah Eby menasihati dirinya seperti yang saat ini ia lakukan pada Ratih?
Lebih dari dua jam ia menghabiskan waktu di apartemen teman-temannya.
Lelah dan kantuk sudah memaksa tubuhnya untuk beristirahat.
Saat melihat Ratih sudah tenang, Eby memutuskan untuk kembali ke unitnya sendiri.
"Aku balik dulu ya."
"Nggak nginep di sini aja?" Tanya Ratih.
"Tidur di mana?" Tanyanya sambil terkekeh.
"Lagian deket gini, aku ke kamar aja." Lanjutnya lagi, sembari meraih tas yang semula ia letakkan di atas tempat tidur milik temannya.
"Makasih ya ...." Ucap Ratih, memeluk tubuh Eby.
"Sama-sama. Janji sama aku dan Mahira, kamu nggak bakal salahin diri sendiri lagi?" Ratih mengangguk dengan senyum tipis.
"Ra, aku balik ya, jaga ni si Ratih. Ntar loncat lagi dari jendela." Ucapnya sambil berlalu.
Terdengar bantahan dari mulut Ratih, namun Eby tidak menanggapinya. Ia sudah ingin segera tiba di kamarnya.
Mandi, makan dan tidur. Semua hal itu sudah menari di depan matanya.
Sibuk dengan masalah Ratih, ia sampai lupa jika dirinya pun tengah menunggu sang kekasih yang hingga kini belum memberinya kabar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments