Bab 2

Setiap hari, setiap kali ia membuka mata, hal pertama yang Eby lakukan adalah mengambil spidol hitam, lalu melingkari kalender duduk yang ada di meja samping tempat tidurnya.

Senyumnya merekah, setiap kali menyadari ia sudah berhasil melewati hari kemarin dengan baik, dan hari dimana ia akan pulang sudah semakin dekat.

Tiga tahun di Turki, Eby sama sekali belum pernah pulang.

Komunikasi yang terjalin dengan orang-orang terkasih hanya melalui panggilan telepon atau video.

Ia menahan rindu dan kesepian seorang diri, menampilkan senyum ceria agar orang-orang tidak melihat kelemahannya.

Pintu apartemennya diketuk dari luar, hal itu menyadarkannya dari lamunan tentang keluarga yang ia tinggalkan.

"Ratih," gumamnya saat mengintip dari lubang kecil di dekat pintu.

Segera ia membuka pintu apartemennya, saat menyadari keadaan sang sahabat tidak baik-baik saja.

"Ratih, kamu kenapa?"

"By ...." Wanita itu langsung membenamkan dirinya ke dalam pelukan Eby, dengan tangis yang menyayat hati.

"Rat ... Kita masuk dulu ya ... Nggak enak diliat orang." Ucap Eby, setelah beberapa menit membiarkan dirinya menjadi sandaran tubuh sang sahabat, yang tengah bersedih.

Ia menuntun Ratih agar duduk di sofa, lalu mengambilkan air minum untuk sahabatnya itu.

"Minum dulu biar tenang." Ucapnya sembari mengulurkan gelas berisi air putih.

"Makasih, By."

Eby membiarkan suasana hening menyelimuti keduanya. Memberi ruang untuk sang sahabat menenangkan diri. Setelah Ratih terlihat tenang, barulah wanita itu menanyakan apa yang membuat sang sahabat menangis.

"Yoga putusin aku, By. Dia bilang nggak kuat menjalani hubungan jarak jauh kayak gini. Dia kasih aku pilihan, mau tetap nerusin kontrak tapi kami pisah, atau kami bersama tapi aku nggak boleh perpanjang kontrak lagi."

"Trus kamu jawabnya apa?"

"Untuk saat ini, aku nggak bisa berhenti kerja By ... Masih banyak tanggungan aku di kampung. Adik-adik aku masih sekolah, mereka perlu biaya yang banyak. Sementara orang tua aku, kamu tau sendiri mereka nggak bisa diandalkan." Keluh wanita yang kini tengah patah hati tersebut.

Ratih adalah anak pertama dari empat bersaudara. Tiga adiknya masih duduk di bangku SMA, SMP, juga SD. Sementara kedua orang tuanya sudah berpisah, beberapa tahun lalu karena alasan ekonomi. Ketiga adiknya saat ini tinggal bersama nenek dari sang ayah, yang hanya memiliki penghasilan sebagai pedagang kripik singkong keliling.

"Aku harus gimana, By? Aku sayang banget sama Yoga, tapi aku nggak bisa lepasin tanggung jawab aku sebagai kakak tertua." Ucap Ratih putus asa.

"Kamu kan bisa kerja di sana. Masa nggak ada yang mau nerima kamu sih? Apalagi dengan pengalaman kerja kamu saat ini, aku yakin banyak hotel yang mau rekrut kamu."

"Masalahnya, Yoga minta aku fokus sama keluarga kecil kami, nanti. Aku nggak dibolehin kerja."

"Aduuuh, kalau gitu susah juga ya ...." Eby menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal. Ikut pusing memikirkan kisah asmara sang sahabat.

Ia jadi berfikir, dirinya cukup beruntung memiliki kekasih seperti William yang pengertian, dan selalu bisa menerima juga mendukung setiap keputusan yang diambilnya.

"Rat, aku nggak bisa kasih kamu saran untuk tetap di sini atau kembali demi Yoga. Aku cuman bisa kasih kamu pandangan, jika seseorang hanya mementingkan keinginannya sendiri, tanpa perduli kepentingan dan perasaan orang lain, itu berarti dia adalah seorang yang egois. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri, maunya menang sendiri. Apa kamu akan kuat bertahan hidup dengan laki-laki seperti itu?" Ratih menggeleng lemah.

"Tapi aku sangat menyayanginya, By ...."

"Apakah sayangmu itu melebihi rasa sayang ke adik dan nenekmu?" Tanya Eby lagi. Ratih tidak mampu menjawab, jelas sekali terlihat dari sorot matanya, jika wanita itu merasa tertekan.

"Keputusan ada di tangan kamu, Rat ... Ini hanya pemndapat aku secara pribadi. Yang menjalani semuanya itu kamu. Tapi, kalau aku ada di posisi itu, aku lebih baik kehilangan dia, daripada mengorbankan keluarga aku. Sebab prinsip aku, dia yang mencintaiku juga harus mencintai keluargaku. Jika hanya menginginkan diriku seorang, aku akan lepaskannya."

Ucap Eby gamblang.

🌟🌟🌟

Setelah menjadi pendengar bagi keluhan sang sahabat, kini Eby bersiap kembali melakukan aktifitas hariannya.

Berangkat bersama Ratih dan juga Mahira, yang tinggal satu unit dengan Ratih. Mereka bertiga berangkat dengan menggunakan bus, menuju halte dekat hotel tempat mereka bekerja.

Seperti biasa, sapaan hangat selalu menyambut Eby. Ia yang selalu tersenyum ramah, mampu menularkan kebahagiaan bagi mereka yang melihatnya.

"Berasa jalan sama seleb kita ya, kalo kerjanya barengan Eby." Ucap Mahira, yang dibalas anggukan oleh Ratih. Meski suasana hatinya sedang tidak baik, namun wanita itu bisa menutupinya di depan orang lain.

"Maksudmu?" Tanya Eby yang tidak paham dengan ucapan temannya.

"Iya, kalau kita jalan sama kamu, banyak yang nyapa, yang senyum, padahal kita nggak kenal sama mereka."

"Nggak perlu kenal, kalau hanya untuk sekadar menyapa, bukan? Kadang kita nggak tau, sikap kita yang mana, yang berhasil membuat orang bahagia. Tapi yang jelas, senyum adalah cara yang paling mudah. Anggap lagi cari pahala." Ucap Eby santai.

"Iya sih ... Tapi itu juga nggak menjamin orang bakal suka sama kita, kan? Buktinya geng sebelah, mereka kayak kesel aja tiap kali liat kamu." Sahut Namira lagi.

"Biarin aja, aku nggak perduli. Yang penting aku nggak merugikan mereka. Aku nggak mau menambah beban hidup dengan terus memikirkan gimana caranya biar mereka suka sama aku. Toh, bukan tugasku untuk menyenangkan hati semua orang."

"Iya sih ... Tapi bukankah berarti ada yang salah sama kita, jika orang lain nggak suka sama kehadiran kita?" Mahira masih terus mendebat Eby.

"Ck, udaah ... Kamu nggak mungkin menang lawan Eby, Ra ... Dia itu pengacara yang salah jurusan. Ilmu berdebatnya ngalahin mahasiswa hukum." Sela Ratih, yang bosan mendengar obrolan mereka.

"Nggak gitu Rat, aku mau tau aja jalan pikiran Eby." Kembali Mahira menyahut.

Mereka sudah hampir tiba di ruangan tempat mereka biasanya menunggu pelanggan, untuk melakukan treatment.

Eby menghentikan langkah, menatap dua wanita yang berdiri di belakangnya.

"Denger ya, kita hidup di dunia di mana setiap orang memiliki cara pandang dan kepentingan yang berbeda. Kita nggak bisa maksain orang untuk suka sama kita, tapi bukan berarti kita harus menjadi seperti apa yang mereka mau. Kalau ada yang nggak suka sama aku karena aku ramah, karena aku berbuat baik, itu bukan masalahku, tapi masalah mereka. Mereka yang nggak bisa melihat seorang Ebbelina Karleen dengan segala pesonanya." Ucap Eby dengan senyum penuh percaya dirinya, menghentikan perdebatan pagi itu.

Dua temannya hanya bisa memutar bola matanya malas, mendengar kalimat terakhir Eby.

Wanita berkulit kuning langsat itu, selalu punya jawaban untuk setiap sindiran ataupun nyinyiran yang disampaikan teman-temannya.

Benar kata Eby, kita tidak bisa memaksa orang untuk suka sama kita. Kita juga tidak bisa menyenangkan hati semua orang. Yang bisa kita lakukan, hanyalah menjalani hidup sebaik mungkin, memberi manfaat sebanyak mungkin. Tapi jika hal itu membuat orang lain terganggu, bukan salah kita yang menebar kebaikan, tapi salah mereka karena hidup penuh kedengkian.

Terpopuler

Comments

himawatidewi satyawira

himawatidewi satyawira

s7...

2023-10-30

1

Keysha ʚHiatusɞ

Keysha ʚHiatusɞ

Bener tuh kata Eby, kita tidak bisa memaksakan kehendak mereka untuk suka kepada kita

2023-06-13

0

Zey ✨️

Zey ✨️

Pasti berat menahan itu selama ini, semangat Eby

2023-06-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!