Luka Di Ujung Asa
Derap langkah penuh semangat terdengar nyaring, ketika sepatu berhak 3cm itu membentur lantai marmer di sebuah hotel berbintang 5, di Istanbul Turki.
Senyum manis dari bibir tebal berwarna peach itu, terus terkembang dari seorang wanita berusia 25 tahun bernama Ebbelina Karleen.
Wanita Nusantara yang melangkah jauh ke negeri dua benua, mengadu nasib untuk hidup yang lebih baik.
"Pagii ...." Sapanya pada seorang housekeeping yang ia temui.
Eby, begitu ia biasa dipanggil adalah wanita manis yang ramah. Ia bukan hanya berteman dengan sesama terapis di hotel itu, tapi di departemen yang berbeda pun, ia mengenal satu dengan yang lain.
Baginya dengan bersosialisasi memudahkan seseorang dalam menjalani kehidupan.
"Pagi Eby ... Semangat ya semoga tamunya rame," dengan mengerlingkan sebelah mata, housekeeper itu membalas sapaan Eby.
"Semoga banyak tips hari ini, itu yang terpenting." Sahut Eby terkekeh kecil, sambil melanjutkan langkahnya dengan santai.
Sudah tiga tahun wanita itu bekerja sebagai terapis spa di hotel tersebut. Meski banyak pandangan miring masyarakat mengenai pekerjaan itu, namun bagi Eby, pekerjaan itu adalah jalannya untuk merubah nasib.
Memperbaiki ekonomi keluarga, serta mewujudkan mimpinya di masa depan.
Menurutnya, apapun pekerjaannya pasti memiliki resiko. Baik atau buruk diri kita, itu ditentukan oleh masing-masing pribadi, bukan oleh pekerjaan.
Meskipun tidak bisa dipungkiri, pekerjaan yang ia jalani saat ini memiliki resiko lebih besar, karena tempat serta keintiman yang terjalin antara customer dengan sang terapis.
"Cieee yang mukanya berseri bagai melati di malam hari ...." Goda salah seorang teman kerjanya, ketika ia baru memasuki ruangan khusus pegawai.
"Iih serem donk ...." Ia yang begitu masuk, sudah disambut godaan oleh temannya, membalas dengan wajah pura-pura takut.
"Hahaha muka mu nggak cocok, nggak ada unsur takutnya sama sekali ituu ...." Ucap wanita bernama Ratih itu.
"Eby takut? Yang ada setan takut sama dia ...." sahut temannya yang lain lagi bernama Mahira.
Mereka berdua kompak tertawa, sementara Eby memajukan bibirnya membentuk kerucut.
Waktu 10jam perhari yang mereka lewati bersama, tentu membuat kedekatan satu dengan yang lain sudah seperti saudara. Meski ada beberapa diantara mereka yang tidak cocok atau bahkan tidak saling bertegur sapa, tapi itu adalah hal biasa dalam sebuah pekerjaan.
Itulah hidup, acap kali kita akan dibenturkan oleh keadaan, bertemu dengan orang yang tidak kita suka, atau yang tidak satu pemikiran dengan kita.
Sebagai manusia, belajar menjaga lisan dan perbuatan, hanya itu yang bisa kita lakukan.
Waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi. Sudah dua jam Eby tiba di tempatnya bekerja, namun belum ada satu tamu pun yang datang.
"Bosen bangeeet ...." Ia yang memang tidak bisa diam, justru merasa lelah ketika waktunya ia habiskan untuk bermain ponsel.
"Sok banget! Giliran ada tamu juga, paling minta digantikan sama yang lain. Seringnya kan begitu. Munafik!"
Wanita yang berasal dari pulau yang sama dengannya, tanpa diduga menanggapi keluhannya dengan nyinyiran pedas.
"Eehh," Eby yang terkejut sontak menoleh dan bereaksi.
Matanya menatap aneh pada wanita bernama Siska tersebut.
"Aku nggak ngomong sama kamu ya ... Ngapain nyahut?"
"Kalau ngomong di ruangan ini, siapa aja bisa dengar dan berkomentar. Kalau nggak mau ada yang komen, tuh di kuburan sana kamu ngomong! Sekalian masuk liang juga nggak apa-apa."
Dengan santai wanita berambut pirang itu menyahut, namun matanya tetap fokus dengan layar pipih di depannya.
Sementara yang lain, menyaksikan perdebatan itu dengan mata menoleh silih berganti ke kiri dan ke kanan.
Sebab antara sofa yang Eby duduki dengan tempat duduk Siska terhalang meja kaca.
"Kamu duluan aja, nanti aku nyekar di atas gundukan tanah kuburmu. Nggak tanggung-tanggung, aku penuhin kuburan kamu pake tulip pink, biar meriah."
Sahut Eby enteng tanpa beban.
"By ... Kok tulip pink sih?" Tanya Ratih, berbisik di telinga Eby.
"Iya ... Soalnya aku bahagia kalau dia udah dikubur." Sahut Eby lintang, membalas bisikan tannya.
Jawaban Eby tentu membuat wajah wanita yang mendebatnya memerah penuh amarah.
Sementara yang lain hanya bisa menahan tawa dengan melipat bibir mereka.
Tidak lama setelah itu, satu persatu tamu berdatangan.
Mungkin doa housekeeper didengar pemilik langit, hingga tanpa diduga hari yang Eby kira sepi, justru kini tak henti kedatangan tamu.
Wanita itu tersenyum. Lelah yang ia rasa, setimpal dengan hasil yang ia bawa pulang hari ini.
🌟🌟🌟
"By ... Cari makan di luar yuk ...."
Ratih berusaha mengejar wanita yang langkahnya selalu lebar itu.
"Nggak ah ... Aku masih ada roti di unit." Tolaknya terang-terangan.
"Ayolah By ... Sesekali boleh kok menikmati hidup. Jangan terlalu keras pada diri sendiri ...." Ucap Ratih merayu. Ia tahu perjuangan sahabatnya itu. Semua Eby lakukan untuk keluarganya dan masa depannya.
Ia pun begitu, tapi bukan berarti mereka tidak boleh menikmati hasil kerja keras mereka bukan?
"Coba tanya pacar kamu, dalam seminggu, berapa kali dia menjalankan hobinya? Tanya adik kamu, dalam sebulan berapa kali dia ikut teman-temannya hangout? Mereka yang kamu perjuangkan kehidupannya, bisa menikmati hasil kerja keras kamu, lalu kenapa kamu nggak bisa?"
Ratih memang sahabat Eby sejak awal mereka tiba di sini. Sama-sama berjuang dari nol. Sama-sama menangis saat awal-awal mempelajari kebiasaan orang-orang di sini. Sama-sama menerima bully dari para senior, yang sialnya berasal dari daerah yang sama dengan mereka.
Eby menatap Ratih dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Ayoo kita mau makan di mana sekarang?" Sahut wanita itu akhirnya.
Jawaban Eby tentu menciptakan senyum di bibir sang sahabat.
"Kita wisata kuliner sekarang ...!" Teriaknya girang.
Mereka pun menghabiskan malam dengan mengelilingi kota Istanbul yang bisa mereka jangkau dengan berjalan kaki.
Tempat kerja yang terletak di tengah kota, memudahkan mereka untuk menjangkau tempat-tempat yang sekiranya ingin mereka kunjungi.
"Rat ... Udah ... Penuh banget perut aku ...." Keluh Eby sembari mengelus perutnya, ketika sang sahabat kembali menariknya, untuk mencari menu makanan lain.
"Baru juga makan dua jenis By, perut Nusantara belum makan kalau belum ada nasi ...."
"Kita udah tiga tahun di sini, perut kita udah menyesuaikan ..." Bantah Eby. Ia benar-benar merasa kenyang saat ini.
Baklava dan Borek yang mereka nikmati dengan teh khas Turki, cukup membuat cacing-cacing di perutnya bersorak sorai malam ini.
"Udah ya ... Aku nggak kuat. Takut nanti keluar lagi ...." Ia yang memang jarang makan banyak, menampilkan wajah memelasnya demi menghentikan niat sahabatnya untuk membeli makanan lagi.
"Ya udah ... Tapi besok kemari lagi ya ...."
"Jangan besok donk ... Minggu depan deh ... Kalau dapet banyak tip seperti tadi." Ucapnya tersenyum kuda.
"Janji ya ...."
Eby mengangguk menyanggupi permintaan Ratih.
Akhirnya mereka kembali ke unit apartemen mereka masing-masing, yang dipisah satu kamar diantaranya.
Baik Eby maupun Ratih, sama-sama mengistirahatkan tubuh mereka, sebelum besok kembali melakukan pekerjaan rutin mereka lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
mama oca
hai..salam kenal..baru mampir nih...tau pas ada yg promosiin cerita ini....
2023-08-22
2
ℛᵉˣℱᵅᵐⁱⳑʸʚɞ⃝🍀𝑬𝒓𝒊𝒛𝒂𝒀𝒖𝒖
ini sih siska yg suka nyari gara-gara duluan
2023-06-13
0
As Cempreng tikttok @adeas50
ceritanya bagus, banyak mengajarkan ilmu kehidupan. Semangat Thor!!!
2023-06-13
0