Itu adalah suara asing yang belum pernah kudengar sebelumnya. Aku mengangkat kepalaku untuk melihat sumber suara dan kutemukan sosok pria dengan jersey kuningnya yang terlihat basah. Rambutnya acak-acakan. Mata teduh dan rahang kokohnya. Ia sangat tampan.
“Kamu siapa?” cicitku.
Ia mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Dengan ragu kusambut uluran tangan yang dingin itu. “Ayo kita keluar dulu,” ucapnya membawaku menyusuri koridor yang gelap.
Kami duduk di depan kantin yang terletak di sebelah lapangan. Disini lebih terang karena semioutdoor. Kami duduk bersebelahan dengan canggung. Ia mengeluarkan sebotol air mineral dari dalam ransel hitamnya dan membukakan segelnya untukku. “Kamu pucat. Ini minum dulu,” ucapnya.
Aku mengangguk dan menurut. Beberapa waktu kami hanya benar-benar senyap. Aku sibuk menenangkan ketakutanku. Sepertinya ponselku sudah terisi. Aku cepat-cepat membuka ranselku. Namun sayang sekali aku bahkan lupa mengisi daya. Bodoh sekali.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku menggeleng. “HPku lowbat. Mau minta jemput ayah,” jawabku.
“Sekolah sudah sepi. Yang lain juga udah mau pulang. Kuanter aja ya,” tawarnya.
Aku bergeming. “Enggak usah.” Mana mungkin aku mau menerima tawaran dari orang yang tidak kukenal. Benar-benar gila.
“Ya udah kalau gitu kutemeni kamu nunggu ayahmu.”
Pria ini benar-benar keras kepala. Jika diingat-ingat ia sempat memanggil namaku. Tetapi aku yakin bahwa aku tidak mengenalnya. Bahkan aku saja baru melihat wajahnya di sekolah.
“Kamu kenal aku?” tanyaku penasaran.
Ia yang sedang menghidupkan rokoknya menjadi menoleh. Pria gila. Dia merokok di sekolah? Padahal jelas-jelas bahwa peraturan disini tidak boleh merokok. “Kenal,” jawabnya.
Aku semakin mengerutkan kening. “Kamu gak kenal aku?” tebaknya sembari mengalihkan asap rokoknya agar tak mengarah kepadaku.
Aku menggeleng dengan pelan. Ia terkekeh.
“Angkasa Biru.”
“Hah?” aku tidak salah dengar kan? Aku mencoba melihatnya dari atas sampai bawah. Benar-benar berbeda dari apa yang ada di bayanganku.
Padahal yang kupikirkan tentang Biru adalah pria yang selalu berpakaian rapi, taat aturan, intinya siswa baik-baik. Hal seperti ini kupikirkan setelah tahu bagaimana cara pikirnya yang luas dan membuatku kagum.
“Kenapa? Aku gak sesuai penilaianmu ya,” lagi-lagi tebakannya tepat sasaran. Aku langsung menggeleng. Tidak enak hati jika mengatakan yang sejujurnya.
“Bukan gitu.” Aku mencoba berdalih. “Mungkin aku yang lebih gak sesuai pemikiranmu.” Cicitku mengadari hal tersebut. aku benar-benar masih belum siap menemuinya. Harusnya pertemuan kami baru akan berlangsung seminggu lagi.
Ia menatapku dalam diam seolah sibuk dengan pikirannya sendiri. “Kenapa mikir gitu?” tanyanya.
“Aku gak asyik. Beda kan dari chat.”
Ia menggeleng. “Sama aja. Kamu di dunia real itu cuma menahan semua pikiranmu seperti di dalam chat. Toh aku sudah bilang, aku sudah tahu gimana kamu. Jadi gak perlu merasa seperti itu,” jelasnya.
Hatiku membuncah. Perutku terasa geli. Mungkin inilah yang orang-orang katakan perihal kupu-kupu dalam perut.
“Kok mukamu merah? Kamu demam?” serangnya membuatku semakin gelagapan. Ia hendak menyentuh keningku sebelum kutepis. Dapat kulihat wajahnya yang terlihat kaget dengan itu.
“Engga apa-apa.” Aku kembali mencoba menghidupkan ponselku. Untungnya sekarang sudah hidup. Kulihat ada beberapa pesan dari ayah yang menanyakan keberadaanku.
Cepat-cepat aku membalas pesan itu dan mengatakan bahwa aku ingin dijemput. Untung saja ayah dengan cepat membalasnya.
“Sudah?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Aku mau nunggu di depan,” ucapku buru-buru memasukkan ponselku ke dalam ransel.
“Bawa payung?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Besok-besok bawa aja, udah musim hujan,” ucapnya memberikan pesan.
Aku berjalan menuju halte beriringan dengannya. Rasanya aneh.
“Woi, Bi. Duluan ya.”
“Gercep amat, Bi. Jangan lupa nanti pajak jadian ya."
“Oalah Biru ilang gara-gara ini.”
Suara soraian membuatku semakin tertunduk malu. Itu adalah teman-teman Biru yang sedang bersiap-siap untuk pulang. Sedangkan di sebelahku, Biru hanya terkekeh menanggapi teman-temannya.
“Kamu pulang aja sama temen-temenmu,” ucapku.
“Gak usah. Aku bisa sendiri.”
Langkahku terhenti saat melihat bahwa ada halaman yang harus kulewati sebelum sampai di halte. Sepertinya aku harus melapangkan hati untuk kembali basah kuyup. Setidaknya ponselku sudah aman.
Aku menghela napas dan bersiap-siap untuk sedikit berlari. Namun sebelum langkah pertama, Biru menahan lenganku. “Ayo.”
Aku hanya terdiam melihatnya memaparkan jaket kulitnya diatas kepalaku. Sejak kapan ia memiliki itu? sepertinya ia menyimpannya di dalam ransel selama ini. Melihatku hanya terdiam, Biru menoleh. Tatapan kami bertemu. “Ayo Bumi,” ucapnya lagi. Kali ini dengan lebih lembut.
Aku mengangguk dan menyeimbangkan langkahnya. Dapat kulihat rokok yang masih nyaris utuh itu sudah terjatuh begitu saja. Ia rela membuang rokoknya yang utuh agar tangannya bisa dipakai untuk melebarkan jaketnya. Dapat tercium aroma tubuhnya yang maskulin dan asap yang masih tertinggal disana. Jantungku berdegup dengan kencang. Kuharap Biru tak mendengarnya.
Kami akhirnya sampai di halte, Biru menurunkan jaketnya yang kini basah. Tubuhnya basah kuyup. Kupikir bahwa selama berjalan kesini ia juga memayungi dirinya dengan itu. Tetapi ternyata aku salah. “Kamu gak basah kan?” tanyanya justru memastikan keadaanku.
Aku menggeleng. Lidahku kelu. “Kamu jadi basah,” ucapku.
Ia malah terkekeh. “Gak apa-apa.”
Aku duduk disana. Tetapi Biru hanya berdiri disana memandangi hujan yang tak juga mereda. “Kamu gak duduk?” tanyaku.
Ia menoleh lalu menggeleng. “Aku basah. Kalau aku duduk nanti kamu jadi ikutan basah,” ucapnya.
Tempat duduk di halte memang sempit. “Aku gak masalah.”
“Jangan, Bumi. Nanti sakit.”
Aku kembali terdiam.
“Olimpiademu besok lusa kan?” tanyanya.
“Iya,” jawabku.
“Nah, jadi jangan sakit. Semangat ya.”
“Makasih.”
Selanjutnya kembali hanya hening. Aku benar-benar ingin tahu apa yang ada dipikiran Biru yang hanya menatap kosong pada hujan itu. ia menggendong ranselnya yang kotak dengan setengah bahu saja. Tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku celana seragam abu-abu.
Dilihat dari belakang, gayanya memang benar-benar khas siswa SMA yang bebas. Rambut basahnya yang berantakan justru membuatnya terlihat lebih menarik. Ia tidak terlalu tinggi. Mungkin 170 atau 168? Aku tidak yakin. Badannya pas dengan tinggi tubuh. Dari belakang punggungnya lebar dan kokoh. Aroma maskulin pada dirinya juga masih tercium meskipun tidak sehebat tadi.
“Udah puas liatinnya?” Biru menoleh dan melayangkan senyum teduhnya membuatku gelagapan dan langsung menanggalkan pandanganku darinya.
“Aku engga-“ ah sial. Bahkan aku tak sanggup meneruskan.
Biru terkekeh. “Kamu lucu kalau lagi malu-malu,” komentarnya.
Untung saja aku tak perlu semakin salah tingkah karena mobil ayah akhirnya datang. Aku langsung berdiri. Ayah membuka kaca jendelanya dan terlihat bingung mengamati Biru.
“Oom,” sapa Biru dengan sopan sambil menundukan kepala.
“Teman Bumi ya?” tanya ayah.
Biru mengiyakan itu. Aku buru-buru membuka pintu dan masuk.
“Biru, makasih ya.” Ucapku sebelum benar-benar meninggalkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments