BAGIAN 4 – Kecanggungan Biru

Itu adalah suara asing yang belum pernah kudengar sebelumnya. Aku mengangkat kepalaku untuk melihat sumber suara dan kutemukan sosok pria dengan jersey kuningnya yang terlihat basah. Rambutnya acak-acakan. Mata teduh dan rahang kokohnya. Ia sangat tampan.

“Kamu siapa?” cicitku.

Ia mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Dengan ragu kusambut uluran tangan yang dingin itu. “Ayo kita keluar dulu,” ucapnya membawaku menyusuri koridor yang gelap.

Kami duduk di depan kantin yang terletak di sebelah lapangan. Disini lebih terang karena semioutdoor. Kami duduk bersebelahan dengan canggung. Ia mengeluarkan sebotol air mineral dari dalam ransel hitamnya dan membukakan segelnya untukku. “Kamu pucat. Ini minum dulu,” ucapnya.

Aku mengangguk dan menurut. Beberapa waktu kami hanya benar-benar senyap. Aku sibuk menenangkan ketakutanku. Sepertinya ponselku sudah terisi. Aku cepat-cepat membuka ranselku. Namun sayang sekali aku bahkan lupa mengisi daya. Bodoh sekali.

“Kenapa?” tanyanya.

Aku menggeleng. “HPku lowbat. Mau minta jemput ayah,” jawabku.

“Sekolah sudah sepi. Yang lain juga udah mau pulang. Kuanter aja ya,” tawarnya.

Aku bergeming. “Enggak usah.” Mana mungkin aku mau menerima tawaran dari orang yang tidak kukenal. Benar-benar gila.

“Ya udah kalau gitu kutemeni kamu nunggu ayahmu.”

Pria ini benar-benar keras kepala. Jika diingat-ingat ia sempat memanggil namaku. Tetapi aku yakin bahwa aku tidak mengenalnya. Bahkan aku saja baru melihat wajahnya di sekolah.

“Kamu kenal aku?” tanyaku penasaran.

Ia yang sedang menghidupkan rokoknya menjadi menoleh. Pria gila. Dia merokok di sekolah? Padahal jelas-jelas bahwa peraturan disini tidak boleh merokok. “Kenal,” jawabnya.

Aku semakin mengerutkan kening. “Kamu gak kenal aku?” tebaknya sembari mengalihkan asap rokoknya agar tak mengarah kepadaku.

Aku menggeleng dengan pelan. Ia terkekeh.

“Angkasa Biru.”

“Hah?” aku tidak salah dengar kan? Aku mencoba melihatnya dari atas sampai bawah. Benar-benar berbeda dari apa yang ada di bayanganku.

Padahal yang kupikirkan tentang Biru adalah pria yang selalu berpakaian rapi, taat aturan, intinya siswa baik-baik. Hal seperti ini kupikirkan setelah tahu bagaimana cara pikirnya yang luas dan membuatku kagum.

“Kenapa? Aku gak sesuai penilaianmu ya,” lagi-lagi tebakannya tepat sasaran. Aku langsung menggeleng. Tidak enak hati jika mengatakan yang sejujurnya.

“Bukan gitu.” Aku mencoba berdalih. “Mungkin aku yang lebih gak sesuai pemikiranmu.” Cicitku mengadari hal tersebut. aku benar-benar masih belum siap menemuinya. Harusnya pertemuan kami baru akan berlangsung seminggu lagi.

Ia menatapku dalam diam seolah sibuk dengan pikirannya sendiri. “Kenapa mikir gitu?” tanyanya.

“Aku gak asyik. Beda kan dari chat.”

Ia menggeleng. “Sama aja. Kamu di dunia real itu cuma menahan semua pikiranmu seperti di dalam chat. Toh aku sudah bilang, aku sudah tahu gimana kamu. Jadi gak perlu merasa seperti itu,” jelasnya.

Hatiku membuncah. Perutku terasa geli. Mungkin inilah yang orang-orang katakan perihal kupu-kupu dalam perut.

“Kok mukamu merah? Kamu demam?” serangnya membuatku semakin gelagapan. Ia hendak menyentuh keningku sebelum kutepis. Dapat kulihat wajahnya yang terlihat kaget dengan itu.

“Engga apa-apa.” Aku kembali mencoba menghidupkan ponselku. Untungnya sekarang sudah hidup. Kulihat ada beberapa pesan dari ayah yang menanyakan keberadaanku.

Cepat-cepat aku membalas pesan itu dan mengatakan bahwa aku ingin dijemput. Untung saja ayah dengan cepat membalasnya.

“Sudah?” tanyanya.

Aku mengangguk. “Aku mau nunggu di depan,” ucapku buru-buru memasukkan ponselku ke dalam ransel.

“Bawa payung?” tanyanya.

Aku menggeleng. “Besok-besok bawa aja, udah musim hujan,” ucapnya memberikan pesan.

Aku berjalan menuju halte beriringan dengannya. Rasanya aneh.

“Woi, Bi. Duluan ya.”

“Gercep amat, Bi. Jangan lupa nanti pajak jadian ya."

“Oalah Biru ilang gara-gara ini.”

Suara soraian membuatku semakin tertunduk malu. Itu adalah teman-teman Biru yang sedang bersiap-siap untuk pulang. Sedangkan di sebelahku, Biru hanya terkekeh menanggapi teman-temannya.

“Kamu pulang aja sama temen-temenmu,” ucapku.

“Gak usah. Aku bisa sendiri.”

Langkahku terhenti saat melihat bahwa ada halaman yang harus kulewati sebelum sampai di halte. Sepertinya aku harus melapangkan hati untuk kembali basah kuyup. Setidaknya ponselku sudah aman.

Aku menghela napas dan bersiap-siap untuk sedikit berlari. Namun sebelum langkah pertama, Biru menahan lenganku. “Ayo.”

Aku hanya terdiam melihatnya memaparkan jaket kulitnya diatas kepalaku. Sejak kapan ia memiliki itu? sepertinya ia menyimpannya di dalam ransel selama ini. Melihatku hanya terdiam, Biru menoleh. Tatapan kami bertemu. “Ayo Bumi,” ucapnya lagi. Kali ini dengan lebih lembut.

Aku mengangguk dan menyeimbangkan langkahnya. Dapat kulihat rokok yang masih nyaris utuh itu sudah terjatuh begitu saja. Ia rela membuang rokoknya yang utuh agar tangannya bisa dipakai untuk melebarkan jaketnya. Dapat tercium aroma tubuhnya yang maskulin dan asap yang masih tertinggal disana. Jantungku berdegup dengan kencang. Kuharap Biru tak mendengarnya.

Kami akhirnya sampai di halte, Biru menurunkan jaketnya yang kini basah. Tubuhnya basah kuyup. Kupikir bahwa selama berjalan kesini ia juga memayungi dirinya dengan itu. Tetapi ternyata aku salah. “Kamu gak basah kan?” tanyanya justru memastikan keadaanku.

Aku menggeleng. Lidahku kelu. “Kamu jadi basah,” ucapku.

Ia malah terkekeh. “Gak apa-apa.”

Aku duduk disana. Tetapi Biru hanya berdiri disana memandangi hujan yang tak juga mereda. “Kamu gak duduk?” tanyaku.

Ia menoleh lalu menggeleng. “Aku basah. Kalau aku duduk nanti kamu jadi ikutan basah,” ucapnya.

Tempat duduk di halte memang sempit. “Aku gak masalah.”

“Jangan, Bumi. Nanti sakit.”

Aku kembali terdiam.

“Olimpiademu besok lusa kan?” tanyanya.

“Iya,” jawabku.

“Nah, jadi jangan sakit. Semangat ya.”

“Makasih.”

Selanjutnya kembali hanya hening. Aku benar-benar ingin tahu apa yang ada dipikiran Biru yang hanya menatap kosong pada hujan itu. ia menggendong ranselnya yang kotak dengan setengah bahu saja. Tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku celana seragam abu-abu.

Dilihat dari belakang, gayanya memang benar-benar khas siswa SMA yang bebas. Rambut basahnya yang berantakan justru membuatnya terlihat lebih menarik. Ia tidak terlalu tinggi. Mungkin 170 atau 168? Aku tidak yakin. Badannya pas dengan tinggi tubuh. Dari belakang punggungnya lebar dan kokoh. Aroma maskulin pada dirinya juga masih tercium meskipun tidak sehebat tadi.

“Udah puas liatinnya?” Biru menoleh dan melayangkan senyum teduhnya membuatku gelagapan dan langsung menanggalkan pandanganku darinya.

“Aku engga-“ ah sial. Bahkan aku tak sanggup meneruskan.

Biru terkekeh. “Kamu lucu kalau lagi malu-malu,” komentarnya.

Untung saja aku tak perlu semakin salah tingkah karena mobil ayah akhirnya datang. Aku langsung berdiri. Ayah membuka kaca jendelanya dan terlihat bingung mengamati Biru.

“Oom,” sapa Biru dengan sopan sambil menundukan kepala.

“Teman Bumi ya?” tanya ayah.

Biru mengiyakan itu. Aku buru-buru membuka pintu dan masuk.

“Biru, makasih ya.” Ucapku sebelum benar-benar meninggalkannya.

Episodes
1 Prolog
2 BAGIAN 1 – Awal Kisah
3 BAGIAN 2 – Namanya Angkasa Biru
4 BAGIAN 3 - Pertemuan
5 BAGIAN 4 – Kecanggungan Biru
6 BAGIAN 5 – Pendekatan Biru
7 BAGIAN 6 – Bima yang Kembali Mengesalkan
8 BAGIAN 7 – Mempertanyakan Resah
9 BAGIAN 8 – Hari Jadian
10 BAGIAN 9 – Teman Bersama
11 BAGIAN 10 – Kupu-kupu Dalam Perut
12 BAGIAN 11 – Kembalinya Laut
13 BAGIAN 12 – Khawatir
14 BAGIAN 13 – Perdebatan Antara Bima dan Bumi
15 BAGIAN 14 – Permintaan Maaf
16 BAGIAN 15 – Kesalahan Fatal
17 BAGIAN 16 – Alasan yang Biru Buat
18 BAGIAN 17 – Teman Menyebalkan
19 BAGIAN 18 – Biru Baik-Baik Saja?
20 BAGIAN 19 – Gangguan dari Bima
21 BAGIAN 20 – Gangguan dari Bima (2)
22 BAGIAN 21 – Bima, Ada Apa?
23 BAGIAN 22 – Laut Menjaga Bumi
24 BAGIAN 23 – Sanksi dari Sekolah
25 BAGIAN 24 – Mempertanyakan Rasa
26 BAGIAN 25 – Hadiah Ulang Tahun
27 BAGIAN 26 – Sisi Berbeda
28 BAGIAN 27 – Kesalahpahaman
29 BAGIAN 28 – Permintaan Maaf
30 BAGIAN 29 – Biru, Dunia, dan Seisinya
31 BAGIAN 30 - Teguran dari Wali Kelas
32 BAGIAN 31 – Tanpa Bertemu
33 BAGIAN 32 – Satu Kelas
34 BAGIAN 33 - Terkuaknya Semua Hal
35 BAGIAN 34 - Pengakuan Pahit
36 BAGIAN 35 - Kami Selesai
37 BAGIAN 36 – Tanpa Biru
38 BAGIAN 37 - Ikut Campur
39 BAGIAN 38 – Saat Waktu Terus Berlalu
40 BAGIAN 39 - Pengakuan
41 BAGIAN 40 – Bentuk Penyadaran
42 BAGIAN 41 - Patah Harus Tumbuh
43 BAGIAN 42 – Bukan Terpaksa
44 BAGIAN 43 – Patah Hati Lagi
45 BAGIAN 44 – Study Tour
46 BAGIAN 45 – Selamat Tinggal
47 Epilog
Episodes

Updated 47 Episodes

1
Prolog
2
BAGIAN 1 – Awal Kisah
3
BAGIAN 2 – Namanya Angkasa Biru
4
BAGIAN 3 - Pertemuan
5
BAGIAN 4 – Kecanggungan Biru
6
BAGIAN 5 – Pendekatan Biru
7
BAGIAN 6 – Bima yang Kembali Mengesalkan
8
BAGIAN 7 – Mempertanyakan Resah
9
BAGIAN 8 – Hari Jadian
10
BAGIAN 9 – Teman Bersama
11
BAGIAN 10 – Kupu-kupu Dalam Perut
12
BAGIAN 11 – Kembalinya Laut
13
BAGIAN 12 – Khawatir
14
BAGIAN 13 – Perdebatan Antara Bima dan Bumi
15
BAGIAN 14 – Permintaan Maaf
16
BAGIAN 15 – Kesalahan Fatal
17
BAGIAN 16 – Alasan yang Biru Buat
18
BAGIAN 17 – Teman Menyebalkan
19
BAGIAN 18 – Biru Baik-Baik Saja?
20
BAGIAN 19 – Gangguan dari Bima
21
BAGIAN 20 – Gangguan dari Bima (2)
22
BAGIAN 21 – Bima, Ada Apa?
23
BAGIAN 22 – Laut Menjaga Bumi
24
BAGIAN 23 – Sanksi dari Sekolah
25
BAGIAN 24 – Mempertanyakan Rasa
26
BAGIAN 25 – Hadiah Ulang Tahun
27
BAGIAN 26 – Sisi Berbeda
28
BAGIAN 27 – Kesalahpahaman
29
BAGIAN 28 – Permintaan Maaf
30
BAGIAN 29 – Biru, Dunia, dan Seisinya
31
BAGIAN 30 - Teguran dari Wali Kelas
32
BAGIAN 31 – Tanpa Bertemu
33
BAGIAN 32 – Satu Kelas
34
BAGIAN 33 - Terkuaknya Semua Hal
35
BAGIAN 34 - Pengakuan Pahit
36
BAGIAN 35 - Kami Selesai
37
BAGIAN 36 – Tanpa Biru
38
BAGIAN 37 - Ikut Campur
39
BAGIAN 38 – Saat Waktu Terus Berlalu
40
BAGIAN 39 - Pengakuan
41
BAGIAN 40 – Bentuk Penyadaran
42
BAGIAN 41 - Patah Harus Tumbuh
43
BAGIAN 42 – Bukan Terpaksa
44
BAGIAN 43 – Patah Hati Lagi
45
BAGIAN 44 – Study Tour
46
BAGIAN 45 – Selamat Tinggal
47
Epilog

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!