Romansa Bumi Dan Biru
“Cepat kesini! Kalian tahu jam berapa? Hah! Jawab!”
Mendengar teriakan demi teriakan yang membumbung itu, membuat langkah sepatu yang berlarian menjadi semakin berisik. Mereka seolah mendengar suara gendering perang yang mau tak mau membuat mereka maju. Itu adalah hal yang aneh. Dan disinilah aku, menjadi salah satu manusia yang berlarian memasuki aula dengan sepatu heelsku yang membuat betisku penat.
“Hei kamu! Berhenti.”
Langkahku terhenti saat seorang perempuan berjas hijau itu menatapku selayaknya tokoh antagonis cerita. Aku langsung berhenti sambil mencoba menstabilkan napasku yang naik turun tak beraturan.
“Iya kak?” tanyaku.
Namun ia malas menampilkan wajah yang semakin marah. “Kamu pura-pura nggak tahu ya?” sinisnya.
Aku yang sudah sangat kesal hanya menatapnya dengan lurus.
“Siapa yang bilang kalau kamu boleh pakai heels? Ini juga, rambutmu coklat. Mau sok jadi jagoan?” ucapnya memarahiku di depan ribuan orang.
Aku justru memandangnya dengan heran.
Kuperhatikan ia dari bawah hingga atas. Heels yang tingginya 7 cm, rok span ketat yang menampilkan lekuk tubuh, kemeja yang sama saja dengan rok span miliknya. Lalu rambut panjangnya yang bergelombang dengan warna coklat cerah. Bahkan ia memakai riasan yang cukup bold. Dan sekarang perempuan tak punya cermin ini bahkan memarahiku hanya karena aku adalah mahasiswa baru? Yang benar saja.
“Apa itu tertera di peraturan OSPEK?” tanyaku menantangnya.
Mendengar itu ia menggigit bibirnya untuk melampiaskan kekesalannya. Ia melirik kepada pria yang sedang memegang mic dan memartung. Pria itu hanya menatapnya tanpa kata.
Aku sama sekali tak takut padanya. Ia hanya sok senior disini. Padahal aku yakin umurku dengannya sama. Aku gapyear selama setahun karena satu dan lain hal.
“Apa kamu gak pernah belajar yang namanya peraturan tak tertulis?” jawabnya masih gentar.
Tentu saja ia masish bisa berdiri dengan begitu teguhnya. Ini adalah pertarungan sengit untuk sebuah harga diri.
“Tidak tahu. Karena peraturan yang harus ditepati adalah peraturan tertulis.”
Ia semakin marah. “Keluar! bergabung dengan para pembangkang lainnya di lapangan!” serunya.
Aku mengangguk. “Oke. Harusnya kakak bercermin terlebih dahulu sebelum membuat peraturan. Bukankah sebagai anggota BEM menjadi contoh bagi para mahasiswa baru dalam berpenampilan? Dan bagi saya, penampilan kakak sekarang sudah oke. Coba makeup kakak ganti lebih fresh sedikit. Make up seperti itu membuat kakak terlihat seperti berumur 30 tahun,” ucapku sembari keluar dari aula.
Dapat kudengar soraian dari angkatanku yang tampaknya setuju dengan apa yang kukatakan. Aku tersenyum puas.
Namun sneyumku langsung hilang melihat betapa teriknya pagi hari ini. Beberapa orang sudah berbaris sambil menundukkan kepala. Keringat mereka mengucur dengar.
Aku mengehela napas kasar dan berjalan ke barisan paling ujung. Aku menjatuhkan ranselku dan berdiri tegak menghadap matahari untuk menyambut hukumanku.
“Ssst namamu siapa?” tanya perempuan di sebelahku berbisik. Ia memandang lurus ke depan seolah-olah sedang tidak berbicara. Tampaknya ia sangat takut jika ketahuan mengobrol.
“Namaku Bumi, namamu siapa?” tanyaku sambil mengulurkan tangan.
Namun ia menatapku dengan panik dan langsung menutup uluran tanganku. “Kamu gila ya? Nanti kita ketahuan,” gerutunya.
Aku terkekeh. Ternyata ia benar-benar sepenakut itu.
“Ah, baiklah maaf.” Kali ini aku mengikuti permainan ketakutannya itu.
“Namamu Bumi?” tanyanya mengulang yang stelah kesebut sebelumnya.
Dapat kulihat kerutan di dahinya yang berkeringat itu. “Bumi saja?”
Aku menggeleng. “Archava Bumi Nusantara.”
“Wow itu adalah nama yang sangat unik,” komentarnya. Aku tersenyum tipis.
“Namamu?” aku balik bertanya.
Ia menoleh sekilas dengan senyum lebarnya. “Taruna.”
“Emm maaf sebelumnya tetapi itu seperti-“
“Nama laki-laki kan?” ia bisa menebaknya dengan akurat. “Dipanggil Runa. Kali ini baru girly. Aku juga nggak tahu kenapa ayah kasih nama aku seperti itu. Taruna Wijaya Putri. Nama basic yang umum.”
“Itu nama yang bagus,” ucapku tersenyum.
“Kamu dari jurusan apa?” tanyanya kemudian.
“Hukum.”
“Kita sama!” lagi-lagi Runa bersemangat.
Pemikiran dan emosinya benar-benar mudah tertebak. Pandangan mata miliknya tak pernah bohong. Bagaimana cara mata itu bersinar membuatnya terlihat sangat antusias.
“Kalau begitu tampaknya kita bisa menjadi teman baik mulai sekarang.”
Lagi-lagi ia mengangguk dengan senyumannya yang sangat khas. Ah, rasanya aku seperti melihat diriku yang dulu.
Kami kali ini benar-benar diam karena beberapa anggota BEM mulai berjaga.
“Bumi, apa kamu kenal kakak itu? dia daritadi lihatin kamu terus,” ucapnya dengan dahi mengkerut.
Aku mengikuti arah pandangnya dengan bingung. “Yang mana?”
“Kakak yang lagi nyender tiang bendera.”
Aku langsung mengarahkan pandanganku menuju arah yang disebutkan oleh Runa. Jantungku langsung berdegup dengan kencang. Tatapan mata kami bertemu. Saat itu kurasa tubuhku seperti terseret ombak.
“Bumi,” panggil Runa membuatku langsung tersadar dan menanggalkan pandangan kami. “kamu kenal?” tanyanya.
Aku menggeleng.
“Hei yang disana! Kalian berani-beraninya mengobrol! Hukuman kalian ditambah satu jam!” kami ketahuan. Dan sialnya oleh orang yang sama yang sudah membuatku menjalani hukuman.
Aku hendak protes, namun Runa menahanku. Ia menunduk dalam dengan takut. Baiklah, karena aku tak ingin ikut membahayakan Runa, aku memilih untuk diam.
Semuanya sedang beristirahat. Namun kami tetap dipajang di tengah terik. Benar-benar mengesalkan.
Hingga satu jam berlalu akhirnya kami terbebas dari hukuman. Runa langsung terduduk. Kakinya bergetar hebat. “Capek,” ucapnya dengan suara bergetar.
Aku mengangguk-angguk dan duduk di sebelahnya sembari meluruskan kaki. Untung saja sejak beberapa saat yang lalu langit menjadi mendung sehingga tidak seberat sebelumnya. Runa sudah mengeluarkan air mineral dari dalam tasnya dan langsung meneguknya. Aku juga meraih ransel milikku.
Sialnya aku tak bisa menemukan air mineral yang kubawa dari asrama. Ini benar-benar gila. Apakah aku meninggalkannya? Oh ya ampun.
Aku mencoba melihat sekeliling. Sayangnya kantin cukup jauh dari sini dan aku sudah tak punya tenaga untuk berjalan lebih jauh.
“Kamu gak minum?” tanya Runa bingung.
“Aku lupa bawa air,” jawabku.
Runa terlihat kaget. “Emm aku tahu kita baru kenal. Kalau kamu mau kamu bisa habisin punyaku,” ucapnya.
Sebenarnya aku sama sekali tidak masalah. Akan tetapi aku yakin bahwa Runa masih kehausan.
Pipiku terasa sangat dingin. Aku menengok dan melihat sekaleng minuman dingin yang ditempelkan di pipiku. “Nih, minum. Nanti dehidrasi.” Itu adalah suara yang amat sangat kukenal. Aku mengambil minuman itu dan terlihatnya wajahnya yang menatapku dengan tatapan yang tak terbaca.
Angkasa Biru.
Name tag yang dikalungkan di lehernya itu menjadi penanda bahwa ia adalah anggota BEM. Nama yang juga sangat kukenal diluar kepala.
“Gak usah, aku-“
“Bumi, jangan keras kepala,” ucapnya dengan rendah. “ini buat temenmu juga.”
Ia meletakkan kantung kresek berwarna putih. Di dalamnya ada beberapa kaleng minuman, satu air mineral, dan beberapa jenis roti. Tanpa menungguku, ia langsung berjalan menjauh begitu saja seolah-olah tak terjadi apapun dan membiarkanku mematung.
“Itu siapa? Kakak yang tadi kan? Kamu kenal?” tanya Runa dengan begitu polosnya.
Suaraku tercekat. “Dia mantanku.” Akhirnya kalimat itu keluar dengan seiring memori yang pernah kami rangkai bersama-sama kala itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Askara
semangat updatenyaa 🤩
2023-04-30
0
Askara
Awalnya keren banget,
aku bakal baca bertahap kak 💕💕🤩
2023-04-30
0
Liu Zhi
tak berkaca pada diri sendiri, perlu kah cewek itu dibelikan cermin?
2023-04-20
0