BAGIAN 1 – Awal Kisah

“Bumi, ayah gak bisa jemput kamu. Tunggu abang sebentar ya.”

Aku hanya menghela napas setelah mendengar informasi itu. mau tak mau aku hanya bisa menyetujui semua yang ibu katakan dalam sambungan telepon. Suara hujan semakin nyaring saja membuatku menyenderkan bahu di bangku kayu ini. Jendela besar di hadapanku benar-benar membuat moodku tidak karuan.

“Bumi belum dijemput?” tanya kak Ares, tentor kimiaku.

Aku menoleh dan menggeleng. “Belum kak. Nunggu abang,” jawabku memberikan informasi.

“Oh ya sudah. Tunggu disini aja. Kakak ngajar dulu ya,” pamitnya kemudian memasuki ruang kelas kembali meninggalkan aku sendirian.

Ini hari Sabtu. Hari menuju libur yang harusnya bisa kulalui dengan sangat menyenangkan. Akan tetapi sejak kecil, ayah dan ibu selalu bersemangat mengikutkanku dalam kegiatan kursus di semua mata pelajaran. Aku tahu bahwa harusnya aku bersyukur karena ada jutaan anak yang menginginkan hal ini tetapi terkendala biaya. Oh ayolah, aku sudah muak dengan semua kalimat itu.

Aku hanya lelah. Sesekali aku ingin bermain dengan teman-temanku. Tetapi karena lingkunganku ini, teman-teman yang kupunya hanyalah manusia-manusia ambis yang tak mementingkan untuk bersenang-senang. Aku berharap teman-teman yang kutemui di SMA jauh lebih menyenangkan. Sejauh ini belum terlalu terlihat karena baru satu bulan sejak dimulainya masa putih abu-abu.

Abang akhirnya datang. Namun si menyebalkan itu ternyata menggunakan motor tinggi kesayangannya yang membuat dudukku tak nyaman. Ia bahkan sama sekali tak berniat untuk turun.

Aku berlari kecil menghampirinya. “Abang bawa jas hujan gak?” tanyaku.

Kulihat ia yang kebasahan dengan jaket kulitnya yang antiair itu. “Enggak. Cepet naik,” gerutunya.

Aku menaiki motor dengan kesulitan dan kakak kandungku ini sama sekali tak berniat membantu. Seragam pramuka milikku langsung basah kuyup menyambut hujan.

Tanpa aba-aba, abang langsung melajukan motornya membuatku nyaris terjatuh. “Ih, yang bener bisa gak sih? Adek laporin ayah ya,” ancamku. Namun ia seperti tuli.

Abang selalu menaiki motor dengan ugal-ugalan. Pria yang baru saja menjadi mahasiswa itu berpikiran bahwa hal seperti ini adalah keren.

“Abang, pelan-pelan!” omelku saat ia melanggar lampu lalu lintas. Pukulan demi pukulan yang kulayangkan di bahunya seperti tak berfungsi apapun.

“Berisik,” balasnya.

Aku akhirnya diam karena sudah benar-benar lelah. Di persimpangan jalan, ada truk yang tiba-tiba melintas dengan kecepatan tinggi menuju ke arah kami. Itu adalah kali pertama bagiku melihat kengerian seperti itu.

“Abang, awas!” seruku.

Namun abang tak siap untuk membelokkan motornya. Aku tidak terlalu ingat apa yang terjadi, hanya saja badanku terpental jauh. Kepalaku sakit terkena aspal. Suara tabrakan yang keras dan keributan dari orang-orang sekitar. Sedangkan pengelihatanku semakin memburam.

Saat terbangun, aku berada di bangsal rumah sakit. Dapat kulihat ayah yang sedang berbincang dengan dokter. “Ayah,” panggilku dengan susah payah. Tenggorokaanku sangat kering.

Ayah langsung menoleh dan memelukku. “Kamu gak apa-apa? Apa yang sakit. Kasih tau ayah,” ucapnya dengan beruntun. Aku menggeleng. Tidak ada yang sakit. Hanya saja kakiku.

Pikiranku sudah terlalu berlebihan. Apakah aku diamputasi? Buru-buru aku membuka selimut dan menemukan kakiku baik-baik saja. Hanya ada memar lebar yang keunguan.

“Kenapa dek? Kakinya sakit? Dokter bilang itu kena benturan, butuh waktu buat sembuh,” ucap ayah yang diiringi anggukan dari dokter yang kemudian memeriksaku.

Syukurlah bahwa dokter mengatakan aku baik-baik saja meskipun harus menggunakan tongkat untuk berjalan sementara waktu. Dokter juga mengatakan bahwa aku tidak boleh melakukan kegiatan fisik yang melelahkan. Itu artinya aku harus mengucapkan selamat tinggal untuk pertandingan basketku. Ini semua karena abang.

Aku menangis setelah dokter berpamitan untuk keluar. ayah semakin panik melihatku begini. “Aku mau sembuh ayah. Aku sudah latihan dari jauh-jauh hari,” ucapku mengeluarkan semua yang ada dipikiranku.

Ayah hanya mengelus-ngelus bahuku. “Nanti kalau sudah sembuh ya,” ucap ayah menenangkan.

“Ini semua karena abang!” seruku menyalahkan. Aku benar-benar kesal dengannya. Kami tidak terlalu dekat. Ia selalu ketus padaku bahkan saat aku mencoba berbuat baik. lihatlah, ini semua salahnya.

“Adek gak mau lihat keadaan abang?” tanya ayah tiba-tiba.

Aku menggeleng dengan kuat membuat ayah menghela napas dalam. “Kok gitu. Adek gak penasaran?”

Aku terdiam dan mencoba berpikir. Saat kejadian aku tidak melihat abang karena badanku yang terpental terlebih dahulu. Akhirnya aku mengangguk.

Ayah membantuku turun dari bangsal dan berjalan menapaki Lorong dengan aroma yang khas. Kami sampai di ruang ICU. Dapat kulihat ibu yang sedang menangis dan ditenangkan oleh nenek. Di jendela, dapat kulihat abang yang terbaring dengan begritu lemah. Ada banyak kabel yang dihubungkan ke tubuhnya. Perban di berbagai bagian tubuhnya membuatku sadar bahwa kondisi abang benar-benar parah.

“Abang-“ ucapku serak. Aku merasa bersalah telah menyalahkannya.

Mendengar suaraku ibu mengangkat kepalanya. “Bumi, anakku,” ucapnya dan langsung memberikan pelukan hangatnya itu. Ibu meraung dalam tangisannya. “syukurlah kamu baik-baik saja. Syukurlah tidak seperti abangmu.”

Aku hanya bergeming.

Begitulah awal dari rasa bersalahku. Aku pulang bersama nenek. Sedangkan ayah menemani ibu menjaga abang. Sekitar seminggu aku belum bisa kembali menuju sekolah karena kesulitan berjalan. Selama itu pula abang belum juga sadar. Ia sedang dalam masa koma yang entah sampai kapan.

Hari ini akhirnya aku bisa kembali ke sekolah tanpa tongkatku. Aku sudah bisa berjalan walaupun sedikit tertatih. “Sudah siap?” tanya ayah yang melihatku sudah rapi.

Aku mengangguk.

Kami memasuki mobil sedan tua milik ayah. Kulihat ayah yang semakin kurus. Kantung matanya terlihat dengan jelas. Ayah dan ibu pasti sangat lelah. “Kalau kakinya sakit, telfon ayah. Gak usah dipaksain,” ucap ayah kembali menasehati.

“Iya ayah,” jawabku.

Kami akhirnya sampai di sekolah. Ayah bahkan mengantarkan hingga lapangan. “Sampai sini saja. Adek bisa sendiri,” ucapku saat pandangan banyak orang mengarah kepadaku.

Ayah tampak ragu namun akhirnya mengangguk. “Oke, inget pesan ayah.”

Aku mengangguk. Setelah melihat ayah berjalan menjauh, aku langsung menyusuri koridor dan menuju kelasku. Sepertinya aku terlambat. Aku harusnya berangkat lebih awal untuk sesi kelas tambahan khusus satu jam lebih awal dari jam pelajaran.

“Bumi!” aku yang sedang kesulitan menoleh. Di kelas X IPS 1 kulihat sosok pria yang tersenyum lebar ke arahku. “Kenapa kakimu?” tanyanya.

Aku hanya menggeleng.

“Ini temenku mau kenalan sama kamu,” ucapnya lagi membuatku kesal. Aku tak berniat menoleh lagi ke arahnya. Apakah ia tidak tahu yang namanya tata krama atau semacamnya? Ia tidak bisa lihat aku yang sedang kesulitan berjalan ini? Dan bisa-bisanya ia malah melakukan sesi perkenalan untuk temannya.

Yah, dia memang pria yang menyebalkan. Padahal ia juga anak IPA, bisa-bisanya di jam pelajaran justru bermain di area IPS.

Namanya adalah Bima. Teman satu kelompok saat MOS. Dan ia adalah pria paling menyebalkan di dunia.

Terpopuler

Comments

Liu Zhi

Liu Zhi

nah nah kan kecelakaan

2023-04-20

0

lihat semua
Episodes
1 Prolog
2 BAGIAN 1 – Awal Kisah
3 BAGIAN 2 – Namanya Angkasa Biru
4 BAGIAN 3 - Pertemuan
5 BAGIAN 4 – Kecanggungan Biru
6 BAGIAN 5 – Pendekatan Biru
7 BAGIAN 6 – Bima yang Kembali Mengesalkan
8 BAGIAN 7 – Mempertanyakan Resah
9 BAGIAN 8 – Hari Jadian
10 BAGIAN 9 – Teman Bersama
11 BAGIAN 10 – Kupu-kupu Dalam Perut
12 BAGIAN 11 – Kembalinya Laut
13 BAGIAN 12 – Khawatir
14 BAGIAN 13 – Perdebatan Antara Bima dan Bumi
15 BAGIAN 14 – Permintaan Maaf
16 BAGIAN 15 – Kesalahan Fatal
17 BAGIAN 16 – Alasan yang Biru Buat
18 BAGIAN 17 – Teman Menyebalkan
19 BAGIAN 18 – Biru Baik-Baik Saja?
20 BAGIAN 19 – Gangguan dari Bima
21 BAGIAN 20 – Gangguan dari Bima (2)
22 BAGIAN 21 – Bima, Ada Apa?
23 BAGIAN 22 – Laut Menjaga Bumi
24 BAGIAN 23 – Sanksi dari Sekolah
25 BAGIAN 24 – Mempertanyakan Rasa
26 BAGIAN 25 – Hadiah Ulang Tahun
27 BAGIAN 26 – Sisi Berbeda
28 BAGIAN 27 – Kesalahpahaman
29 BAGIAN 28 – Permintaan Maaf
30 BAGIAN 29 – Biru, Dunia, dan Seisinya
31 BAGIAN 30 - Teguran dari Wali Kelas
32 BAGIAN 31 – Tanpa Bertemu
33 BAGIAN 32 – Satu Kelas
34 BAGIAN 33 - Terkuaknya Semua Hal
35 BAGIAN 34 - Pengakuan Pahit
36 BAGIAN 35 - Kami Selesai
37 BAGIAN 36 – Tanpa Biru
38 BAGIAN 37 - Ikut Campur
39 BAGIAN 38 – Saat Waktu Terus Berlalu
40 BAGIAN 39 - Pengakuan
41 BAGIAN 40 – Bentuk Penyadaran
42 BAGIAN 41 - Patah Harus Tumbuh
43 BAGIAN 42 – Bukan Terpaksa
44 BAGIAN 43 – Patah Hati Lagi
45 BAGIAN 44 – Study Tour
46 BAGIAN 45 – Selamat Tinggal
47 Epilog
Episodes

Updated 47 Episodes

1
Prolog
2
BAGIAN 1 – Awal Kisah
3
BAGIAN 2 – Namanya Angkasa Biru
4
BAGIAN 3 - Pertemuan
5
BAGIAN 4 – Kecanggungan Biru
6
BAGIAN 5 – Pendekatan Biru
7
BAGIAN 6 – Bima yang Kembali Mengesalkan
8
BAGIAN 7 – Mempertanyakan Resah
9
BAGIAN 8 – Hari Jadian
10
BAGIAN 9 – Teman Bersama
11
BAGIAN 10 – Kupu-kupu Dalam Perut
12
BAGIAN 11 – Kembalinya Laut
13
BAGIAN 12 – Khawatir
14
BAGIAN 13 – Perdebatan Antara Bima dan Bumi
15
BAGIAN 14 – Permintaan Maaf
16
BAGIAN 15 – Kesalahan Fatal
17
BAGIAN 16 – Alasan yang Biru Buat
18
BAGIAN 17 – Teman Menyebalkan
19
BAGIAN 18 – Biru Baik-Baik Saja?
20
BAGIAN 19 – Gangguan dari Bima
21
BAGIAN 20 – Gangguan dari Bima (2)
22
BAGIAN 21 – Bima, Ada Apa?
23
BAGIAN 22 – Laut Menjaga Bumi
24
BAGIAN 23 – Sanksi dari Sekolah
25
BAGIAN 24 – Mempertanyakan Rasa
26
BAGIAN 25 – Hadiah Ulang Tahun
27
BAGIAN 26 – Sisi Berbeda
28
BAGIAN 27 – Kesalahpahaman
29
BAGIAN 28 – Permintaan Maaf
30
BAGIAN 29 – Biru, Dunia, dan Seisinya
31
BAGIAN 30 - Teguran dari Wali Kelas
32
BAGIAN 31 – Tanpa Bertemu
33
BAGIAN 32 – Satu Kelas
34
BAGIAN 33 - Terkuaknya Semua Hal
35
BAGIAN 34 - Pengakuan Pahit
36
BAGIAN 35 - Kami Selesai
37
BAGIAN 36 – Tanpa Biru
38
BAGIAN 37 - Ikut Campur
39
BAGIAN 38 – Saat Waktu Terus Berlalu
40
BAGIAN 39 - Pengakuan
41
BAGIAN 40 – Bentuk Penyadaran
42
BAGIAN 41 - Patah Harus Tumbuh
43
BAGIAN 42 – Bukan Terpaksa
44
BAGIAN 43 – Patah Hati Lagi
45
BAGIAN 44 – Study Tour
46
BAGIAN 45 – Selamat Tinggal
47
Epilog

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!