“Bumi, ayah gak bisa jemput kamu. Tunggu abang sebentar ya.”
Aku hanya menghela napas setelah mendengar informasi itu. mau tak mau aku hanya bisa menyetujui semua yang ibu katakan dalam sambungan telepon. Suara hujan semakin nyaring saja membuatku menyenderkan bahu di bangku kayu ini. Jendela besar di hadapanku benar-benar membuat moodku tidak karuan.
“Bumi belum dijemput?” tanya kak Ares, tentor kimiaku.
Aku menoleh dan menggeleng. “Belum kak. Nunggu abang,” jawabku memberikan informasi.
“Oh ya sudah. Tunggu disini aja. Kakak ngajar dulu ya,” pamitnya kemudian memasuki ruang kelas kembali meninggalkan aku sendirian.
Ini hari Sabtu. Hari menuju libur yang harusnya bisa kulalui dengan sangat menyenangkan. Akan tetapi sejak kecil, ayah dan ibu selalu bersemangat mengikutkanku dalam kegiatan kursus di semua mata pelajaran. Aku tahu bahwa harusnya aku bersyukur karena ada jutaan anak yang menginginkan hal ini tetapi terkendala biaya. Oh ayolah, aku sudah muak dengan semua kalimat itu.
Aku hanya lelah. Sesekali aku ingin bermain dengan teman-temanku. Tetapi karena lingkunganku ini, teman-teman yang kupunya hanyalah manusia-manusia ambis yang tak mementingkan untuk bersenang-senang. Aku berharap teman-teman yang kutemui di SMA jauh lebih menyenangkan. Sejauh ini belum terlalu terlihat karena baru satu bulan sejak dimulainya masa putih abu-abu.
Abang akhirnya datang. Namun si menyebalkan itu ternyata menggunakan motor tinggi kesayangannya yang membuat dudukku tak nyaman. Ia bahkan sama sekali tak berniat untuk turun.
Aku berlari kecil menghampirinya. “Abang bawa jas hujan gak?” tanyaku.
Kulihat ia yang kebasahan dengan jaket kulitnya yang antiair itu. “Enggak. Cepet naik,” gerutunya.
Aku menaiki motor dengan kesulitan dan kakak kandungku ini sama sekali tak berniat membantu. Seragam pramuka milikku langsung basah kuyup menyambut hujan.
Tanpa aba-aba, abang langsung melajukan motornya membuatku nyaris terjatuh. “Ih, yang bener bisa gak sih? Adek laporin ayah ya,” ancamku. Namun ia seperti tuli.
Abang selalu menaiki motor dengan ugal-ugalan. Pria yang baru saja menjadi mahasiswa itu berpikiran bahwa hal seperti ini adalah keren.
“Abang, pelan-pelan!” omelku saat ia melanggar lampu lalu lintas. Pukulan demi pukulan yang kulayangkan di bahunya seperti tak berfungsi apapun.
“Berisik,” balasnya.
Aku akhirnya diam karena sudah benar-benar lelah. Di persimpangan jalan, ada truk yang tiba-tiba melintas dengan kecepatan tinggi menuju ke arah kami. Itu adalah kali pertama bagiku melihat kengerian seperti itu.
“Abang, awas!” seruku.
Namun abang tak siap untuk membelokkan motornya. Aku tidak terlalu ingat apa yang terjadi, hanya saja badanku terpental jauh. Kepalaku sakit terkena aspal. Suara tabrakan yang keras dan keributan dari orang-orang sekitar. Sedangkan pengelihatanku semakin memburam.
Saat terbangun, aku berada di bangsal rumah sakit. Dapat kulihat ayah yang sedang berbincang dengan dokter. “Ayah,” panggilku dengan susah payah. Tenggorokaanku sangat kering.
Ayah langsung menoleh dan memelukku. “Kamu gak apa-apa? Apa yang sakit. Kasih tau ayah,” ucapnya dengan beruntun. Aku menggeleng. Tidak ada yang sakit. Hanya saja kakiku.
Pikiranku sudah terlalu berlebihan. Apakah aku diamputasi? Buru-buru aku membuka selimut dan menemukan kakiku baik-baik saja. Hanya ada memar lebar yang keunguan.
“Kenapa dek? Kakinya sakit? Dokter bilang itu kena benturan, butuh waktu buat sembuh,” ucap ayah yang diiringi anggukan dari dokter yang kemudian memeriksaku.
Syukurlah bahwa dokter mengatakan aku baik-baik saja meskipun harus menggunakan tongkat untuk berjalan sementara waktu. Dokter juga mengatakan bahwa aku tidak boleh melakukan kegiatan fisik yang melelahkan. Itu artinya aku harus mengucapkan selamat tinggal untuk pertandingan basketku. Ini semua karena abang.
Aku menangis setelah dokter berpamitan untuk keluar. ayah semakin panik melihatku begini. “Aku mau sembuh ayah. Aku sudah latihan dari jauh-jauh hari,” ucapku mengeluarkan semua yang ada dipikiranku.
Ayah hanya mengelus-ngelus bahuku. “Nanti kalau sudah sembuh ya,” ucap ayah menenangkan.
“Ini semua karena abang!” seruku menyalahkan. Aku benar-benar kesal dengannya. Kami tidak terlalu dekat. Ia selalu ketus padaku bahkan saat aku mencoba berbuat baik. lihatlah, ini semua salahnya.
“Adek gak mau lihat keadaan abang?” tanya ayah tiba-tiba.
Aku menggeleng dengan kuat membuat ayah menghela napas dalam. “Kok gitu. Adek gak penasaran?”
Aku terdiam dan mencoba berpikir. Saat kejadian aku tidak melihat abang karena badanku yang terpental terlebih dahulu. Akhirnya aku mengangguk.
Ayah membantuku turun dari bangsal dan berjalan menapaki Lorong dengan aroma yang khas. Kami sampai di ruang ICU. Dapat kulihat ibu yang sedang menangis dan ditenangkan oleh nenek. Di jendela, dapat kulihat abang yang terbaring dengan begritu lemah. Ada banyak kabel yang dihubungkan ke tubuhnya. Perban di berbagai bagian tubuhnya membuatku sadar bahwa kondisi abang benar-benar parah.
“Abang-“ ucapku serak. Aku merasa bersalah telah menyalahkannya.
Mendengar suaraku ibu mengangkat kepalanya. “Bumi, anakku,” ucapnya dan langsung memberikan pelukan hangatnya itu. Ibu meraung dalam tangisannya. “syukurlah kamu baik-baik saja. Syukurlah tidak seperti abangmu.”
Aku hanya bergeming.
Begitulah awal dari rasa bersalahku. Aku pulang bersama nenek. Sedangkan ayah menemani ibu menjaga abang. Sekitar seminggu aku belum bisa kembali menuju sekolah karena kesulitan berjalan. Selama itu pula abang belum juga sadar. Ia sedang dalam masa koma yang entah sampai kapan.
Hari ini akhirnya aku bisa kembali ke sekolah tanpa tongkatku. Aku sudah bisa berjalan walaupun sedikit tertatih. “Sudah siap?” tanya ayah yang melihatku sudah rapi.
Aku mengangguk.
Kami memasuki mobil sedan tua milik ayah. Kulihat ayah yang semakin kurus. Kantung matanya terlihat dengan jelas. Ayah dan ibu pasti sangat lelah. “Kalau kakinya sakit, telfon ayah. Gak usah dipaksain,” ucap ayah kembali menasehati.
“Iya ayah,” jawabku.
Kami akhirnya sampai di sekolah. Ayah bahkan mengantarkan hingga lapangan. “Sampai sini saja. Adek bisa sendiri,” ucapku saat pandangan banyak orang mengarah kepadaku.
Ayah tampak ragu namun akhirnya mengangguk. “Oke, inget pesan ayah.”
Aku mengangguk. Setelah melihat ayah berjalan menjauh, aku langsung menyusuri koridor dan menuju kelasku. Sepertinya aku terlambat. Aku harusnya berangkat lebih awal untuk sesi kelas tambahan khusus satu jam lebih awal dari jam pelajaran.
“Bumi!” aku yang sedang kesulitan menoleh. Di kelas X IPS 1 kulihat sosok pria yang tersenyum lebar ke arahku. “Kenapa kakimu?” tanyanya.
Aku hanya menggeleng.
“Ini temenku mau kenalan sama kamu,” ucapnya lagi membuatku kesal. Aku tak berniat menoleh lagi ke arahnya. Apakah ia tidak tahu yang namanya tata krama atau semacamnya? Ia tidak bisa lihat aku yang sedang kesulitan berjalan ini? Dan bisa-bisanya ia malah melakukan sesi perkenalan untuk temannya.
Yah, dia memang pria yang menyebalkan. Padahal ia juga anak IPA, bisa-bisanya di jam pelajaran justru bermain di area IPS.
Namanya adalah Bima. Teman satu kelompok saat MOS. Dan ia adalah pria paling menyebalkan di dunia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Liu Zhi
nah nah kan kecelakaan
2023-04-20
0