Sejak hari itu, entah kenapa selalu ada pertemuan yang tak sengaja antara aku dan Bima. Lebih mengesalkannya lagi, pria itu selalu menyapanya dengan sumringah dan lambaian tangan yang khas.
Seperti saat di kantin. “Bumi!” serunya.
Di koridor.
Lapangan upacara.
Bahkan halte tempatku menunggu ayah menjemput.
“Bu-"
“Berisik!” gerutuku kepadanya. Ia hanya cengengesan dan menghampiriku. Oh ayolah bahkan di perpustakaan juga? Ini adalah tempat dimana semua orang mendapatkan kedamaian.
Dari sudut mata dapat kulihat pria itu yang menggeser bangku hingga duduk di sebelahku. Wajahnya sok serius dengan buku paket yang terbuka tepat di depannya. “Sst, Bumi,” panggilnya lagi.
Aku menoleh sembari memasang wajah yang kesal.
“Temenku mau kenalan,” ucapnya lagi.
Aku sudah muak dengan itu. “Terus? Aku peduli gitu?” tanyaku sinis. Aku menutup novel yang kubaca dan buru-buru keluar dari perpustakaan untuk meninggalkannya.
Untungnya ia tak mengikutiku.
Di malam harinya aku kembali sendirian. Sebenarnya ada rasa kesepian yang begitu besar. Sempat aku merasa bahwa kedua orangtuaku hanya mencurahkan perhatian sepenuhnya pada abang. Padahal dirinya tetap manusia biasa di masa remaja yang juga butuh curahan perhatihan.
Aku melihat jam weker yang menunjukkan pukul 10 malam. Mataku sama sekali tidak mengantuk setelah belajar matematika untuk ulangan harian besok. Kuputuskan untuk meraih laptop tuaku yang warnanya sudah memudar.
Aku memilih untuk berselancar di media sosial focobook yang sudah lama tak kubuka. Di beranda dapat langsung kulihat postingan teman-teman semasa SMPku. Sekarang aku rindu mereka. Masa SMA yang kukira menyenangkan ternyata tidak sesuai dugaan. Aku lumayan dikucilkan di kelas hanya karena pertanyaan yang kuajukan di beberapa pelajaran untuk guru. Mereka menganggapku sok pintar kemudian mulai memberikan jarak.
Padahal aku sama sekali tidak berpikir seperti itu. aku bertanya karena aku ingin tahu lebih lanjut. Itu saja.
Aku menerima semua permintaan pertemanan yang berbaris di akunku.
Ting.
Suara notifikasi membuatku cukup terheran. Tidak biasanya ada yang mengirimkanku pesan. Aku mencoba membuka pesan yang masuk dari akun bersama Angkasa Biru. Nama yang cukup unik.
“Hai Bumi, apa kamu kenal Bima?” tanyanya dengan tak terduga.
Aku mencoba menekan profilnya dan tak melihat satupun foto pribadinya. Aku tidak mengenal orang ini dan ia bisa-bisanya langsung mengajukan pertanyaan yang menurutku tidak penting.
Karena sedang dilanda kebosanan, aku memutuskan untuk menanggapi percakapan aneh itu.
“Kenal,” jawabku.
“Kamu adik Laut ya.”
Membacanya saja hatiku sesak. Aku mencoba memastikan bahwa orang itu menyebut tentang abang. Padahal aku dan abang tidak terlalu akrab dan teman-temanku pun banyak yang tak tahu bahwa aku bukanlah anak tunggal.
“Aku tahu dari namamu. Nusantara. Nama yang khas untuk tag keluarga,” lanjutnya.
Itu cukup masuk akal.
“Kamu siapa?” serangku. Rasa penasaranku terhadapnya kini meningkat. Pertama ia kenal Bima, kedua ia mengenal abangku.
“Aku Biru. Bukannya sudah jelas ya di nama akunku.”
Hahh mulai lagi satu orang menyebalkan.
“Ok.” Jawabku singkat.
Ia mengirim emoticon tertawa atas jawabanku itu. “Lain kali kalau orang ngajak kenalan jangan dicuekin terus ya. Good night.”
Angkasa Biru is offline.
Pikiranku langsung berkelana. Kalau tebakanku benar, ia pasti adalah orang yang ingin dikenalkan Bima kepadaku. Itu cukup masuk akal karena yang ia sebut pertama kali memang Bima.
Esoknya aku dengan niat yang menggebu-gebu mendatangi kelas Bima. Namun pria itu belum datang. Menyebalkan sekali.
“Oh jadi sekarang selain caper sama guru, caper sama anak kelas sebelah juga,” sindir Tania, teman sekelasku. Beberapa teman yang sedang bersamanya juga ikut tertawa seakan itu adalah hal yang paling lucu di dunia.
Aku hanya menunduk dan mengencangkan peganganku pada totebag putih yang kubawa. Sesuai dugaanku, jika tak menanggapinya mereka akan pergi dengan sendirinya. Namun tetap saja, aku merasa sedih.
“Gak usah di dengerin.”
Aku menoleh dan menemukan perempuan dengan rambut twintailnya. Ia duduk di sebelahku tanpa basa-basi. “Mereka emang gitu. Cuekin aja. Kamu anak IPA 1 kan?” tanyanya kini melabuhkan sepenuhnya tatapannya kepadaku.
Aku mengangguk dengan canggung. Ia mengulurkan tangannya tepat di hadapanku. “Halo, namaku Echa. Anak IPA 3. Kamu?”
Rupanya perempuan ramah ini merupakan teman sekelas Bima. Sungguh takdir yang luarbiasa.
“Bumi,” jawabku pelan.
Tatapan mata Echa berbinar. “Bumi? Earth?” ulangnya.
Aku terkekeh melihat keantusiannya itu. “Iya, earth.”
“Itu nama yang bener-bener unik. Aku baru pertama kali denger nama seunik itu. Kalau nama panjang?” kali ini tanyanya.
Baru saja hendak menjawab. Seseorang sudah mengambil alihnya.
“Archava Bumi Nusantara.”
Aku menoleh dan menemukan pria yang kutunggu akhirnya datang juga.
“Bima, aku kan nanya sama Bumi.”
“Ya aku bantu jawab,” jawab Bima dengan santai. Echa mengerucutkan bibirnya karena merasa kesal. Aku hanya terkekeh melihat mereka berdua.
“Kamu nunggu aku kan?” tanya Bima langsung, Tebakan yang akurat.
Aku mengangguk-anggukkan kepala.
“Yok, sekalian ke kantin aku belum sarapan,” ucapnya justru memberikan perintah. Oke, sabar Bumi. Kali ini aku membutuhkan informasi darinya.
“Oke.” Aku beranjak dari dudukku dan menoleh pada Echa. “Echa, nanti kita ngobrol-ngobrol lagi ya,” ucapku sekaligus berpamitan kepadanya.
Perempuan itu mengangguk.
Kini aku dan Bima berjalan berdampingan menuju kantin. Cukup sulit bagiku mengimbangi kakinya yang jenjang itu.
“Jadi mau ngomong apa?” tanyanya setelah kami menemukan satu meja kosong.
Aku masih berpikir dan mencoba menimbang-nimbang mana yang harus ku bicarakan dengannya dan mana yang tidak.
“Angkasa Biru,” aku melirik ekspresi wajahnya. “itu temenmu kan?”
Bima tampak biasa saja saat aku menyebut nama itu. Ia mengangguk dengan enteng sembari menyantap batagor di hadapannya. “Iya, dia temen yang mau kenalan sama kamu,” jawabnya.
“Terus kamu ngasih nama focobookku?” tebakku.
Ia menggeleng. “Aku aja gak tahu,” jawabnya. Tampaknya ia memang jujur karena kami tidak berteman disana.
“Terus dia tahu dari mana?”
Bima mengangat bahu. “Kamu meragukan cowok yang pengen PDKT?"
“Hah?”
“Lupain.”
Aku membutuhkan pemikiran ekstra untuk itu. “Dia temenmu dari kapan?” tanyaku mencoba menggali lebih lanjut.
“Baru kenal pas SMA kok. Aku sama dia sama-sama basket,” jawabnya.
Itu masuk akal.
“Terus kenapa dia tiba-tiba pengen kenalan sama aku?”
Makanan miliknya sudah tandas. Ia menjauhkan mangkok kosong lalu menatapku lurus. “Ya mana ku tahu.”
Hah, sebagian besar jawabannya tidak berguna.
“Kamu tertarik juga sama dia? Bagus. Nanti kalau udah jadian, jangan lupa komisi,” ucapnya mengejekku.
Aku melempar gulungan tisu ke arahnya yang disambut dengan tawanya yang menguar bebas. Oh ya ampun kenapa bisa-bisanya aku terjebak dengan orang ini.
“Udah? Gak ada yang bikin penasaran lagi? Udah mau bel ini.”
Aku berpikir keras.
“Kenapa dia bisa kenal Laut?”
Akhirnya pertanyaan itu lolos juga dari lidahku yang kelu.
“Hah? Emang ada manusia yang gak tahu laut? Aku aja dari bayi-“
Oke. Kami beda pemikiran. Dari percakapan anehnya itu aku sudah tahu bahwa ia tidak mengenal abangku. Hanya Angkasa Biru saja yang mengenalnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments