Sepulang sekolah yang seperti biasanya, aku langsung merebahkan diri dan menatap langit-langit kamar yang berwarna putih pucat. Notifikasi pada ponselku berdering secara beruntun membuatku burur-buru mengeluarkan ponselku untuk melihatnya.
Sesuai dugaan. Angkasa Biru.
“Halo Bumi. Sudah sampai di rumah? Gimana hari ini?”
Aku bergeming membacanya. Bukannya langsung menjawab, aku justru menutup aplikasi itu dan memutuskan untuk langsung menelpon Bima. Kami baru saja bertukar nomor telepon pagi tadi.
“Apa?” serang Bima beberapa detik setelah ia mengangkat teleponku.
“Itu temenmu chat aku lagi,” ucapku membeberkan semuanya.
Ada helaan panjang disana. “Terus?” tanyanya.
Aku terdiam. Aku juga tidak tahu. Ini benar-benar kali pertamaku menerima chat seperti itu dari orang yang belum kukenal. Rasanya aneh.
“Ya aku harus gimana?” tanyaku jujur.
“Bales aja,” jawabnya dengan enteng.
Aku berdecak. “Serius kek.”
“Ya serius. Dia suka sama kamu. Mau coba deket, kenal sama kamu. Kalau kamu ngerasa gak risih ya bales aja. Kamu gak bakal nyesel kok,” paparnya.
Suka ya? Kalau begitu ini juga kali pertamaku disukai seseorang dengan terang-terangan begini. “Kenapa dia suka aku?” tanyaku pelan.
Ada hening yang beberapa saat. Tampaknya Bima berpikir keras untuk jawaban yang akan dia berikan.
“Iya juga ya. Kenapa dia suka sama kamu? Padahal masih banyak cewek yang lebih cantik,” ucap Bima sembari terkekeh.
“Sialan!” seruku dengan refleks yang membuatnya semakin terbahak.
“Bercanda. Ternyata anak ambis kayak kamu bisa ngumpat juga ya.”
Aku memutar bola mataku jengah. “Apasi.”
“Udah kan? Matiin ya, aku ada di bengkel nih,” keluhnya. Kali ini aku merasa bersalah telah meminta waktunya.
“Oke deh. Makasih Bim.” Aku mematikan sambungan telepon itu dan kembali pada room chat Angkasa Biru sambil berpikir. Apakah aku risih? Aku tidak merasa begitu. Ada rasa penasaran yang besar dalam diriku kepada nama itu. aku penasaran seperti apa dia, bagaimana sifatnya.
Final.
Aku membalas pesannya. Itu menjadi pembuka bagi kami untuk lebih akrab satu sama lain. Jika di dalam chat, aku bisa menjadi seseroang yang ramah dan banyak bicara dengan menyenangkan. Aku bisa percaya diri dengan itu.
Sekitar satu minggu kami terlibat dalam percakapan yang menyenangkan. Ternyata cukup nyambung meskipun dunia kami benar-benar berbeda.
“Terus gimana bisa kamu kenal abangku?” tanyaku di malam itu pada kolom chat seperti biasanya.
“Ku jelasin semuanya tapi menurutku kita harus ketemu.”
Ini adalah hal yang paling kuhindari. Kuakui bahwa aku tertarik pada seorang strangers yang baru saja kukenal sekitar satu minggu lamanya. Akan tetapi ada segala kemungkinan buruk apabila kami bertemu. Pertama, aku tidak bisa seasyik di chat. Mungkin saja dia akan sangat jenuh jika tahu bagimana aku yang sebenarnya. Kedua, aku tidak cantik. Rasa insecure itu terus menerus membuatku pusing memikirkannya. Selama ini tidak pernah ada pria yang mendekatiku. Tentu saja alasan paling sederhana adalah karena aku tidak cantik dan tidak menyenangkan.
“Ketemu ya? Emm, aku belum mikir kesana sih,” jawabku mencoba menolak dengan halus.
“Kenapa? Kita satu sekolah. Bukannya aneh kalau justru ngobrolnya di chat terus?”
Itu 100% benar. Apakah aku harus menelpon Bima lagi? ah tidak, tidak. Aku sudah banyak menyusahkannya.
“Aku belum siap, Biru. Maaf,” ucapku memilih jujur.
“Oke. 3 minggu. Aku kasih waktu kamu 3 minggu. Satu bulan kenal mungkin bisa bikin kamu percaya sama aku,” ucapnya memberikanku ruang.
Aku menyetujui itu.
Dua minggu sebelum pertemuan, aku benar-benar sibuk karena dipilih untuk mengikuti olimpiade geografi. Sebenarnya itu bukan mata pelajaran yang paling aku kuasai akan tetapi guru memilihku sebagai perwakilan sekolah. Jadilah aku harus berlajar dengan ekstra agar bisa mengejar semua lawan yang kemungkinan besar sudah menguasai itu.
Waktuku bercakap dengan Biru jauh lebih sedikit dari biasanya. Tetapi untung saja dia bisa memaklumi itu. jika ditanya bagaimana hubunganku dengan Biru saat itu, sepertinya sudah cukup baik. Kami berteman.
Aku menyukainya. Benar-benar payah karena bisa-bisanya aku jatuh cinta pada tulisan ketik seseorang.
“Bumi,” panggil Echa saat aku sedang berjalan menuju perpustakaan.
“Hai Echa. Kamu mau ke perpus juga?” tanyaku.
Ia mengangguk dengan semangat. “Aku ada remidi matematika. Jadi mau belajar,” keluhnya.
“Emm mau kuajari?” tawarku. Ternyata Echa benar-benar menyambut tawaranku dengan senang. Aku menghabiskan waktu hingga sore hari di perpustakaan untuk mengajarinya semua materi yang belum ia kuasai.
Pukul 4 sore, kami baru benar-benar selesai.
“Makasih ya, Bumi. Aku jadi ngerti kalau kamu yang jelasin. Kamu buka les privat gak sih?” tanyanya sembari memasukkan buku tulisnya.
“Iya sama-sama. Buat les privat aku ngerasa belum cukup ilmu, Cha,” jawabku dengan jujur.
Echa mengangguk-angguk dengan cemberut.
“Sayang banget. Padahal kalau kamu buka, aku mau jadi murid pertamamu.”
“Kalau masalah itu gampang. Kita bisa belajar bareng,” ucapku memberikan saran.
Kami mengobrol mengenai banyak hal dan bertukar kontak. “Kamu pulang naik apa?” tanya Echa.
“Di jemput ayah.”
“Oh syukur deh. Soalnya ini udah sepi. Kutunggu kamu dijemput dulu deh,” ucapnya saat kami sedang duduk di halte.
Tak lama mobil mewah berhenti tepat di hadapan kami. Kacanya terbuka dan menampilkan sosok pria paruh baya yang memakai kacamata hitam. “Echa, ayo pulang. Papa ada rapat sebentar lagi.”
Echa langsung berdiri. “Kok bukan pak Arman yang jemput?”
“Iya, pak Arman lagi jemput mama. Ayo cepetan.”
Dapat kulihat keraguan di wajah Echa. Ia menoleh ke arahku. “Bumi, mau balik bareng?” tawarnya.
Namun aku langsung menggeleng. Tidak enak hati rasanya menumpang dengan seseorang yang sedang buru-buru. Terlebih rumah kami berbeda arah. “Gak usah. Ayah sudah dijalan,” ucapku berbohong.
Echa akhirnya mengangguk. Ia memasuki mobil mewah itu dan berpamitan pulang.
Setelah Echa pergi, baru terasa ternyata benar-benar sepi. Terlebih hujan turun dengan begitu deras. Mungkin karena itulah ekstrakulikuler menjadi diliburkan. Aku mengamati ponselku yang mati. Aku berbohong tentang ayah yang sudah berada di jalan. Aku belum sempat mengabari ayah.
Aku baru ingat bahwa aku membawa powerbank di lokerku. Tetapi itu artinya aku harus kembali ke kelas. Aku sedikit ragu karena takut saat melihat suasana sekolah yang sepi dan suram. Tetapi jika tidak begitu maka aku akan tetap disini karena tidak bisa menghubungi ayah.
Aku memberanikan diri untuk kembali ke dalam sekolah. Dapat kulihat di ujung lapangan beberapa siswa dengan jerseynya tetap bermain bola di tengah hujan lebat. Setidaknya aku tahu bahwa masih ada orang disini.
Aku menyusuri balkon untuk menuju ke kelasku yang letaknya paling belakang. Lampu-lampu sudah dihidupkan sehingga membuatku tidak terlalu takut. Aku sampai di kelas dan langsung menuju ke mejaku untuk menemukan powerbank.
Untung saja masih disana.
Brak.
Aku menabrak meja saat tiba-tiba lampu di kelasku mati. Kulihat ke area luar dan ternyata lampu-lampu di balkon juga. Tak lama suara petir yang menggelegar membuatku refleks berteriak. Aku menekungkupkan wajah dalam lipatan tanganku.
Aku sangat takut. Air mataku berjatuhan dengan jantung yang berdegup kencang.
Dapat kudengar suara pintu yang terbuka semakin lebar. Aku tidak berani melihat dan hanya menunduk. Terlihat ujung sepatu berwarna hijau neon yang basah dan berhenti tepat di hadapanku.
“Bumi, are you okay?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments