Malam kian larut. Suasana sudah benar-benar sunyi. Nyaris seperti tak ada kehidupan di sekitar perumahan tempat tinggal Vlad. Suara desir angin terdengar jelas. Menerpa dedaunan dari tumbuhan rindang, yang ada di dekat rumah dan danau.
Entah sudah jam berapa saat itu. Namun, Vlad masih membuka mata. Dia terjaga karena sebuah mimpi yang mengusik istirahat malamnya. Alhasil, pria asal Rusia tersebut tak dapat melanjutkan tidur. Sepasang iris berwarna biru milik Vlad, menatap langit-langit kamar dalam suasana temaram. Angan pria berambut pirang tersebut melayang pada masa lampau. Tepatnya, sekitar satu tahun lalu.
Vlad memejamkan mata. Meresapi sebuah kenangan manis, meskipun tak seindah yang terlihat.
“Bella,” ucapnya lirih mengiringi bayangan seraut wajah cantik yang melintas dalam ingatan. Sebuah adegan panas antara dirinya dengan seorang wanita berambut cokelat, turut membuat Vlad merasa semakin gelisah malam itu. Namun, tiba-tiba pemandangan syahdu tadi menghilang. Berganti dengan suara letusan senjata berulang-ulang. Darah dan rasa sakit. Semuanya terasa begitu nyata.
“Amputasi merupakan jalan terbaik.”
Suara itu selalu terngiang di telinga Vlad hingga saat ini. Mengingatkan dia, bahwa dirinya tak lagi merupakan pria dengan kondisi fisik sempurna. Perlahan, tangan Vlad meraba paha, lalu turun ke lutut. Susah payah pria tampan tersebut melakukan hal tersebut.
“Tidak.” Vlad segera membuka matanya. “Sialan kau!” maki pria itu yang entah ditujukan untuk siapa. Dia mengepalkan tangan. Menahan amarah yang tak pernah bisa dirinya luapkan.
......................
Pagi yang cerah, ketika mentari mulai menampakkan sinarnya. Suara kicau burung terdengar dari kejauhan. Cahaya hangat itu, masuk dan menembus kaca jendela kamar Vlad yang sengaja tak ditutupi tirai. Ia menerpa wajah tampan yang sudah mulai membuka mata.
"Selamat pagi," sapa suara yang mulai akrab di telinga Vlad. "Aku membawakan sarapan untukmu."
Vlad menoleh. Ekor matanya menangkap sosok semampai berambut panjang, yang sedang meletakkan nampan di atas meja. "Kenapa kau kemari? Aku belum memanggilmu," protesnya datar.
"Karena sekarang sudah wakunya sarapan. Ayo, bangunlah," sahut Altea. Dia berdiri tak jauh dari ranjang di mana Vlad berbaring.
"Ini masih terlalu pagi untuk sarapan," bantah pria berambut pirang itu. Dia membetulkan letak selimut, lalu kembali memejamkan mata.
"Sekarang sudah pukul delapan. Aku menunggumu memanggil. Ternyata kau masih tidur," sahut Altea. "Apa kau ingin kubantu ke kamar mandi?" tawarnya.
Seketika, Vlad kembali membuka mata. Dia kembali melirik wanita muda yang masih berdiri dalam posisinya tadi. Vlad seakan hendak melakukan protes. Namun, dia mengurungkan hal itu. Pria tersebut merasa malas untuk banyak bicara. Vlad memilih tak menanggapi.
"Bagaimana? Apa kau akan tidur sepanjang hari?" Altea terus memusatkan perhatian pada sosok berambut sebahu, yang masih betah berbaring di tempat tidur. "Kau bisa bangun sendiri atau perlu ku ...."
"Bisakah kau menutup mulutmu?" sentak Vlad secara tiba-tiba. Nada bicaranya teramat kasar. "Kau sangat mengganggu!" Pria itu mendengkus kesal.
Altea yang tadinya memperlihatkan sikap tenang, seketika berubah. Paras cantik wanita dua puluh tiga tahun tersebut mulai serius. Satu sisi buruk Vlad terlihat. Hal itu cukup membuatnya terkejut. Altea berdiri mematung sambil menatap lekat Vlad yang tak memedulikannya. "Baiklah. Aku ada di kamar jika kau membutuhkan sesuatu," ucap wanita muda itu kemudian. Dia membalikkan badan, lalu berjalan menuju pintu.
Bagi Altea, bentakan seperti itu sudah bukan hal aneh lagi dalam kesehariannya. Dia menjalani kehidupan yang keras di jalanan. Tak hanya kata-kata kasar, terkadang dirinya harus menyaksikan atau menerima sendiri tindakan kekerasan dari orang-orang sekitarnya.
Setelah terdengar suara pintu yang ditutup rapat, Vlad kembali membuka mata. Dia menoleh pada nampan di atas meja. Vlad berdecak pelan. Dengan bertumpu pada kekuatan tangan, pria tampan bermata biru itu berusaha bangkit dari tidurnya.
Hampir satu tahun lamanya. Tak ada yang berubah sama sekali. Vlad menjalani kehidupan terasa begitu monoton. Terkadang, Vlad mengenang masa-masa di mana dirinya masih dapat beraktivitas dengan normal dan leluasa. Berjalan serta berlari. Melakukan apapun yang dia inginkan. Menikmati hidup dengan segala kesibukan yang membuatnya merasa jauh lebih nyaman.
Vlad menghela napas pelan, lalu mencoba turun dari ranjang. Hanya dengan satu kaki, dia berjalan setengah melompat ke atas kursi roda, lalu duduk nyaman di sana. Seperti hari-hari kemarin, Vlad akan menghabiskan waktu seharian sambil menatap ke luar jendela.
Tanpa Vlad sadari, waktu terus merangkak menjelang siang. Altea kembali masuk ke kamar untuk mengambil nampan berisi menu sarapan belum disentuh sama sekali. Gadis itu mengeluh pelan saat meraih nampan dari atas meja. Altea langsung keluar dari sana tanpa berbicara sama sekali.
Satu jam kemudian, gadis itu masuk kembali sambil membawakan nampan baru yang berisi menu makan siang. Dia meletakkannya secara hati-hati di atas meja, tak jauh dari tempat Vlad berada. “Kuharap kau memakannya kali ini. Aku sedih saat harus membuang makanan mewah seperti tadi. Ada banyak orang di luar sana yang rela berkelahi, hanya demi sebuah burger. Jutaan lainnya di negara miskin dan berkembang harus mati kelaparan karena tak ada makanan sama sekali. Lagi pula, Nyonya Ignashevich sudah menyiapkan semua ini dengan penuh cinta. Tak bisakah kau menghargai jerih payah ibumu?"
Ucapan Altea tadi ternyata berhasil menarik perhatian Vlad. Dia menoleh pada gadis itu, meski dengan tatapan sinis. “Tak ada yang memintamu untuk membawakanku makan,” sahutnya ketus.
“Ibumu yang menyuruhku!” Altea terpaksa melontarkan kalimat bernada tinggi. Rasanya dia sudah tak sanggup menahan gejolak hatinya lagi. “Ibumu sangat mengkhawatirkan keadaanmu. Aku sering melihatnya termenung di depan pintu kamar ini, tanpa berani untuk masuk. Entah anak macam apa kau ini? Aku benar-benar marah. Belum satu minggu melihat sikapmu, rasanya ...." Altea mengepalkan tangan. Menahan amarah dalam dada.
“Dunia seakan tidak adil. Aku kehilangan ibuku di usia belia. Selama ini, aku selalu menginginkan sosok seorang ibu hadir di dalam kehidupanku. Namun, lihatlah. Kau memiliki seorang ibu, tapi malah menyia-nyiakannya. Kita bertukar tempat saja." Altea berdecak pelan.
“Kau ingin bertukar tempat denganku? Kau bersedia memiliki seorang ibu, tapi harus kehilangan kakimu?” sahut Vlad sinis.
“Aku bahkan rela kehilangan semuanya demi mendapatkan seorang ibu yang tulus menyayangiku,” jawab Altea tegas. “Kau memiliki rumah bagus. Ibu yang baik hati dan penyayang. Seandainya aku menjadi dirimu, aku akan mati dalam keadaan bahagia.”
Selesai berkata demikian, Altea langsung berbalik meninggalkan Vlad begitu saja. Dia tak berhenti merutuki pria di atas kursi roda dengan sifat egois teraebut.
Akan tetapi, Altea harus berhenti di ambang pintu, ketika Vlad berseru ke arahnya.
“Jangan bersikap seolah kau paling paham tentang diriku, Nona! Dengan mudah kau mengatakan rela kehilangan segalanya di saat kau tak pernah merasakan bagaimana kehilangan kaki! Kau tak pernah merasakan ketika dirimu berada di ambang kematian!” sentak Vlad.
Altea kembali membalikkan badan. Menghadap kepada Vlad sambil tersenyum kalem. “Aku memang tak pernah merasakan kehilangan kaki. Namun, aku yakin kau juga tak pernah merasakan kehilangan seseorang yang sangat kau sayangi untuk selamanya. Asal kau tahu, Tuan Ignashevich. Ditinggal mati oleh ibu rasanya lebih parah dari sekadar berada di ambang kematian,” jawabnya tenang.
“Oh, satu lagi yang harus kau ketahui. Aku berkali-kali berada di ambang kematian. Teman-temanku bahkan menganggap diriku seperti kucing yang memiliki sembilan nyawa. Akan tetapi, aku tak pernah bersikap lemah dan mengurung diri di kamar. Apalagi menyalahkan takdir. Aku lebih memilih untuk bangkit dan melawan!” tegas Altea.
Saat itulah Vlad mengetahui satu hal. Kehidupan yang dimiliki oleh gadis itu, bukanlah hal lazim yang dimiliki oleh seorang pelayan. Saat dia masih sehat dengan kondisi fisik sempurna, Vlad sudah bertemu banyak orang dengan berbagai karakter. Dia dapat menilai watak orang-orang yang berinteraksi dengannya.
Hal itulah yang membuat Vlad merasa yakin, bahwa gadis yang saat ini menjadi perawatnya tersebut, bukanlah seseorang yang berasal dari yayasan penyalur tenaga kerja. Terlebih saat Altea mengatakan bahwa dirinya seringkali menghadapi kematian.
Pelan dan hati-hati, Vlad memaksaka bangkit dari kursi rodanya. Pria tampan berambut gondrong itu berdiri hanya dengan satu kaki, membuat Altea terhenyak. Gadis itu memperhatikan Vlad yang ternyata memiliki postur tinggi dan tegap. Pria itu sangat gagah. Sepasang mata birunya bercahaya dan tampak indah, tapi terlihat tajam. Begitu menusuk. Vlad sedikit mengangkat dagunya. Dia melayangkan tatapan angkuh kepada Altea.
“Katakan. Siapa kau sebenarnya?” desis pria itu, yang seketika membuat Altea membeku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Agus Tina
2024 ... baru mampir suka ...
2024-08-26
1