Dinda pun membalas tatapan pak Roy yang saat itu seakan ingin berbicara sesuatu padanya. Namun tertunda lantaran hatinya tidak mengizinkan untuk memarahi putrinya yang saat ini sedang sakit itu.
"Dinda, sekarang lebih baik kamu pulang sama Bapak ya, biar Rehan menebus obat kamu ke Apotek dulu," ajak pak Roy mengurungkan niatnya untuk memarahi Dinda di depan Rehan.
"Iya Pak, makasih ya Pak." jawab Dinda yang melihat betapa tulusnya laki-laki yang ia sebut 'bapak' itu.
Pak Roy mengangguk pelan, menuntun Dinda keluar dari ruangan itu. Sementara Rehan menghela napas panjang melihat tingkah pak Roy yang ia anggap lebay itu, Rehan memutuskan untuk pergi berlawanan arah dengan pak Roy yang membawa Dinda pulang.
Di perjalanan Dinda terlihat kaku, antara takut mendapatkan kemarahan oleh sang ayah yang mendengar sakit palsu dari Rehan, dan memikirkan ucapan Rehan yang justru menyalahkan dirinya.
Sementara pak Roy yang sejak tadi memperhatikan Dinda diam-diam, akhirnya memberanikan diri untuk menegur Dinda.
"Dinda, benarkah kamu sering mandi malam?" tanya pak Roy sesekali melemparkan pandangannya pada Dinda dan ke jalan raya.
Dinda tersadar dari lamunannya dan saat itu ia segera menatap pak Roy yang menunggu jawabannya, Dinda tidak mungkin memberikan jawaban yang bertolak belakang dengan yang diberikan oleh Rehan, meskipun itu sebenarnya tidak benar.
"I-iya Pak, Dinda belakangan ini memang suka mandi malam," ucap Dinda akhirnya memilih untuk berbohong.
"Kenapa Dinda, kenapa kamu melakukan itu?" tanya pak Roy ingin tahu.
"I-itu Pak, Dinda kan sendirian ngurus rumah dan jaga Arka, jadi Dinda kadang baru sempat mandi kalau malam, jadi Dinda sering mandi malam," sahut Dinda beralasan.
"Ya ampun, jadi itu alasan kamu."
Pak Roy tidak memarahi Dinda, ia tahu betul kalau saat ini kerepotan Dinda dobel, karena tidak adanya bi Iyas. Pak Roy menjadi tidak tega melihat kesibukan Dinda yang sekarang sudah menjadi seorang ibu, ia teringat masa dulu di mana ia sangat bercita-cita untuk menjadi wanita karir, namun karena persahabatan yang sangat erat antara orang tua Rehan dengan dirinya membuatnya tidak mampu menolak perjodohan yang berakhir pada pernikahan.
Dinda melempar senyum saat melihat pak Roy yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu, ia tahu bahwa sosok ayah yang ada di sampingnya itu pasti merasa bersalah lantaran pernikahannya dengan Rehan adalah kehendak sang ayah.
"Ayah, jangan berpikir yang tidak-tidak ya, Dinda ini sudah menjadi seorang ibu sekaligus istri, jadi wajar kan kalau Dinda mengerjakan semua ini," ucap Dinda berusaha menghibur Rehan.
"Iya Dinda, maafin Bapak ya, kalau Bapak salah menentukan jalan kamu," sahut pak Roy berkaca-kaca.
"Enggak kok Pak, Bapak sama sekali nggak salah. Udah, sekarang fokus nyetir aja, biar kita bisa cepat sampai, kasihan Arka ditinggal lama-lama."
Untuk mengalihkan pembicaraan Dinda meminta pak Roy untuk buru-buru membawanya pulang, dan pak Roy yang teringat dengan cucunya itu spontan langsung menancap gas sesuai dengan keinginan Dinda.
Sementara Rehan yang masih ada kesempatan untuk menghubungi Sekar itu, nampak berkali-kali menelpon Sekar. Namun tak sekalipun Sekar mengangkatnya karena sudah terlanjur kecewa.
"Ya ampun, di mana si kamu sayang, kok kamu nggak akan telpon aku!"
Rehan nampak kesal dengan dirinya sendiri yang sudah membuat Sekar marah padanya, walaupun semua itu bukan murni keinginannya.
Tibanya di rumah, Rehan harus seperti sosok suami yang begitu peduli dengan Dinda, ia turun dari mobil untuk memberikan resep obat yang telah ia tebus.
Rehan menemui Dinda yang sedang duduk memberikan asi pada Arka, meskipun keadaanya belum membaik lantaran obat yang ditulis oleh dokter belum ia minum.
"Sayang, kok kamu udah kasih asi buat Arka si, kan kamu masih sakit?!" protes Rehan yang baru saja tiba itu.
"Ya Mas, kata Ibu Arka nangis dari tadi, dia haus," ucap Dinda kasihan.
"Ya tapikan nggak bisa kamu kasih asi gitu aja buat Arka, nanti kalau Arka ikutan sakit gimana? Sini, biar aku yang gendong!"
Rehan meraih tubuh mungil Arka dan menimangnya, Arka yang sudah cukup kenyang itu tidak memberontak saat ia berada dalam dekapan ayahnya.
Sepasang mata ibu dan bapak mertuanya tidak dipedulikan oleh Rehan, nampaknya rasa sayang seorang ayah pada anaknya mulai muncul di hati Rehan, hingga ia merasa tidak tega melihat nya harus mengkonsumsi asi ibunya yang sedang sakit.
"Emmm, ya udah mumpung Arka sama ayahnya, Ibu ambilin makan buat kamu ya biar kamu cepat bisa minum obat," ucap bu Andin mencairkan suasana.
"Ya Bu, makasih ya." jawab Dinda melempar senyum.
Tak lama kemudian bu Andin tiba membawakan makanan untuk Andin, ia sudah membuat sup saat di rumah menjaga Arka.
"Itu Ibu yang beli atau masak sendiri?" tanya Rehan yang melihat bu Andin membawa nasi dan sup di mangkuk.
"Ibu buat Mantu, tadi sambil momong Arka," ucap bu Andin mengulas senyum.
"Hebat banget ya Ibu, bisa masak sambil momong. Mungkin kalau Dinda bisa kayak gitu, di rumah ini nggak perlu bi Iyas lagi." celetuk Rehan meremehkan pekerjaan Dinda.
Mendengar itu tentu saja membuat selera makan Dinda berubah, ia nampak kesal mendengar pendapat Rehan yang begitu menyepelekan dirinya.
"Maksud kamu apa, Mas?" tanya Dinda membulatkan tatapannya pada Rehan.
"Ya maksud aku jelas sayang, kalau kamu bisa kayak Ibu mungkin bi Iyas udah nggak perlu lagi kerja di sini, kalau dia mau keluar atau mau berhenti nggak papa," ucap Rehan enteng.
"Nggak, nggak, nggak, bi Iyas tetap akan bekerja di sini sama aku, aku nggak mungkin bisa urus semua pekerjaan rumah dan Arka sendiri, kamu liat dong Mas, rumah ini berlantai dua dan rumah ini cukup lebar." jelas Dinda keberatan.
Rehan membuang muka, karena di depan ke dua orang tuanya Dinda mampu menolak mentah-mentah pendapat yang ia ajukan, padahal Rehan melakukan itu semata-mata karena ingin lebih bebas tanpa adanya bi Iyas.
Dinda meraih ponselnya, memilih untuk segera menghubungi bi Iyas untuk menagih janjinya.
Ponsel bi Iyas yang berdering pun disadari olehnya yang sedang memasukkan pakaiannya ke dalam koper.
[Halo non Dinda,] sapa bi Iyas dari sebrang.
[Halo bi. Bi, ini sudah tiga hari bibi pergi, apa bibi bisa pegang janji bibi untuk kembali ke rumah saya?] tanya Dinda di depan Rehan.
[Tentu saja bisa non, nanti sore saya akan berangkat dan mungkin sampainya malam] sahut bi Iyas memberitahukan.
[Kalau begitu hati-hati ya bi. Ya sudah, saya matikan telponnya.]
Tuut
Dengan lega Dinda akhirnya mengulas senyum setelah mendengar jawaban bi Iyas, ia pun mulai menyantap makanan yang sudah disediakan oleh ibunya sendiri.
Sementara Rehan sendiri nampak kesal lantaran Dinda justru tersenyum bahagia, ia pun menyantap makanan itu dengan lahap hingga membuat cacing di dalam perut Rehan turut meronta-ronta.
"Mantu, kalau kamu mau makan, makan dulu sana, biar Ibu yang gendong Arka," ucap bu Andin menawarkan jasanya.
"Baik Bu, makasih ya Bu." jawab Rehan mengulas senyum.
Rehan berlalu pergi menuju meja makan, ia lupa tak memberikan penawaran untuk pak Roy yang sejak tadi juga menahan lapar, apalagi pak Roy baru pulang dari mengantar Dinda ke klinik.
"Loh, Bapak kok nggak ikut makan?" tanya bu Andin menyadari.
"Kita pulang saja yuk, Bu," ajak pak Roy tidak enak hati.
Uhuk
Ajakan pak Roy membuat Dinda tersedak dari menyantap makanannya, makanan yang terasa sangat nikmat itu tiba-tiba terasa hambar di lidahnya saat mendengar ajakan pak Roy kepada ibunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 243 Episodes
Comments