Bab 5 - Kedatangan Alan sepupu Erick

Dara mulai melakukan tugasnya dan terpaksa menginap di mansion mewah itu, tidak pernah terbayangkan olehnya tinggal di istana megah itu. Barulah dia paham mengapa nenek Diana selalu saja berkomentar mengenai gubuknya yang selama ini menjadi tempat berteduh. 

"Hah, pantas saja nenek Diana berkata seperti itu dan ternyata dia orang kaya raya. Tapi yang lebih mengejutkanku Erick adalah cucu sulungnya, mengapa aku tidak tahu kalau dia anak orang kaya melampaui bayanganku." Monolog Dara, dia terkekeh saat masa menjalin hubungan di bangku sekolah menengah atas. 

Dara merebahkan tubuhnya di kasur empuk berukuran jumbo, kamar tamu yang di tempati sesuai keinginan sang pemilik mansion. Menatap langit-langit kamar yang sangat nyaman, memikirkan kenangan dulu membuatnya hanyut terbuai. 

"Eh, mengapa aku memikirkannya, tidak seharusnya begini." Dara sadar mengenai bayangan masa lalu yang tak mungkin akan terajut kembali. 

Terdengar suara ketukan pintu membuyarkan segalanya, Dara segera beringsut dari tempat tidur dan berjalan ke asal suara untuk membukakan pintu. Terlihat seorang wanita paruh baya menatapnya dingin, spontan memberikan senyuman terbaiknya. 

"Nyonya meminta anda untuk menemuinya." 

"Baiklah." 

Dara mengikuti wanita paruh baya itu sekaligus melihat-lihat dekorasi dan barang-barang mewah tersusun sangat rapi. Menghentikan langkahnya saat sampai ke tujuan, melihat wanita tua tengah menyeruput teh bebas gula.

Dara melihat kepergian dari pelayan itu dan mengarahkan perhatiannya pada nenek Diana. "Nenek butuh sesuatu?" 

"Hem. Duduklah di sebelahku!" ucapnya lembut namun tak meninggalkan kesan memerintah. Dara mengangguk patuh dan duduk di sebelah nenek Diana, mencoba untuk masuk dalam obrolan yang sebentar lagi akan dimulai. 

"Aku hanya ingin menunjukkan album keluargaku." Nenek Diana meraih album di depannya dan membuka satu persatu mengingat memori juga kenangannya, ada kesedihan yang di tunjukkan olehnya. Bagaimana tidak? Dia memiliki dua orang anak dan suami yang sangat mencintainya, awal kehidupan bahagia juga harmonis tapi setelah kematian suaminya semua ikut berubah. 

Dara memperhatikan dan mulai mengerti. "Keluarga bahagia." Tersenyum saat melihat foto keluarga sang nenek yang sangat lengkap, sangat berbeda dengan dirinya yang tak mengenal siapa orang tua kandung. Tapi yang pasti dia tak akan mencari keberadaan orang tuanya setelah dirinya di titipkan di panti asuhan saat berumur lima tahun.

"Ya, mereka adalah keluargaku. Semua orang tinggal di mansion ini, kenangan disini sangatlah berharga. Tapi…semuanya berubah setelah kematian suamiku, kedua anakku memutuskan pindah ke negara lain dan cucuku meninggalkanku." Ungkap nenek Diana yang sangat merindukan anak dan cucunya, di masa tua dia sangat ingin berkumpul bersama keluarga. Tapi apa daya, di saat anak dan cucunya sibuk akan urusan mereka masing-masing dan mulai melupakannya, hanya Erick lah yang menemaninya dan itupun waktu mereka terbatas. Ya, cucu sulungnya lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. 

Dara merasa tersentuh dengan keinginan kecil dari sang nenek, mengusap bahu pelan untuk mengurangi sedikit beban. "Waktu itu akan segera tiba, percayalah Nek." 

"Aku berharap seperti itu. Bagaimana dengan keluargamu?" 

Lama Dara terdiam menundukkan kepala, kesedihan terungkit saat pertanyaan itu menyerangnya. "Aku tidak tahu siapa kedua orang tuaku, sejak berusia lima tahun sudah berada di panti asuhan." 

"Malang sekali nasibmu." 

"Nenek tidak perlu menatapku dengan kesedihan, sudah jalan takdirku begitu. Awalnya memang sulit, tapi lambat laun aku terbiasa dengan keadaan tanpa mereka." 

"Hah, aku sampai lupa menanyakan namamu." 

"Dara. Itu namaku." 

"Dara? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu, kalau tidak salah Erick pernah menceritakan mengenai nama itu." Tutur nenek Diana berusaha mengingatnya. 

Dara tersenyum canggung, dia tidak tahu ternyata Erick menceritakan mengenai dirinya pada nenek Diana. Beruntung sang nenek tidak terlalu mengingat jelas, atau dia akan semakin canggung. "Boleh aku melihat albumnya lebih dekat, Nek?" 

"Tentu saja boleh." Nenek Diana menyerahkan album itu, sedangkan Dara sangat antusias melihat setiap anggota keluarga satu persatu.

Dara menemani sang nenek sepanjang hari, merawatnya dan menjaganya sungguh-sungguh. Hingga dia terlelap di kamar nenek Diana, kedua tangan yang di lipat menjadi bantalan kepala sedangkan posisinya duduk di sisi ranjang. 

Erick berjalan dengan tergesa-gesa tak sabar untuk melihat kondisi neneknya, apakah Dara mengerjakan pekerjaan dengan baik atau tidak. Jika gadis itu melakukan kesalahan, maka mudah baginya untuk mengusirnya dari mansion. 

"Apa kalian melihat nenek dan gadis itu?" tanya Erick kepada pelayan yang tak sengaja berpapasan. 

"Nyonya ada di kamarnya, Tuan." 

"Dan gadis itu?" 

"Tadi dia bersama nyonya Diana, tapi setelah itu saya tidak tahu." 

"Hem, baiklah. Kembali bekerja!" 

"Siap Tuan." 

Kedua tungkai kaki segera melangkah menaiki beberapa anak tangga, rasa cemas membuatnya langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Melihat pemandangan itu memelankan langkah kakinya, berjalan menghampiri dan diam-diam tersenyum melihat suasana seperti itu. 

"Ternyata dia menjaga nenek sangat baik." Lirihnya sembari menggendong tubuh Dara yang duduk di bawah dan meletakkannya di sebelah sang nenek. "Kau terlihat sangat kelelahan, wajahmu terlihat polos di saat tertidur." Erick memperhatikan wajah cantik putih bersih itu dengan seksama. 

"Begitu banyak rencanaku saat bersama dulu, tapi kau malah menghancurkan segalanya. 

Suasana tenang dan sunyi, yang terdengar dengkuran halus. Tapi pecah akibat ponselnya berdering, melihat siapa yang mengganggu nya yang tak lain adik sepupunya sendiri yang bernama Alan. Karena tak ingin menganggu, dia memutuskan keluar dari kamar dan menjawab panggilan teleponnya.

"Kenapa kau selalu menggangguku?" kesal Erick. 

"Memang apa yang aku lakukan?" jawab seseorang di seberang sana.

"Lupakan, kenapa kau menghubungiku?" 

"Jemput aku." 

"Jemput? Kau bercanda?" 

"Ck, ada saatnya aku bercanda. Suruh orang mu untuk menjemputku, cepatlah sedikit karena di sini sangat panas." 

Erick menghela nafas, menghadapi adik sepupunya yang satu itu selalu menyusahkannya. 

"Kau tunggu di sana." 

"Ya, sudah aku lakukan dari lima menit yang lalu." 

Seorang pria langsung mematikan ponselnya secara sepihak tanpa menghiraukan sumpah serapah di seberang sana, mengipasi wajahnya yang memerah karena tak menyukai cuaca panas yang hanya membuat kulit putihnya memerah, terlihat sama persis dengan udang rebus. 

"Apa aku sungguhan keturunan Adelmo? Mengapa nenek selalu membuatku kesulitan. Semoga saja nenek tua cerewet dan tak berprasaan itu segera menyusuk kakek di alam baka, maka kebebasanlah yang aku terima." Ujar Alan tersenyum memikirkan bayangannya, berharap sang nenek meninggal dunia. 

Sudah lima belas menit dia menunggu di bandara, belum juga ada tanda-tanda jemputan untuknya. 

"Erick bekerja sangat cepat tapi sangat lambat saat berurusan denganku." Alan menghela nafas jengah, sudah tidak sabar untuk segera pulang dan mengganggu nenek dan juga kakak sepupunya. "Padahal aku sudah tidak sabar untuk memberikan kejutan pada nenek, siapa tahu dia jantungan." Lirihnya sambil terkekeh, pikiran konyol sudah menjadi identitasnya. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!