Dara terpaksa menginap di penjara, tuduhan sebagai penculik memang tak masuk akal baginya. Berpikir mengapa nenek Diana malah mengatakan kebohongan, apa salahnya dia? Sedikit menimbulkan trauma dan sial secara bersamaan dengan pertemuannya pada mantan kekasihnya.
"Aku selalu sial, mengapa dunia ini sangat sempit sekali? Kenapa aku harus bertemu dengan Erick sekian banyaknya penduduk di muka bumi ini." Racau Dara yang memeluk tubuhnya sendiri, hawa dingin menyeruak masuk ke dalam pori-pori dan terasa hingga menusuk tulang.
"Ck, mengapa dia begitu bersemangat sekali." Umpat kesal saat mata langsung tertuju pada seorang pria yang menjebloskan nya ke penjara.
Salah satu polisi membuka pintu sel yang di tempati oleh Dara. "Anda di bebaskan." Ucapnya.
"Benarkah?" Dara seakan tak percaya, melirik Erick di sebelah polisi yang menatapnya datar.
"Benar."
Dara segera keluar, dinginnya sel penjara membuatnya sangat kapok. "Mengapa aku tiba-tiba di keluarkan? Ini bukan permainanmu 'kan." Dia menatap sinis Erick.
"Nenek mengatakan kalau kau tidak bersalah."
"Eh."
"Aku lupa, sebenarnya nenekku memiliki masalah pada penyakit pikunnya yang sering timbul." Jelas Erick dengan enteng dan lupa akan perbuatannya.
Dengan sengaja Dara menghalangi jalan Erick dan menatapnya dalam kemarahan. "Mudah sekali kau berucap, apa kau pikir tidur semalam di sel penjara itu nikmat? Sangat dingin." Keluhnya meninggikan suara satu oktaf.
"Anggap saja kau sedang berada di negara bersalju, bukankah itu impianmu." Ejek Erick tersenyum miring.
"Kau." Dara menunjuk wajah Erick tanpa takut, dia bukanlah wanita bodoh yang tak mengerti maksud dan niat terselubung. "Katakan saja kalau kau sengaja melakukan ini."
Erick sengaja menatap jam tangan mahal yang melingkar di tangannya. "Aku tidak memiliki waktu mengurusi orang tak penting sepertimu." Ucapnya angkuh.
Sebuah kepulan asap memenuhi isi kepala Dara yang menahan gejolak amarah dan kekesalan, pria yang dulu pernah singgah di hatinya sekarang menjadi pria yang begitu menyebalkan.
"Sudahlah dan lupakan semuanya."
"Kau pria tak hati."
Erick langsung berbalik menatap tajam Dara, ada kemarahan yang terlukis di sana. "Kau sendirilah yang menghancurkan hatiku."
Deg
Dara menelan saliva susah payah, menatap pria itu intens. Kedekatan tak berjarak sangat membuatnya canggung karena sekian lama tak bertemu dan mereka menjadi orang asing di masa mendatang.
"Nenek ingin menemuimu."
"Tapi aku tidak ingin bertemu siapapun." Dara melengos pergi tapi langkahnya langsung tertahan saat tangan kekar itu menghalangi.
"Kau mungkin lupa pada prinsipku, biar aku ingatkan sekali lagi bahwa aku tidak bisa mendengarkan kalimat penolakan."
"Jangan menggangguku lagi." Pinta Dara menyatukan kedua tangannya memohon.
"Kau ikut denganku atau aku menyeretmu secara paksa."
Dua pilihan yang sebenarnya sama saja, maju mundur Dara tetap merasa di rugikan. "Ck, apa aku punya pilihan lain?" pasrahnya.
Senyuman tipis di wajah pria itu bahkan tak di sadari oleh Dara, membawanya pergi masuk ke dalam mobil menuju kediaman keluarga Adelmo.
Suasana mansion yang terlihat seperti istana dan bahkan lebih mewah dan terlihat sangat unik, beberapa kali Dara menatap bangunan itu dengan takjub. Ternyata diam-diam Erick memperhatikan ekspresi itu dan menyeringai.
"Aku sangat yakin kamu pasti menyesal pernah meninggalkanku dulu."
"Merusak suasana hatiku saja." Batin Dara menatap kesal ke sebelahnya. "Haha…aku tak tertarik dengan kekayaanmu." Jawabnya.
Terlihat seorang wanita tua tengah duduk di sofa tersenyum ke arah mereka, datang menghampiri dan memeluk Dara erat.
"Maaf, nenek tidak mengenalimu kemarin. Maklum, penyakit tua sering pikun."
Dara antusias menyambut pelukan itu, baru mengerti jika nenek Diana memliki masalah. Tak menyalahkannya melainkan melimpahkan kesalahan sepenuhnya pada Erick yang langsung menuduh tanpa mengusut terlebih dahulu.
"Hem, aku bisa memakluminya."
"Sebagai minta maaf, nenek ingin kamu bekerja di sini."
Sontak hal itu mengejutkan dua orang, terutama Dara yang di tawari pekerjaan. "Bekerja? Tapi a-aku."
"Aku akan menggajimu tiga kali lipat dan pekerjaannya hanya menemaniku saja. Oh iya, nenek ingin mengenalkanmu pada cucu sulung, dia bernama Erick Adelmo." Terang nenek Diana bersemangat.
"Dan Erick, gadis ini yang menolongku kemarin."
"Tapi Nek, memberikan pekerjaan pada orang asing yang baru di kenal bukanlah solusi yang tepat." Bantah Erick tak percaya pada gadis itu.
"Aku lebih dulu makan asam garam, kau anak kemarin sore."
Dara menahan tawanya membuat Erick sedikit jengkel. "Bukan anak kemarin sore melainkan anak tuyul." Ucapnya di dalam hati.
"Tapi Nek." Belum sempat Erick menjelaskan, lebih dulu tangan keriput itu terangkat ke udara sebagai tanda tak ingin mendengarkan penjelasannya.
"Aku tidak membutuhkan izinmu, ini mansion milik suamiku dan kalian semua hanya numpang."
Jlebb
Perkataan monohok kembali terucap lolos begitu saja, seakan Erick tak memiliki wajah lagi jika berhadapan dengan neneknya. Dia memutuskan pergi dari tempat itu sebelum akal sehat mengalahkan segalanya, menjaga kewarasan sangatlah penting untuk saat ini.
"Jangan dengarkan dia, di sini akulah berkuasa. Bagaimana? Mau menerima tawaranku?"
Dara lama berpikir, apakah dia harus mengambil tawaran itu atau tidak. Di sisi lain tak punya pekerjaan tapi di sisi lainnya tak ingin berurusan dengan sang mantan kekasih yang tahunya hanya menyulitkannya.
"Jangan katakan tidak. Kau lihat sendiri bagaimana luas dan besarnya tempat ini, tapi aku merasa sangat kesepian." Nenek Diana menunjukkan raut wajah memelas, berharap gadis muda itu menerima tawarannya.
"Bagaimana ini? Jika aku menerima pekerjaan ini, maka aku selalu di pertemukan dengan pria angkuh itu. Tapi, gaji yang di tawarkan cukup menggiurkan. Pikir Dara yang juga merasa kasihan melihat kondisi nenek Diana. "Baiklah, aku menerima tawarannya."
"Terima kasih, entah mengapa aku merasa nyaman berada di dekatku seperti mengingatkan aku pada seseorang." Jawab sang nenek antusias.
****
Di kantor, Erick masih membayangkan tawaran dari neneknya dan berharap sang mantan menolaknya.
"Dia tak boleh menerima tawaran nenek, melihat wajahnya hanya akan mengingatkan rasa sakit di hatiku."
Terdengar suara dering ponsel yang memecahkan lamunannya, menatap ponsel yang berada di atas meja kerja dan melihat siapa yang menghubunginya.
"Halo."
"Ya, halo. Ada apa menghubungiku?"
"Aku baru menelepon mu tapi kau sudah berbicara ketus."
"Apa yang ingin kay bicarakan? Aku tak punya banyak waktu mendengarkan semua ocehanmu." Ketus Erick masih sabar.
"Kak, aku perlu uang. Kau tahu sendiri bagaimana nenek, dia memblokir semua kartuku dan membiarkanku terdampar di negara ini." Ucap seorang pria yang terdengar memelas, berharap mendapatkan bantuan.
"Salahmu sendiri yang selalu saja bersenang-senang."
"Jangan menudingku begitu, kau juga sama, selalu sibuk bekerja."
"Ck, jika memerlukan bantuanku kau berbicara manis dengan memanggilku 'Kak'."
"Hah, jangan dramatis karena ini bukan pertama kalinya aku begitu. Cepat, kirimkan aku uang."
"Sangat menyusahkanku." Erick langsung menutup teleponnya secara sepihak dan mentransfer sejumlah uang yang totalnya tidak sedikit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments