Luna dalam perjalanan pulang ke rumahnya diantar oleh Raihan. Perjalanan itu diisi oleh keheningan. Raihan awalnya bicara untuk mengajak Luna mengobrol, akan tetapi Luna sama sekali tidak meresponnya. Pria itu pun memutuskan untuk diam dan berkonsentrasi mengemudi. Sesekali Raihan melihat Luna yang sedang menatap ke luar mobil dengan pandangan kosong. Jika boleh jujur Raihan tidak tega melihat Luna dalam keadaan seperti itu, tetapi dirinya benar-benar merasa tidak siap untuk kehilangan Luna.
Sepanjang perjalanan Luna sendiri hanya duduk dalam diam. Saat Raihan mengajaknya mengobrol, Luna pun sama sekali tidak ingin meresponnya. Pandangannya terus melihat ke luar mobil dengan tatapan kosong, tidak jarang juga Luna menitihkan air matanya. Seberapapun Luna mencoba menahannya air mata itu tidak juga berhenti mengalir. Pemaksaan yang dilakukan Raihan sungguh sangat menyiksa hatinya, tetapi dirinya bisa apa.
"Luna, kita sudah sampai." Tidak ada respon dari Luna. Kekasihnya itu masih menatap ke luar mobil dengan pandangan kosong. Melihat itu Raihan menarik napas berat.
"Luna …." Raihan memanggil Luna dengan menyentuh pundaknya membuat gadis itu menoleh ke arahnya.
"Ada apa?" tanya Luna dengan suaranya yang lirih.
"Kita sudah sampai." Raihan bicara seraya mengusap jejak air mata di pipi Luna.
"Sudah sampai." Luna menepis tangan Raihan lalu mengusap sendiri air mata di pipinya.
Luna menolehkan pandangannya, benar saja mobilnya sudah berhenti di depan rumahnya. Karena melamun dirinya sampai tidak menyadari akan hal itu.
"Terima kasih sudah mengantarku. Aku masuk dulu," ucap Luna.
Luna membuka sabuk pengaman yang ia pakai. Saat akan membuka pintu Raihan mencegahnya. Tanpa Luna duga Raihan menarik tengkuknya lalu menyatukan bibir mereka. Luna merasakan kecupan lembut bibirnya, tetapi tidak ada niatan Luna untuk membalasnya.
"Apa yang kau lakukan, Rai?" Luna menarik dirinya lebih dulu.
"Kau lupa dengan hal yang selalu kita lakukan saat berpisah?" tanya Raihan.
"Aku tidak lupa. Hanya ingin melupakan kebiasaan itu," jawab Luna.
"Luna …." Raihan kembali diam tidak tahu lagi harus bicara apa, tetapi yang ia rasakan ucapan Luna menyayat hatinya.
"Kau harus ke kantor, bukan? Pergilah atau kau bisa terlambat nanti," ucap Luna.
"Luna —" Ucapan Raihan langsung dipotong oleh Luna.
"Rai … aku lelah. Aku tidak ingin berdebat," ucap Luna.
"Baiklah." Raihan pasrah dengan sikap dingin Luna. Ia sadar itu pantas ia dapatkan atas apa yang sudah ia lakukan tehadap Luna. "Jaga dirimu baik-baik. Jika ada apa-apa kabari aku langsung," ucap Raihan.
"Hmmm. Hati-hati di jalan," ucap Luna tanpa sadar. Setelah ia sadar, Luna merasa menyesal sudah mengatakan kata itu.
Akan tetapi bagi Raihan ucapan Luna sedikit mengobati luka di hatinya. Raihan tersenyum, ia tahu dan yakin meskipun Luna marah, tetapi sang kekasih masih tetap mengkhawatirkan dirinya.
"Aku turun dulu," ucap Luna disambut anggukkan oleh Raihan.
Luna turun dari mobil Raihan dengan cepat, ia takut Raihan akan kembali mencegahnya. Luna berjalan ke teras rumah, tanpa menoleh ke belakang. Setelah mendengar suara mobil Raihan, ia baru menoleh. Sejenak Luna memandang kepergian Raihan, saat air matanya kembali jatuh barulah Luna berhenti.
Luna mengusap air matanya lalu menarik napas dalam-dalam untuk meredam rasa sesak di dadanya. Luna mengambil kunci dari dalam tasnya memasukkannya ke lubang kunci yang ada di pintu. Saat akan memutar kunci Luna kembali mendengar suara mobil. Luna menoleh dan melihat mobil Tiara.
"Luna, kau baik-baik saja?" Tiara bertanya setelah ia turun dari mobil.
"Tiara, kau belum berangkat bekerja?" tanya balik Luna.
"Kenapa kau menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lagi," protes Tiara.
"Maaf," ucap Luna.
"Ya kau memang harus meminta maaf karena sudah membuatku merasa cemas semalam. Dan sekarang katakan, apa yang terjadi antara kau dan Raihan? Bukankah kau pergi ke apartemen Raihan? Tapi kenapa semalam kenapa Raihan justru mencarimu? Kau pergi ke mana semalam?" tanya Tiara.
Luna terdiam bukan karena dirinya malas untuk menjawab begitu banyak pertanyaan dari Tiara, hanya saja untuk menjawab pertanyaan dari Luna itu sama artinya dengan membuka lukanya.
"Maaf, Tiara aku tidak bisa menjawabnya. Aku sangat lelah." Luna berbalik untuk membuka pintu rumahnya.
"Tapi, Luna." Tiara mengikuti Luna masuk ke dalam rumah itu.
"Please! Kumohon, aku belum bisa menceritakan ini padamu," ujar Luna.
"Ada apa? Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Tiara. "Melihat keadaanmu saat ini aku menebak ada sesuatu yang buruk yang terjadi antara kau dan Raihan."
"Kau benar, Tiara. Tapi ini terlalu menyakitkan untuk aku ceritakan padamu," jawab Luna.
"Luna …." Tiara mengajak Luna untuk duduk di kursi di dekat mereka. "Katakan padaku apa yang telah terjadi! Jangan berpikir karena Raihan itu sepupuku maka aku akan membelanya."
"Bukan seperti itu, Tiara. Aku juga tahu kau tidak akan melakukan itu. Tapi … aku terlalu sakit untuk bicara saat ini. Jadi … tolong jangan paksa aku," ucap Luna diikuti air matanya.
"Baiklah, aku tidak akan memaksamu." Tiara mengusap air mata di pipi sahabatnya lalu memeluknya. "Aku akan pergi. Sepertinya kau butuh waktu sendiri. Jaga dirimu baik-baik."
"Terima kasih, Tiara kau selalu mengerti aku," ucap Luna.
Luna masuk ke dalam kamarnya setelah Tiara pulang. Luna merebahkan tubuhnya di tempat tidur dengan posisi tengkurap. Diambilnya bantal yang ada di dekatnya lalu memeluknya. Bayangan akan pergulatan panas Raihan dan Jeni kembali terlintas di benaknya membuat rasa sesak di dadanya kembali terasa.
Dengan cepat Luna membungkam mulutnya tidak ingin ada seorangpun yang mendengar tangisnya. Cukup lama Luna menangis di kamar sendiri tanpa disadari ia tertidur begitu saja.
****
Suara anak-anak bermain di sekitar rumahnya mengusik tidurnya. Luna terbangun dan terkejut saat pandangannya melihat waktu pada jam yang tergantung di dinding kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pada angka dua.
"Ya Tuhan sudah siang. Aku bisa terlambat bekerja."
Luna bergegas bangun dan masuk ke kamar mandi. Luna segera mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Karena terburu-buru Luna tidak menghiraukan rasa dingin itu. Setelah mandi Luna bergegas bergegas ke kamarnya untuk berpakaian, ia akan pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan ibunya. Sudah menjadi rutinitas harian Luna setiap hari sebelum bekerja Luna mengunjungi ibunya di rumah sakit.
Selesai bersiap Luna segera pergi. Untuk mempersingkat waktu Luna memilih untuk naik ojek. Setiap perjalanannya ke rumah sakit Luna selalu berharap ada keajaiban untuk sang ibu.
Sudah hampir setengah tahun sang ibu dirawat. Beliau mengalami koma setelah mengalami kecelakaan, sang ibu adalah korban tabrak lari. Sedangakan ayahnya meninggal 3 tahun yang lalu juga karena kecelakaan. Mobil yang ayahnya kendari jatuh ke dalam jurang.
Luna bukanlah gadis yang lahir dari keluarga sederhana. Sebelum ayahnya meninggal mereka adalah keluarga yang cukup terpandang. Semenjak sang ayah meninggal Luna dan ibunya hidup jauh dari kehidupan sebelumnya. Semua aset peninggalan sang ayah diambil alih oleh keluarga sang ayah. Mereka bahkan kejam dengan menguasai harta itu dan bahkan tidak memberikan sebagian aset peninggalan sang ayah. Hanya uang asuransi yang mereka dapatkan.
Uang asuransi dengan jumlah yang cukup banyak mereka gunakan untuk biaya sekolah dan kuliah Luna, dan juga untuk membuka usaha sang ibu. Sisa uang itu sudah habis untuk biaya perawatan ibunya dan itu pun masih tidak cukup. Biaya perawatan sang ibu sangat besar meskipun ia bekerja keras setiap hari itu tidak akan cukup. Luna sangat putus asa pada saat itu.
Akhirnya ia menerima tawaran dari Raihan yang akan mengambil alih tanggung jawab itu. Sudah beberapa bulan semua biaya rumah sakit di tanggung oleh Raihan. Hal itu yang membuat Luna tetap bertahan bersama Raihan karena ia tidak ingin kehilangan satu orang tuanya lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Diana Susanti
lanjut kak mantab
2023-04-07
0