Bab.2 POV Saka (plot mundur)

Malam hari sebelum pertemuan Saka dengan Ayuna dan Herdi.

“Besok pagi Kalian balik duluan, aku masih di sini.”

“’What?! Nggak salah kamu betah di desa pesisir yang sunyi gini?” Dallas kaget mendengar keputusan Saka. Mereka berempat terjebak bermalam di desa terpencil ini. Beruntung Pembakal berbaik hati menampung tidur di rumahnya, tetapi tetapi suasana senyap seperti malam ini, bernyamuk dan tanpa sinyal internet membuat mereka ingin secepatnya balik ke kota.

“Aku kepikiran Ayuna, nasibnya jelek betul dipaksa kawin seperti kabar yang dibawa Uwa Mirja tadi.” Saka mengedarkan pandangan pada ketiga rekan kerjanya. Mereka berada di salah satu kamar di rumah kepala desa yang di daerah sini dipanggil Pembakal oleh warga.

“Jadi prihatin juga mendengar kisahnya. Hutang bapaknya ditebus dengan bersedia jadi istri si Tuan Takur?” Eko ikut bicara. Cerita menyedihkan semacam ini memang biasa terjadi pada kondisi ketidakberdayaan di kalangan masyarakat pedesaan.

“Kira-kira dia mau atau tidak ya, diajak pergi dari sini?”

“Hahh, Elo pikir semudah itu bawa kabur anak gadis orang?” Giliran Cipung yang melempar bantal ke arah Saka. Tidak mengira kawannya punya ide seserius itu, agak nekat menurutnya.

“Sudah pastilah aku ngomong dulu ke Uwa Mirja. Beliau yang sekarang jadi wali pengganti orangtuanya. Apa mereka tega menyerahkan Ayuna jadi istri kelima?”

Ketiga rekannya mengangkat bahu tak bisa mereka-reka. Cara berpikir penduduk desa ini pasti berbeda dengan orang luar seperti mereka. Perjodohan atau kawin paksa bagi penduduk desa adalah salah satu cara menyelesaikan konflik, berbeda dengan kebebasan berpikir dan bertindak penduduk urban. Kemerdekaan hidup sangat dielu-elukan orang kota.

“Kamu pikirkan dulu dengan tenang Ka, setelah dibawa dari sini selanjutnya bagaimana nasib gadis itu?” saran Eko bijak. Kedua rekan Saka yang lain memberi kode dua jempol. Situasi yang mendasari Tindakan Saka dapat mereka maklumi karena mendengar dari Uwa Mirja langsung, bahwa dalam waktu dekat Ayuna akan di lamar oleh Tuan Takur yang menuntut bayar hutang ayahnya yang sudah meninggal dunia. Sebelumnya Uwa Mirja mendapat kabar kedatangan Saka dan teman-temannya, sedangkan Saka ternyata mengenal dengan baik Ayuna sebagai teman masa kecilnya. Tepatnya Ayuna adalah putrinya bu Midah yang menjadi ART di rumah keluarga Saka.

Saka terdiam oleh arus pikirannya. Dua jam yang lalu dirinya mendengar langsung Ayuna akan dinikahkan secara paksa. Padahal baru sore harinya gadis itu dilihatnya lagi setelah bertahun-tahun.

Paras cantik Ayuna di masa kecil memang sudah berubah, hampir tak dikenalinya ketika sore tadi mengangkat jemuran ikan-ikan kering. Nama Ayuna yang disebut ketika temannya memanggil gadis itu, menyentak dan membulatkan Saka pada keyakinannya.

“Di mana sekarang kak Midah berada, apakah Nak Saka bisa menyampaikan pesan bahwa Yuna akan segera menikah?” terngiang lagi kata-kata Uwa Mirja Ketika datang menemui Saka di rumah Kepala desa.

“Sudah dilamar kah si Ayuna? Maaf Mang, saya sih, baru dengar-dengar dari obrolan warga.” Kepala desa yang menyela, menjawab kebingungan Saka.

“Begitu lah Pak, Tuan Takur sudah mendatangi Saya dan bilang bahwa pernikahan akan digelar bulan depan setelah dia terima pembayaran sawit,” sahut Uwa Mirja seraya menghela napas berat.

Keempat pemuda yang sedang ngobrol bersama mereka saling pandang. Sebutan Tuan Takur membuat tegak pendengaran mereka, agak ngeri karena panggilan semacam itu mewakili sosok dengan kekuasaan, keinginan yang tidak bisa dibantah, bisa jadi dilengkapi dengan sikap kejam dan keji.

“Maaf sebelumnya saya ikut bicara, tapi sebagian warga memang menggosipkan kabar Ayuna dikawinkan untuk melunasi hutang almarhum ayahnya. Benar ya Mang, besarnya sampai puluhan juta. Kasihan Ayuna ,” Kali ini Herdi yang sebelumnya diam juga angkat bicara. Dia tadi dimintai tolong mengantarkan Uwa Mirja ke rumah kepala desa. Amang adalah panggilan akrab untuk Uwa Mirja, lelaki yang berusia lima puluh tahunan itu terlihat lebih tua disebabkan beban hidup.

“Jadi bagaimana Nak? Bisa Amang minta tolong sampaikan pesan ke Kak Midah?” Uwa Mirja Kembali ke tujuan semula, berharap Saka bisa menjadi penyambung lidah.

“Bu Midah sudah tiga tahun berhenti bekerja di keluarga kami. Tanah dan Rumah Beliau sudah dijual kepada Ayah, Sedangkan Saya bekerja di luar daerah jadi tidak lagi mengetahui kabar beliau.” Jawab Saka. Sekarang baru disesalinya kenapa kalau pulang ke rumah keluarga besarnya, ia jarang mau berkomunikasi basa-basi dengan anggota keluarganya yang lain. Bu Midah tak di ketahui lagi di mana rimbanya.

Uwa Mirja Nampak kecewa, tak lama beliau pun pamit pulang. Sementara kawan-kawan Saka melanjutkan ngobrol dengan kepala Desa sambil menghabiskan minum kopi. Obrolan seputar desa, pembangunan khususnya bidang ekonomi dan pelayanan dasar yang menjadi perhatian pemerintah.

Sebenarnya kedatangan rombongan Saka bertujuan ke desa tetangga meninjau lokasi kegiatan CSR yang diusulkan oleh desa tersebut. Sebelumnya mereka membahasnya di tingkat kabupaten dan menindaklanjuti observasi langsung ke lapangan. Apabaila kondisi yang diusulkan terbukti memiliki potensi dan nilai kebelanjutan maka tim Saka akan memfollow up ke divisi lain terkait CSR di perusahaan yang menaungi mereka bekerja.

Niat baik dan kepedulian mereka, sayangnya tidak didukung dengan persiapan dan koordinasi matang. Seharusnya setelah selesai rapat di kabupaten mereka bisa minta damping pihak kecamatan bukannya nekat sore hari masuk ke kawasan perkebunan sawit yang menjebak layaknya labirin. Maklumlah anak muda bermodal semangat 45, padahal mereka belum pernah ke area itu sebelumnya.

"Silakan istirahat dulu Nak, besok kita bisa lanjut ngobrol. Tidak buru-buru balik ke kabupaten toh?" kepala desa menyudahi obrolan sekitar pukul. 23.30 Wita.

Malam yang bertambah larut, kesenyapan desa pesisir yang di apit oleh pinggir laut dan salah satu sisi kawasan perkebuan sawit membawa rasa kantuk lebih cepat datang. Dallas, Eko dan Cipung langsung terlelap begitu tubuh mereka direbahkan di atas Kasur dalam kamar rumah kepala desa.

Lain halnya dengan Saka, pikiran pemuda itu masih terpaut pada Ayuna, gadis cantik bertubuh semampai dan rencana kawin paksanya yang menggenaskan.

Ayuna Raflianti yang rentang usianya lima tahun lebih muda dari dirinya. Ayun, begitu panggilan Saka untuk gadis itu. Sementara kebanyakan orang lain memanggilnya Yuna.

Di rumah orangtuanya yang sebesar istana, Saka sering merasa kesepian. Ibu kandungnya tidak tinggal bersamanya, sejak lulus sekolah dasar Saka menetap bersama ibu tiri dan saudara sebapak di kediaman mewah itu atas kemauan ayahnya yang tak bisa dibantah.

Ayuna lah yang menjadi adik sekaligus teman semasa remajanya, karena di lingkungan tempat tinggalnya yang eksklusif, agak sulit bagi Saka memperoleh teman sebayanya.

Memori masa kecil Saka perlahan merambat memenuhi benaknya.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!