Tujuh tahun yang lalu, Saka secara tidak sengaja menyaksikan peristiwa yang penuh dengan tangisan dan teriakan mengecam. Bu Hamidah yang bekerja sebagai ART di rumah keluarganya menangis sesegukan mempertahankan Ayuna dalam pelukannya. Sementara tak jauh dari situ sesosok lelaki berumur empatpuluhan terlihat marah dengan suara lantang.
"Jangan dipaksa Bang, Yuna tidak mau ikut Abang..." suara Bu Midah memelas kepada mantan suami sekaligus bapak kandung Ayuna.
“Cukup Midah! Kamu sudah membawa kabur anakku sejak masih bayi. Aku juga punyak hak terhadap Ayuna, jadi jangan coba menghalangiku membawanya sekarang!”
“Tapi mau kau bawa kemana anakku? Katakan, Aku tidak mau berpisah jauh dengan Ayuna…” kata-kata Bu Midah hilang tertelan tangisan.
“Itu urusanku! Bukannya kamu juga tidak meninggalkan pesan apa-apa ketika meninggalkan rumah. Heh, Kau tidak lupa kan?”
“Kumohon Bang Harlan, tolong izinkan ku merawat Ayuna. Dia masih anak-anak, biarkan dia bersamaku….hiks hiks hiks “
“Kau pikir cuma kau yang mampu merawatnya?! Dari dulu Kau ini merasa paling benar saja!" Harlan malah bertambah kalap. Dengan kasar tangannya menarik tubuh Ayuna hingga terlepas dari rengkuhan ibunya. Anak perempuan berusia sebelas tahun itu tentu saja menangis ketakutan. Terseok-seok langkahnya mengikuti tarikan sang bapak di lengannya.
“Bang Harlan, tunggu Bang…! Katakan kemana kalian pergi….?” Bu Midah mengejar sambil mengusap airmata.
Saka tertegun di tempatnya berdiri. Kejadian bagai drama sinetron itu berlangsung di area servis rumah keluarganya yang sangat besar dan megah. Penghuni dalam rumah tak akan mendengar pertengkaran ART dan mantan suaminya yang saling memperebutkan anak gadis mereka.
Halaman rumah keluarga Saka yang melebihi lapangan sepak bola menjadi saksi bagaimana Ayuna tak berdaya setengah diseret dibawa paksa oleh bapaknya. Bu Midah mengejar dan menggapai mencoba meraih kembali putri satu-satunya, tapi kekuatan dan kecepatannya tak bisa mengimbangi laki-laki itu.
Setelah melewati pintu gerbang yang menjulang tinggi dan terbuka sedikit, Harlan menggendong anak perempuannya dan masuk ke dalam sebuah mobil yang sudah parkir di pinggir jalan raya. Mobil menderu melaju meninggalkan seorang ibu menangis pilu di balik pagar.
Saka seolah terhipnotis, bahkan tanpa sadar langkahnya terus saja tanpa sadar mengikuti mereka. Perasaannya seperti diremas kuat melihat tangis kesedihan Bu Midah. Hanya saja dirinya seperti tak punya kekuatan untuk melakukan sesuatu.
Semenjak itulah Saka tak pernah lagi bertemu Ayuna. Hanya kenangannya saja yang senantiasa hadir, terutama bila hari-hari berikutnya sering melihat Bu Midah termenung merindukan putrinya.
“Bang Saka, kalau nanti Ayun sudah es-em-pe, berangkat dan pulang sekolahnya boleh kah nebeng naik motor dengan Abang Saka?” entah berapa kali Ayuna melontarkan pertanyaaan yang sama bila mereka sedang bersama.
Masa itu paling sering mereka bertemu di sekitar teras samping yang berhadapan dengan jalan aspal menuju area servis. Saka juga sering menyapa gadis cilik itu bila dia sedang ada keperluan ke dapur.
“Berangkatnya pasti bisa bareng Ay, tapi jam pulang sekolah es-em-pe dan es-em-a itu beda tigapuluh menit. Memang Kamu nggak cape menunggu?”
“Ya, enggak papa. Kan bisa sambal main game?” Ayuna mengerling jenaka. Dia sangat senang apabila Saka mengajaknya main game di ponsel. Tak jarang Tuan Mudanya itu meminjamkan ponselnya sekaligus membelikan quota internet supaya Ayuna bisa main game untuk mengisi waktu di antara kesibukan ibunya di rumah majikan mereka.
Ayuna memanggil dengan sebutan ‘Abang’ pun atas suruhan Saka. Panggilan itu membuatnya merasa memiliki adik yang disayanginya.
“Ayun, Kamu mau nggak bilang ke Ibumu, Bang Saka pengen makan Soto daging?” lain kali maka Saka yang merayu Ayuna supaya menyampaikan keinginannya pada bu Midah. Dia sendiri kadang sungkan meminta langsung ke perempuan yang bertugas masak dan belanja di rumah keluarganya.
“Beres Bang Saka, Ayun soalnya juga suka makan Soto daging pakai perkedel. Hehehe” Ayuna terkekeh menggemaskan.
Satu atau dua kali momen yang begitu membahagiakan Ayuna, pada saat sejumlah artis ibukota tampil membawakan lagu di panggung besar di halaman rumah mewah keluarga Saka. Keluarga Saka yang kaya raya memang sering mengundang tamu artis-artis ibukota untuk memeriahkan acara yang mereka gelar.
Saka sebagai tuan muda di rumah besar itu, dengan mudah menerobos ke depan memastikan Ayuna bisa melampaui kerumunan penonton yang berjubel menyaksikan pertunjukaan musik dan joget.
Begitulah kebersamaan mereka, Saka sang tuan muda berusia enambelas tahun, remaja kelas 1 SMA masih polos dan rendah hati. Pertemanannya dengan Ayuna, gadis cilik putri bu Midah yang bekerja melayani keluarga besar Saka.
Kehilangan Ayuna membekas di hati remaja laki-laki itu, bukan hanya karena tidak ada lagi gadis cilik yang melerai kesepian dan kecangungannya di rumah besar yang mewah. Kepergian Ayuna dibawa paksa oleh bapaknya juga selalu mengingatkan Saka bagaimana perpisahan dengan ibu kandungnya.
“Bang Saka pergi kemana saja sih? Ayuna kok tidak bisa ketemu berapa hari ini?” Ayuna juga yang cerewet menanyainya bila Saka tak terlihat batang hidungnya selama dua sampai tiga hari.
“Abang pergi menemui Ibu, tinggalnya jauh dari sini. Jadi harus menginap Ay,” Saka mencoba jujur saja. Karena ia tidak bisa mengarang alasan yang lain.
“Lho, bukannya Ibu Bang Saka ada di rumah ini? “
“Iya, Ibu Bang Saka kan ada dua orang Ay….tapi tidak perlu cerita ke siapa-siapa lagi ya?”
“Masa sih? Kok bisa begitu? Ayun saja cuma punya satu ibu, itu lho namanya bu Midah.” Tentu saja Ayuna tak bisa segera mengerti. Saka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lantas dialihkannya topik pembicaraan mereka pada hal yang lebih menarik bagi gadis cilik itu. Saka segera mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi game yang biasa dimainkan Ayuna.
Saka berharap beberapa tahun ke depan, Ayuna sudah bisa mendengarkan dan memahami curhatan hatinya. Atau Ayuna mungkin bisa sekalian menghiburnya?
“Ayahmu menikahi Ibu bertujuan mencari garis keturunan laki-laki Saka, Kakakmu yang sebapak sudah tiga orang perempuan, tapi Ayahmu tetap menginginkan anak laki-laki untuk ahli warisnya, asbahnya dalam urusan agama” Ibunya berulangkali menjelaskan hal itu pada Saka.
“Tapi kenapa Ibu tidak bisa tinggal bersama Kami, atau Saka saja yang pindah ikut Ibu di sini?”
“Suatu saat Kamu akan mengerti situasinya Nak, selain itu Kau harus menerima kemauan Ayah untuk tinggal bersamanya. Ayah ingin membimbingmu Saka, sedikit demi sedikit belajar tentang usaha Tambang Batubara dan usaha lainnya yang dimiliki. Dan yang terpenting Ayah ingin seluruh keluarga besarnya dan semua relasi usahanya mengenalmu dan terbiasa dengan keberadaan Kamu sebagai anak laki-lakinya, Saka Guna Ramadhan!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments