"Aduh! Sakit banget badan gue!" Maharani meringis kesakitan saat pundaknya baru saja di tabrak seseorang. Dengan cepat ia menoleh ke samping, melihat seorang pemuda tengah membungkukan badan, mengambil kardus yang terjatuh barusan.
"Heh lu kalau jalan pakai mata dong!" ucap Maharani tanpa memperhatikan wajah si lawan bicaranya.
Pemuda itu menegakkan tubuhnya seketika dan menatap wajah Maharani.
Anjir! Cakep banget!
Maharani tak mengedipkan matanya saat melihat wajah pria di hadapannya, yang memiliki wajah seperti model luar negeri yang menawan dan mempesona. Hidung mancung, bibir bentuk proporsional, alis tebal, bulu mata lentik, dan terdapat lesung pipit di kedua pipinya serta berkulit sawo matang.
Pria itu mengerutkan dahi, melihat Maharani memandanginya dengan begitu intens.
"Maaf, bukannya yang nabrak aku tadi kamu ya?" ucapnya kemudian.
Astaga, Rani sadarlah, walaupun dia ganteng! Tapi dia bukan tipe lu!
Maharani berubah menjadi mode banteng lagi.
"Alah nggak usah ngeles lu! Lu harus ganti rugi!" seru Maharani dengan melayangkan tatapan tajam.
"Dewa nggak apa-apa?" tanya seorang pemuda yang berambut belah dua baru saja sampai.
"Iya, kamu nggak apa-apa kan?" Pemuda lainnya ikut menimpali.
Sadewa atau bisa di panggil Dewa itu menggelengkan kepalanya. Dia melirik teman-temannya sekilas. "Santai, aku baik-baik aja kok Supri, Bejo."
Maharani malah memutar mata balas.
"Aduh, maafin keponakan Bude ya, Dewa." Dengan napas tersengal-sengal Bude Sri menghampiri mereka.
"Loh kok Bude minta maaf sama dia, seharusnya dia yang minta maaf sama aku, Bude! Dia harus ganti rugi!" protes Maharani sambil menunjuk ke wajah Sadewa.
"Mau ganti rugi apa?" tanya Sadewa dengan mimik muka serius.
"Udah, udah, Dewa. Nggak usah, Rani memang suka ceplas-ceplos." Bude Sri merangkul tangan Maharani seketika. "Rani, kamu harus minta maaf sama Dewa, jelas-jelas yang salah tadi itu kamu. Kamu lupa nasihat Bude tadi malam," ucap Bude Sri begitu lembut.
Maharani merengut mendengar perkataan Bude Sri. Suara Bude Sri yang lembut namun tegas itu membuat ia tak bisa berkutik sama sekali. Teringat akan wejengan yang diberikan Bude Sri semalam, bahwa dia harus merubah sikapnya jika ingin kembali lagi ke Jakarta sebab Papinya berpesan pada Bude Sri, kalau Maharani tidak akan di suruh pulang kalau belum menjadi anak baik dan penurut.
"Ayo Mbak, minta maaf sama Dewa, lagian kita tadi lihat sendiri kan, Jo, kalau mbak-mbak ini yang jalan nggak pakai mata," ucap Supri sambil menoel lengan Bejo.
"Iya, benar itu." Bejo kembali menambahkan.
Maharani mencebikkan bibir, menatap sinis ke arah Sadewa, yang sedari tadi diam saja, entah apa yang pria itu pikirkan.
"Rani, ayo cepatan minta maaf, keburu siang kita harus ke pasar." Bude Sri kembali membujuk Maharani.
Maharani mendengus lalu terpaksa menjabat tangan Sadewa. "Maaf," ucapnya ketus.
"Hm, aku juga minta maaf tadi nggak sengaja nabrak pundak kamu," ucap Sadewa.
"Iya." Maharani berusaha menarik tangannya dari tangan Sadewa. "Heh, lepasin tangan aku dong! Sakit ini!"
Supri dan Bejo nyengir, melihat sikap Sadewa sekarang.
"Aduh bos, nakal ya!" Supri langsung menepuk pelan lengan Sadewa seketika.
"Eh, maaf-maaf." Sadewa segera menurunkan tangannya.
Bude Sri merekahkan senyuman, ketika Maharani mau mendengar perkataannya. "Dewa, ini keponakan Bude namanya Maharani, maaf ya dia masih baru di sini, kemarin baru nyampe dari Jakarta."
Sadewa nampak mangut-mangut sejenak, lalu tersenyum tipis. "Iya, nggak apa-apa Bude, saya juga tadi salah Bude, soalnya buru-buru mau pulang ke rumah."
"Hehe, iya." Bude Sri melemparkan pandangan ke arah Supri, Bejo dan Sadewa. "Memangnya kalian darimana tadi?"
"Dari warung Ko Aliong, Bude, biasa nemenin Dewa ambil titipan obat," jawab Supri sambil tersenyum lebar.
"Jadi nama keponakan Bude, Maharani ya Bude?" Bejo menimpali kemudian.
"Iya." Bude Sri menolehkan mata ke arah Maharani. "Rani, ayo cepat kenalan sama mereka, biar kamu dapat teman di kampung."
Mendengar perkataan Bude Sri, Maharani memanyunkan bibir seketika. Dengan terpaksa ia mengangkat tangannya ke udara, hendak menjabat tangan Bejo.
"Hehe tunggu sebentar, tangan aku kotor." Secepat kilat Bejo mengusap-usap tangannya ke belakang lalu menyalami Maharani. "Namaku Bejo."
"Hm, panggil aja aku Rani," ucap Maharani, sedikit ketus. Kemudian menjabat tangan Supri.
"Namaku Supri, panggil aja Akang Supri," jawabnya sambil cecengesan.
Maharani mendelikkan mata. "Ish." Lalu menurunkan tangan.
"Loh kok Sadewa nggak dijabatin tangannya? Nggak mau tahu siapa namanya?" tanya Supri, penasaran.
"Kan udah tadi! Nggak perlu tahu!" Maharani menatap tajam Supri, Bejo dan Sadewa seketika. Lalu beralih menoleh ke arah Bude Sri. "Bude, udah yuk."
Bude Sri mengangguk. "Oke, oke. Dewa, Supri, Bejo, kami mau pergi ke pasar dulu ya, keburu siang."
"Iya Bude, silakan, kami juga mau siap-siap ke sawah sebentar lagi," ucap Sadewa sambil tersenyum hangat pada Bude Sri dan Maharani.
Bude Sri dan Maharani pun melenggang pergi dari hadapan mereka.
"Wah, wah, langka nih bos, ada cewek yang nolak bos! Biasanya kan cewek-cewek histeris lihat bos." Supri menepuk pundak Sadewa, yang kini tengah memandangi punggung Maharani dari kejauhan.
"Iya, benar tuh, mana cantik lagi, kayak artis-artis Jakarta, jangan-jangan dia suka modelan kayak kita kan Sup, lihat aja tadi dia nyalamin tangan aku lama banget," cerocos Bejo.
"Sup, Sap, Sup, namaku Supri, Bejo!" protes Supri saat namanya di panggil Sup. "Ya bisa jadi, walaupun di mata semua gadis desa kita ini lalatnya Sadewa, tapi di mata cewek Jakarta kita ibaratkan artis papan dari bawah!"
Sadewa malah menggeleng-gelengkan kepala, mendengar obrolan kedua temannya. .
"Loh kok artis papan bawah, Jo?" tanya Supri, keheranan.
"Ya, iya lah nggak mungkin artis papan atas, kan yang artis papan atas itu si bos! Kita mah cukup jadi artis papan bawah."
"Oohhhhh." Supri beroh ria panjang sejenak. "Tapi–"
"Udah, udah, terserah, mau artis papan bawah atau atas, di Jakarta itu banyak cowok tampan jadi wajar-wajar saja. Sekarang kita pulang ke rumah dulu, sebelum pergi ke sawah," potong Sadewa cepat sebelum Supri dan Bejo melantur kemana-mana.
"Oke bos! Siap!" sahut Supri dan Bejo serempak sambil hormat kepada Sadewa lalu terkekeh pelan.
"Dasar semprul!" Sadewa geleng-geleng kepala lagi.
"Si bos nggak naksir sama Rani kan hehe?" tanya Bejo sambil merangkul pundak Sadewa, yang kini mulai kembali berjalan.
Sadewa nampak gelagapan. Tiba-tiba menyodorkan kardus kepada Bejo. "Iya, nggak lah, lagian aku nggak pantas naksir dia."
"Kok nggak pantas?" tanya Supri.
"Dia terlalu cantik, menurutku." Tanpa sadar Sadewa melengkungkan senyuman.
"Ciah! Si bos kok senyam-senyum sendiri, ayo, naksir kan!" celetuk Supri kemudian.
"Naksir apanya? Ambil tuh si Rani buat kalian berdua aja! Aku mau cepat pulang, biar cepat juga kerjanya." Sadewa menurunkan tangan Bejo lalu berlarian ke depan, meninggalkan Supri dan Bejo memanggil-manggil namanya.
"Bos! Ya elah si bos, kita malah ditinggalin! Kardusnya aja nggak di bawa si bos," ucap Bejo sambil melihat kardus yang di bawa Sadewa tadi berada di tangannya sekarang.
"Haha! Efek salah tingkah, Jo. Lihat aja tuh, telinga si bos sampai merah!" cerocos Supri sambil memperhatikan dari jauh telinga Sadewa tampak memerah.
*
*
*
Di sisi lain, Maharani mengedarkan pandangan di sekitar, melihat hamparan sawah luas membentang di hadapannya. Padi-padi terlihat lebat dan tumbuh di sisi kanan dan kiri jalan. Dia terkesima, melihat pemandangan yang memanjakan matanya. Udara yang segar dan suasana cerah di pagi hari ini, benar-benar menghangatkan hatinya. Ditambah lagi suara kicauan burung-burung kecil, menemani perjalanannya untuk pergi ke pasar.
"Rani," panggil Bude Sri seketika.
Maharani menoleh. "Iya Bude."
"Lain kali kamu jangan kasar-kasar ya ngomongnya, tadi itu anak-anak pemuda yang masih menetap di desa, bertemanlah sama mereka, Rani."
"Teman?" Dahi Maharani berkerut samar. "Nggak mau ah Bude, biarin Rani sendiri aja. Lagian mereka kan cowok, memangnya nggak ada anak-anak cewek di sini?" tanyanya, heran.
"Ada sih, cuma...." Bude Sri nampak berpikir keras.
"Cuma apa Bude? Nyebelin? Ya udah, biarin Rani sendiri aja, hehe. Hm lagian ya Bude, Rani nggak mau punya teman modelan kayak siapa tadi tuh Dewa!"
Sekarang Bude Sri yang mengerutkan dahi. "Memangnya kenapa toh? Anak ganteng gitu, wong dia anak yang pekerja keras, ulet dan tekun di desa ini, Rani. Biasanya kalau sore Bude suruh Dewa sama teman-temannya ke rumah Bude, anaknya baik banget."
Maharani terdiam sejenak.
"Anak-anak yang tinggal di desa, khususnya cowok, rata-rata udah merantau ke Jakarta dan jarang pulang ke sini, kamu tahu kan di desa ini penduduknya nggak terlalu ramai, jadi ya pandai-pandailah kamu mencari teman di sini, bertemanlah dengan Dewa dan kawan-kawannya." Bude Sri kembali menambahkan.
Maharani teringat perkataan Bude Sri semalam tentang keadaan di kampung yang ia tinggali sekarang. "Memangnya kerjaan Dewa apa sih Bude? Sampai Bude memuji-muji dia!" tanyanya menggebu-gebu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Firgi Septia
🤣🤣🤣😂😂
2023-06-07
0
EBI
cieee
2023-04-02
0
EBI
jalan tu pake kaki 😂
2023-04-02
0