~ Menetap di Desa

Di ufuk timur, sinar mentari mulai menyembul keluar dari tempat persembunyiannya, hendak menyinari seisi bumi. Hujan tadi subuh pun menyisakan jejak-jejak embun di dahan pepohonan taman belakang' kediaman Samsul.

Lantai tiga, tepatnya di kamar Maharani. Gadis itu mendengkur halus sambil mendekap erat bingkai foto Maminya. Pakaian sekolah yang ia kenakan masih menempel di tubuhnya sedari malam.

Bunyi ketukan dari luar kamar, membuat tidur Maharani terusik seketika.

"Non Rani, bangun Non," panggil Dono sambil menempelkan telinga di daun pintu Maharani ingin mendengar apakah anak majikannya itu baik-baik saja di dalam.

Maharani melenguh sesaat. Dalam keadaan setengah sadar dia turun dari tempat tidur lalu melangkah cepat menuju pintu.

"Hoam, kenapa Don?" Maharani bertanya sembari menguap pelan.

"Ya elah, Non. Bau jigong tahu!" Dono tersenyum jahil.

"Biarin! Tapi tetap cantik kan?" Maharani menggerakan badan ke kanan dan ke kiri sejenak, meregangkan sedikit otot-ototnya yang sakit akibat posisi tidurnya semalam tak karuan.

"Ya deh, cantik, hehe, Non Maharani kan selalu cantik!" celetuk Dono sambil memperhatikan mata Maharani nampak sembab.

"Jelas!" Maharani mengangkat dagunya dengan angkuh sedikit. "Tumben bangunin gue pagi- pagi, ini kan hari minggu Don," selorohnya, kebingungan mengapa Dono menganggu mimpi indahnya barusan.

"Anu Non..." Dono tampak salah tingkah, sepertinya Maharani lupa akan perkataan Papinya kemarin.

Dahi Maharani berkerut samar. "Anu apa Don? Anu lu kenapa?"

"Si Ipul mah nggak apa-apa, Non." Dono malah cenggesan.

"Ha?" Maharani melonggo. "Ipul?"

"Hehe." Dono menoleh ke bawah sejenak. "Ini nih si Ipul namanya, Imut dan Powerpull."

Maharani memutar mata malas mendengar ocehan Dono yang terkadang ngalor ngidul. "Terserah lu dah, lah terus anu kenapa?" tanyanya lagi.

"Non lupa ya, kemarin Den Samsul nyuruh Non Rani ke kampung, mulai hari ini Non menetap di sana sama Bude Sri," ucap Dono sangat hati-hati. Dia serba salah saat melihat riak muka Maharani berubah drastis saat ini.

"Jadi Papi benar-benar asingin gue ke kampung? Apa gue bukan anak kandung Papi, ya Don?" ucap Maharani seketika.

"Hush! Non jangan ngomong gitu, Non itu anak kandung Aden Samsul Jamaludin. Den Samsul nyuruh untuk Non tinggal di sana pasti tujuannya baik."

"Kalau iya, kenapa dia malah kirim gue ke sana..." lirih Maharani dengan mata mulai berkaca-kaca.

Dono kalang kabut. Secepat kilat ia berpikir bagaimana caranya membuat Maharani tertawa.

"Balonku ada tiga, rupa-rupa warnanya, hijau, kuning, kelabu, merah muda dan biru." Dono bernyanyi di hadapan Maharani sambil menggerakkan tubuhnya ke segala arah.

Dengan berurai air mata, Maharani tertawa pelan. "Don, itu mah bukan tiga, tapi lima Don!" protesnya sambil mengusap cepat cairan bening di pelupuk mata.

"Hehe, tiga ya Non, maaf ya Non, maklum sekolah cuma sampai SD. Itupun cuma sampai kelas 1 SD." Dono terlihat senang, kala mendengar suara tawa Maharani. "Sekarang Non siap-siap ya, sebentar lagi kita berangkat, hitung-hitung Non liburan di sana hehe." Dono kembali menambahkan.

"Iya Don, elu baek-baek di sini, gue mau ke kampung, jadi di sini nggak ada yang jagain elu lagi!" seloroh Maharani, sedikit terhibur dengan tingkah Dono barusan.

"Hehe siap Non cantik!" Dono mengangkat dua jempolnya ke udara.

*

*

*

"Mas, hati-hati ya di jalan, maaf aku nggak bisa ikut soalnya nanti jam 10 pagi perkumpulan sama teman-teman." Mirna merekahkan senyuman manisnya pada Samsul, yang kini sudah di dalam mobil bersama Maharani.

"Iya, aku nggak lama kok, kamu jenguk Rara gih, suruh dia sarapan, kasihan dia belum ada makan dari semalam."

Cih! Gue aja dari semalam nggak makan, kagak lu pikirin! Bapak lucknut lu!

Maharani menatap lurus ke depan, enggan melihat kemesraan yang ditampilkan Samsul dan Mirna saat ini.

"Kamu jangan nyusahin Bude Sri ya di sana, Rani!" kata Mirna dengan ketus tiba-tiba.

Enggan membalas, Maharani malah memutar mata malas ke atas.

***

Setelah pamit pada Mirna, mobil pajero sport berwarna hitam itu melesat laju meninggalkan pelataran rumah Samsul.

"Rani, Papi minta kamu untuk jadi anak baik di sana, Bude cuma seorang diri di sana, jikaperlu ikutlah dia membajak sawah, tujuan Papi kirim kamu ke sana, maksudnya baik kok." Samsul mulai membuka suara kala di dalam mobil begitu hening.

Maharani tak merespon sama sekali. Dia tengah asik memandangi jalan raya dari kaca jendela.

Samsul menarik napas panjang, menatap putrinya dengan tatapan yang tak bisa terbaca sama sekali sekarang.

"Hehe, ya Non, siapa tahu saja di sana ada petani tampan, sekali berenang minum air." Dari kursi depan, Dono menimpali bermaksud ingin mencairkan suasana.

"Ya elah, Don. Sambil menyelam minum air, itu yang benar," kata Maharani cepat.

"Nah itu Non, hehe."

Saat melihat interaksi anaknya dan bawahannya, Samsul sedikit kesal. "Rani, kamu dengar kan kata Papi tadi."

"Iya dengar!" balas Maharani dengan ketus.

Samsul menarik napas panjang, kala Maharani seakan tak menghormatinya sama sekali sekarang.

Selang beberapa jam, Maharani sudah tiba di perkampungan yang letaknya sangat jauh dari ibu kota.

Maharani mengedarkan pandangan, melihat rumah berdinding kayu dan tampak asri tepat di hadapannya, yang lumayan indah, menurutnya karena ada tanaman bunga-bunga di depan teras. Namun, pemandangan di pekarangan rumah tiba-tiba membuat ia mual-mual.

"Non ayo turun," panggil Dono dari luar.

Maharani mengangguk lalu keluar dari dalam mobil.

"Ih, kok ada tai ayam si Don?" Dengan hati-hati Maharani melangkah, sebab di tanah berwarna kuning itu terdapat kotoran ayam yang bertebaran di mana-mana. Dia menutup hidungnya seketika.

"Kearifan lokal ini mah, Non." Dono mengangkat tas Maharani dari bagasi.

Maharani mendengus pelan.

"Sri, aku sudah datang!" panggil Samsul di depan pintu rumah tersebut.

Detik selanjutnya, pintu pun terbuka, memperlihatkan seorang wanita berwajah bulat menyambut kedatangan mereka. Siapa lagi kalau bukan Bude Sri, adik kandung Samsul.

"Wah sudah datang toh, ayo masuk!" Bude Sri mempersilakan Samsul, Dono dan Maharani masuk ke dalam.

Tanpa banyak kata, Maharani mengambil tasnya dari tangan Dono kemudian masuk ke dalam rumah terlebih dahulu melewati Bude Sri, Samsul dan Dono.

"Maaf Sri atas sikap Maharani memang seperti itu, makanya aku suruh dia tinggal di sini, biar kamu didik dia dengan benar, aku sudah capek meladeninya," ucap Samsul masih di depan pintu.

Bukannya marah, Bude Sri malah tersenyum simpul. "Iya, Bang. Ayo masuk dulu, aku buatin teh es pasti kecapean kan?"

"Nggak dulu deh, kebetulan aku juga harus kejar waktu Sri, aku mau ke kota sebelah juga, ngurus bisnisku." Samsul menolak dengan halus sambil mengedarkan pandangan di sekitar rumah Bude Sri.

"Oh gitu, yakin, nggak mau mampir sebentar," Bude Sri kembali menawarkan.

"Nggak usah, kamu bahagia tinggal di sini Sri?" Samsul menoleh ke kanan dan ke kiri. Seakan jijik melihat rumah berlapis kayu tersebut.

"Memangnya kenapa toh, Bang. Tentu saja aku bahagia walaupun suami aku sudah tiada tapi kenangan nggak bisa terlupakan Bang."

Samsul menghela napas mendengar perkataan adiknya itu, yang menurutnya aneh. Sudah tahu suaminya meninggal, malah menetap di kampung mendiang suaminya itu padahal dulu ia sudah menawarkan rumah pada adiknya itu.

"Em ya deh, aku pergi dulu." Samsul dan Dono pamit undur diri kemudian. Meninggalkan Bude Sri berdiri mematung di depan teras rumah.

"Rani, kok malah melamun?" tanya Bude Sri sambil membuka lebar pintu utama depan dan mengganjal pintu dengan batu agar tak tertutup kembali.

Maharani menarik napas panjang. "Ngelamunin hidupku, Bu–eh!"

Perkataan Maharani terjeda kala Bude Sri memeluknya tiba-tiba.

"Kamu udah besar saja, Rani. Bude kangen banget sama kamu, terakhir kamu ke sini pas kamu umur 10 tahun sama Mami kamu." Bude Sri mendekap erat tubuh Maharani.

Maharani tergelak. Sentuhan yang diberikan Bude Sri mampu membuat hatinya menghangat. Memang benar, sudah lama sekali ia tak bertemu Bude Sri. Dia pun tidak tahu mengapa Bude Sri tak pernah berkunjung ke Jakarta.

Maharani hanya tahu Bude Sri adalah seorang janda yang tidak memiliki anak, alias hidup sendiri di kampung suaminya ini.

"Kamu pasti capek kan? Sekarang kamu istirahat di kamar ya, kamar kamu di situ, maaf kalau kamarnya seadanya saja. Bude mau buatin kamu kue kesukaan kamu dulu." Bude Sri melepas pelukan lalu mengecup singkat kening Maharani. Meninggalkan Maharani yang membeku di tempat.

***

Sebelum merebahkan dirinya di atas kasur, Maharani memperhatikan keadaan kamarnya, yang berbanding terbalik dengan kamarnya dulu.

Terdapat kasur usang berukuran kecil, lemari kayu kecil, meja dan kursi munggil di setiap sudut ruangan. Dia menerka-nerka mengapa Bude Sri hidup sederhana, sementara dia tahu kalau Papinya adalah anak orang kaya.

Tak mau terlalu banyak berpikir, Maharani memutuskan untuk tidur saja meskipun kasur yang ia baring kini sangatlah tak nyaman dan sedikit bau apek.

Malam harinya, Maharani terpaksa terbangun saat Bude Sri menyuruhnya mandi dan makan malam bersama.

Di sela-sela makan, Bude Sri mengajak Maharani mengobrol, meminta Maharani untuk mengubah cara berbicara dan gaya pakaiannya. Maharani manggut-manggut saja, meskipun jarang bertemu, Bude Sri berhasil membuat Maharani patuh. Dia melihat Bude Sri seperti Maminya sendiri yang lemah lembut dan perhatian.

"Anggap saja Bude ini Mami kamu ya," ucap Bude kemudian meneguk air putih.

Maharani tersenyum hangat. "Iya Bude."

Setelah selesai makan, Maharani dan Bude Sri tak langsung ke kamar. Keduanya masih asik bercengkrama, melepas kerinduan terpendam selama ini. Sampai pada akhirnya rasa kantuk melanda keduanya dan akhirnya mereka memutuskan mengistirahatkan diri di kamar masing-masing.

*

*

*

Keesokan harinya, Maharani yang tengah-tengah menyelami ruang mimpinya merasa terganggu dengan suara ayam berkokok di pagi hari.

"Aduh, berisik amat dah!" Dengan mata terpejam, Maharani ngedumel sendiri.

"Rani, bangun, ayo ikut Bude ke pasar!" Bude Sri menyembul dari balik pintu kamar Maharani. Melihat Maharani masih tergolek di atas tempat tidur.

"Lima menit lagi Bude, tanggung nih," Maharani berkata tanpa membuka mata.

"Eh, nggak ada lima menit, lima menit, ayo keburu siang nanti!" Bude Sri duduk di tepi ranjang sambil mengelus pelan rambut panjang Maharani. "Ayo bangun, Nduk."

Mau tak mau Maharani membuka mata dan terpaksa ikut bersama Bude Sri, dalam keadaan muka bantal alias tanpa cuci muka dan gosok gigi.

"Rani, kamu nggak cuci muka tadi?" Bude Sri berjalan di samping Maharani.

"Nggak, ngapain Bude, Maharani selalu cantik apa adanya, udah yuk kita agak cepatan biar balik ke rumahnya juga cepat," ucap Maharani sambil mempercepat langkah kakinya, meninggalkan Bude Sri di belakang sendirian.

"Ayo Bude! Lambat banget sih, kayak siput tahu!" Maharani berseru tanpa melihat ke depan, tersenyum jahil pada Bude Sri.

Bruk!

"Awh!"

"Rani! Dewa!"

Terpopuler

Comments

Navid Ajha

Navid Ajha

namanya bude ya pasti kakak dari ayah atau ibu... bukan malah adiknya

2023-09-16

1

EBI

EBI

😅😅😅

2023-04-02

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!