Kedua mata Maharani nampak berkaca-kaca. Tak menyangka Papinya menamparnya tiba-tiba, tanpa sebab dan tanpa akibat.
"Papi..." lirihnya pelan. "Kenapa Papi tampar Rani?"
Pria yang tubuhnya masih terlihat segar dan bugar itu, tak berniat menggubris pertanyaan putrinya barusan. Dia malah mengalihkan pandangan ke arah Dono.
"Dono, sini kamu!" panggil Samsul kemudian.
Dono salah tingkah. Kedua tungkai kakinya bergerak cepat mendekati majikannya.
Membungkuk sedikit, Dono menelan ludahnya berkali-kali. "Iy-a, Den," jawabnya sedikit terbata-bata.
"Bawa Rara pergi dari sini, sekarang hapus video yang kamu rekam barusan! Terus urusin semua orang di sini, jangan sampai mereka nyebarin kejadian ini ke semua orang! Paham!" titah Samsul.
Dono mengangguk pelan, curi-curi pandang sejenak ke arah Maharani, yang sekarang tengah meneteskan air matanya.
Penghuni kos dan beberapa warga yang sempat melintas di tempat kejadian langsung dibubarkan Dono. Setelah itu Dono memapah Rara masuk ke dalam mobil yang biasa ia gunakan untuk mengantar jemput Maharani.
Suasana mendadak hening sejenak.
"Sekarang kamu, masuk ke dalam mobil Rani!" Setelah melihat situasi sedikit kondusif Samsul menarik tangan putrinya.
"Nggak mau, Pi!" Maharani mengibas cepat tangan Samsul. Melayangkan tatapan tajam pada Papinya karena begitu kecewa atas sikap Papinya barusan.
"Jangan melawan kamu, Maharani!" Dengan mata berkilat menyala, Samsul menyeret paksa Rani menuju mobilnya.
"Argh! Lepasin! Gue mau kasi pelajaran sama anak lu itu ha!" Rani tak peduli lagi memanggil Papinya dengan sebutan elu dan gue. Hatinya benar-benar hancur, bagaimana seorang ayah kandungnya sendiri malah membela anak sambungnya itu.
Plak!
Sebuah tamparan lagi mendarat tepat di pipi Maharani.
Maharani sangat terkejut. Semarah itukah Papinya, menampar anaknya sendiri untuk kedua kalinya. Sorot mata Samsul sangat menakutkan bagi Maharani sekarang. Anak gadis itu tiba-tiba tak berkutik. Rasa sakit yang didapatkan dari perlakuan papinya barusan ternyata lebih sakit dari melihat perselingkuhan pacar dan kakak tirinya tadi. Maharani pun pasrah saat tangan di cekal dan di cengkram kuat oleh Papinya sekarang.
Di dalam mobil.
Maharani duduk di belakang kursi supir, sementara Samsul di sampingnya tengah menutup sambungan telepon dari Mirna, ibu tirinya.
"Jadi anak bandel banget kamu! Ngapain kamu mempermalukan Rara di depan umum! Seharusnya pulang sekolah, kamu langsung ke rumah, bukannya keluyuran! Sebentar lagi mau ujian Rani! Nilai kamu itu semuanya jelek! Mau jadi apa kamu nanti ha!" teriak Samsul tiba-tiba.
Dengan napas memburu, Maharani menoleh. "Apa? Keluyuran? Kata Papi, gimana dengan Rara, dia juga keluyuran. Dia juga nilainya jelek, kenapa harus aku yang di suruh belajar? Papinya nggak suka kalau aku mempermalukan anak kesayangan Papi itu! Asal Papi tahu Rara sama Tomi di kosan tadi berhubungan badan! Papi tahu nggak! Aku ini pacarnya Tomi, Pi!" balasnya, menggebu-gebu.
"Nggak ada yang nyuruh kamu pacaran! Ya itu terserah Rara, dia sudah besar! Di ibu kota sudah hal yang lumrah hubungan **** sebelum nikah!"
Maharani tercengang. Apa dia tidak salah mendengar? Papinya malah memaklumi perbuatan Rara.
Lidahnya kaku seketika, Maharani tak mampu berkata-kata lagi sekarang. Walaupun bertahun-tahun berpacaran dengan Tomi. Tapi dia tak pernah dia memberikan mahkotanya kepada Tomi. Sebab Maharani tahu betul, mahkota tersebut hanya untuk suaminya kelak.
Meskipun selama ini, Tomi selalu memaksanya, tapi Maharani tetap kekeh pada pendiriannya dan jika di ajak berhubungan badan akan selalu beralasan. Maharani tak mengerti dengan pemikiran Papinya.
Selang beberapa menit, mobil mewah berwarna hitam itu berhenti tepat di pekarangan rumah elit.
Dari pintu utama, seorang wanita berambut pendek berlarian menghampiri Samsul. Raut wajahnya seperti menahan amarah. "Sayang!"
Samsul merekahkan senyuman, melihat Mirna menapaki tangga rumahnya. Dia melirik Maharani sekilas, yang masih di dalam mobil, tengah termenung sedari tadi.
"Sayang, Rara luka-luka, sebenarnya apa yang terjadi? Tadi kata Dono, Rani nampar Rara, benar begitu?" tanya Mirna sambil memeluk Samsul sejenak.
Lima menit yang lalu, Rara dan Dono sudah datang terlebih dahulu ke rumah.
"Nanti kita cerita, sekarang kita ke dalam dulu."
Mirna mengangguk paham lalu merangkul cepat tangan Samsul.
Sebelum masuk ke dalam rumah, Samsul memberi kode supirnya, menyuruh Maharani untuk masuk ke rumah.
Dari dalam mobil, sang supir mengangguk patuh. Lalu memanggil Maharani.
"Non, sudah sampai, Den Samsul suruh Non masuk ke dalam rumah."
Lamunan Maharani buyar seketika saat namanya di panggil. Kepalanya celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri dan baru menyadari jika dirinya sudah di rumah.
Maharani tersenyum getir lalu mengusap cepat jejak tangisnya di pelupuk matanya. "Eh, iya, pak."
*
*
Plak!!!
Belum beberapa langkah Maharani bergerak masuk ke dalam. Maharani terlonjak kaget saat lagi dan lagi harus mendapatkan tamparan.
Maharani mengusap pipinya sesaat, menatap Mirna di hadapannya, tengah melayangkan tatapan tajam.
"Apa-apan lu!" Maharani berseru sambil melebarkan mata.
"Kamu yang apa-apaan? Kenapa kamu menyakiti anakku? Memangnya apa salah dia!" teriak Mirna dengan tangan terkepal kuat dan mata melotot keluar.
Maharani tersenyum sinis, melirik Samsul sekilas, yang sekarang duduk di sofa, ruang tamu. Pria itu tampak sedang berpikir keras, tak berniat melerai ataupun ikut campur urusan anak dan istrinya itu.
"Cih! Lu pura-pura kagak tahu atau apa? Anak kebanggaan lu itu, ngangkang sama pacar orang! Jadi wajar-wajar aja gue nampar dan jambak Rara! Kenapa? Lu nggak suka?" Maharani menantang balik Mirna.
Maharani tahu betul dulu Mirna adalah teman baik Ibunya. Wanita itu sangat lemah lembut dan memberikannya kasih sayang pada Maharani. Namun, seiring berjalannya waktu sikap wanita itu berubah. Entah apa yang terjadi, Maharani tak peduli karena ulah Mirna dan Rara membuat sikap Papinya berubah juga.
"Alah! Palingan itu akal-akalan kamu kan! Lagian mereka ngelakuin juga atas dasar suka sama suka!" seru Mirna.
Kali ini Maharani tak habis pikir, ternyata pemikiran Papi dan Mami sambungnya sama saja. Enggan menyahut, dia malah melenggoskan muka ke samping, melihat Dono di ambang pintu utama' tersenyum kikuk padanya.
Maharani memalingkan muka lagi ke sembarang arah. Tak berniat membalas senyuman Dono.
"Mas! Aku nggak mau tahu! Rani harus dikasi pelajaran! Kasihan Rara Mas, dia pasti trauma, Rara masih di dalam kamar Mas nggak mau keluar sama sekali dari tadi! Rani sudah keterlaluan! Nilainya jelek, bukannya belajar untuk ujian sekolah malah keluyuran nggak jelas! Usir saja dari rumah ini Mas!" Mirna membuka suara lagi.
Maharani menoleh. Tanpa pikir panjang melayangkan tamparan di pipi Mirna.
"Awh! Mas!" Mirna terkejut, secepat kilat menyentuh pipinya yang terasa panas sekarang.
"Jaga batasan lu, Mirna! Lu bukan siapa-siapa di sini, rumah ini milik Mami gue juga!"
"Maharani!!!" Dari sofa Samsul bangkit berdiri. Dengan tangan terkepal kuat, menghampiri Maharani dan Mirna.
"Apa? Mau tampar aku lagi? Silakan! Tuan Samsul Jamaludin!" Habis sudah kesabaran Maharani. Rasa hormat dan adabnya terhadap Papinya tak ada lagi mulai hari ini. Sebab untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Papinya berbuat kasar padanya.
"Kamu!" Samsul hendak mengangkat tangan ke udara.
"Den, jangan Den, kasihan Non Rani." Entah sejak kapan Dono berada di samping Maharani. Pria berkumis tipis itu tengah menahan tangan Samsul.
Samsul mendengus lalu menurunkan tangannya seketika. "Mulai besok kamu cuti sekolah, Rani. Papi akan mengirimmu ke desa, tinggal sama Bude Sri, biar kamu bisa merenungi perbuatan kamu itu!" serunya kemudian.
Mirna tersenyum lebar, mendengar perkataan suaminya itu.
Maharani tak menjawab. Tengah menahan diri agar tak mengeluarkan kata-kata kotor. Mau melawan pun percuma rasanya. Dia hanya mampu menarik dan menghembuskan napasnya dengan kasar.
Dono menatap sendu Maharani. Tangan kanannya langsung mengelus pelan punggung belakang anak majikannya itu.
"Mas, pipiku sakit," ucap Mirna tiba-tiba, dengan raut muka sedih.
Samsul menoleh lalu mengusap-usap pelan pipi istrinya itu. "Kasihan, maafin aku sayang, sini aku obatin biar berkurang sakitnya."
Semakin mendidih darah Maharani, melihat kemesraan Papi dan Mami tirinya itu. Tanpa banyak kata, dia berjalan cepat, mendekati tangga besar.
"Non!" panggil Dono. Melihat Maharani pergi dengan raut muka yang terlihat sangat sedih.
"Biarkan saja Don, lebih baik kamu telepon orangtua Tomi sekarang," ucap Samsul setelah mengelus-elus pipi Mirna barusan.
Dono mengangguk pelan. Kemudian berlalu pergi dari hadapan majikannya.
*
*
*
Malam pun tiba. Maharani belum juga beranjak dari tempat tidurnya sejak tadi sore. Sedari tadi dia menangis dalam diam, sambil memegangi bingkai foto kecil. Yang di dalam ada seorang wanita berkerudung warna pink tengah duduk di bawah pohon dan menebarkan senyuman hangat.
"Mami..." lirih Maharani dengan air matanya tak hentinya mengalir.
Sudah belasan tahun lamanya, Maharani menahan rindu kepada mendiang Maminya. Walaupun masih memiliki Papinya, dia merasa hidup sebatang kara. Sebab Papinya melupakan tanggungjawabnya sebagai seorang ayah. Kematian mendadak Maminya, membuat Maharani benar-benar terpukul dan kehilangan arah.
"Rani rindu Mami..." ucapnya sambil mengigit bibir bawahnya sedikit. Menahan rasa sesak yang menyeruak ke relung hatinya saat ini.
Entah apa yang terjadi besok harinya, hidup Maharani selalu penuh dengan kejutan. Pengkhianatan Tomi dan ketidakadilan yang ia dapatkan di dalam rumah ini. Membuat Maharani bertanya-tanya, apakah ada kebahagian untuknya suatu saat nanti.
Maharani nampak sesenggukkan sekarang. "Mami...." Tanpa sadar ia menutup perlahan kelopak matanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
D . K. T.
orang tua biadab itu ko anak tiri berbuat tak senonoh di perboleh kan😤
2023-09-29
0
Septya Tya
baru 2 bab udh mengandung bawang aja ini😥😥😥
2023-09-14
0
EBI
buset dah
2023-04-02
0