Hari demi hari pun dilalui oleh Ana dengan napas yang terus saja diembuskan begitu panjang.
Semua pekerjaan yang selama ini diberikan oleh Richard tidak pernah ada yang benar.
Ana merasa dirinya tidak pernah dianggap sebagai karyawan atau pekerja di mata pria itu. Justru yang ada ia seperti diperlakukan sebagai seorang budak oleh pria itu.
Ana bisa merasakan jika Richard sengaja menjadikannya sebagai budak di kantor itu.
Ingin rasanya ia mengajukan protes dan komplain kepada sang atasan. Namun, apa dayanya karena sebuah surat perjanjian yang telah ditandatangani olehnya.
Ana tidak bisa menolak karena memang sudah ditetapkan seperti itu. Jika menolak siap-siap saja Ana harus membayar uang yang bahkan untuk saat ini 20 ribu saja dirinya tidak memiliki.
"Cepat gosok sepatu saya. Ambil lap di sudut ruangan itu lalu bersihkan sepatu saya ini. Lain kali, jangan lupa untuk kamu bersihkan ruangan meeting. Entah apa yang kamu kerjakan selama ini sampai-sampai ruangan itu masih bisa sangat kotor," tutur Richard membuat dahi Ana berkerut.
"Maaf Pak sebelumnya. Bukankah pekerjaan saya tidak sampai ke ruang meeting, Pak? Itu kan semuanya kerjaan dari para OB di kantor ini, Pak. Jika saya juga yang mengerjakannya lalu apa yang akan mereka kerjakan nantinya?" tanya Ana kali ini lebih kepada meluruskan.
Mungkin saja, sang atasan lupa akan keberadaan para OB di kantor ini.
Sorot matanya pun tampak menajam. Menusuk tepat ke dalam iris mata Ana.
Ana terlihat menelan saliva-nya dengan susah payah. Tatapan tajam dari pemuda itu membuat dirinya tak mampu berkutik apapun lagi.
"Kamu pikir saya sudah pikun sampai lupa keberadaan OB? Apa kamu ingin mencoba mengatakan takut mereka akan makan gaji buta jika semua pekerjaan di kantor ini saya limpahkan kepada kamu semuanya? Apa perduli saya dengan semua itu? Apa kamu lupa dengan rumah dan segala fasilitas yang kamu dapat? Bukankah itu tidak sepantasnya orang yang cuman saya suruh menjadi asisten pribadi saya dapatkan? Hm, ralat bukan asisten lebih tepatnya adalah budak. Apakah ada budak yang dibayar sebanyak itu?" tanya Richard dengan nada pelan namun penuh penekanan di setiap katanya.
Ana pun bergeming. Ia tidak bisa memberikan balasan apapun lagi jika kasusnya sudah menjadi seperti sekarang.
Ana menatap lurus ke arah manik mata hitam itu sebelum akhirnya hanya mampu menganggukkan kepalanya lemah.
Sekedar informasi, sekarang Ana dan keluarganya sudah pindah rumah. Mereka tidak lagi tinggal di rumah yang lebih tepat disebut gubuk itu. Rumah mereka jauh lebih layak dan dapat dikatakan sangat bagus.
Richard memberikan rumah yang sedang namun berlantaikan dua itu. Ia juga membelikan Ana motor karena memang hanya motor matic yang bisa Ana kendarai.
Jika dilihat dari ekonomi keluarga Ana. Sekarang memang sudah sangat jauh lebih baik. Hanya saja, setiap harinya akan ada saja pekerjaan tidak masuk akal yang diberikan oleh Richard kepada Ana.
Untungnya kadang ada Aldi yang siap membantunya. Terlebih pada pekerjaan berat.
"Angkat kardus itu. Bawa ke gudang. Saya mau sekali angkat saja. Tidak perduli bagaimana kamu membawanya tapi itu mau saya. Ingat, diangkat sendiri!" tekan Richard tak terbantahkan.
Ana pun bergeming sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya.
Ia menatap tiga kardus yang berukuran cukup besar itu.
Jika ia angkat ketiganya langsung maka kemungkinan besar tingginya mencapai lebih dari atas kepalanya.
Meski kini keringat dingin sudah mengucur deras dari keningnya karena masih belum makan sedari tadi. Ana tetap mencoba sekuat tenaga untuk mengangkat semua kardus itu dalam sekali waktu.
Langkahnya terbata-bata. Syukurlah, saat sekitar 10 langkah dari ruangan Richard. Ana bertemu dengan Aldi dan langsung membuat pria itu menghentikan dirinya.
Aldi membawa dua kardusnya sementara satu lagi tetap di bawa oleh Ana. Gadis itu mengatakan, jika itu pekerjaannya. Jadi ia harus tetap membawa satu kardus itu.
"Ini keterlaluan, Ana. Maafkan temanku itu. Richard memang kadang seperti ini kepada orang yang ia rasa ada di bawahnya. Kamu gak bisa terus angkat benda-benda berat kayak gini. Ini berlebihan. Wajah kamu bahkan udah pucat banget sekarang. Kamu pasti belum makan, kan?" tanya Aldi membuat Ana tak mungkin bisa berbohong.
Sebenarnya ternyata Aldi itu dulunya kuliah dengan jurusan psikolog. Namun, karena orang tuanya dengan orang tua Richard sudah kenal sejak lahir.
Demi mengawasi kinerja dari Richard, Aldi terpaksa untuk masuk ke kantor itu saja dulu. Namun, tak jarang ia masih menjalani profesinya sebagai seorang dokter itu.
"Udah, Pak Aldi. Saya tidak apa-apa kok. Anda tidak perlu terlalu mencemaskan tentang keadaan saya. Nanti setelah mengantar ini, saya pasti bakalan makan kok. Pak Aldi tenang aja. Terima kasih sudah mau membantu saya lagi. Padahal saya seringnya hanya merepotkan Pak Aldi saja," balas Ana merasa tak enak hati.
Aldi pun menggelengkan kepalanya pelan, tak menyetujui apa yang dikatakan oleh gadis di sampingnya itu.
Setelah mengantarkan barang-barang yang harus dibawa oleh Ana itu ke gudang tempatnya diletakkan. Aldi pun berpamitan pada gadis itu karena ada urusan yang masih harus ia selesaikan.
Katanya, ada laporan keuangan seperti itu. Ana juga tidak mengerti apa maksudnya yang penting, gadis itu hanya menganggukkan kepalanya seakan paham.
"Hari ini, aku bakalan makan menu pertama yang Ibu masak. Udah lama banget gak makan, masakan Ibu yang dulu. Syukurlah sekarang semuanya sudah lebih baik. Meski aku harus kerjain apapun seperti ini di kantor. Asalkan, keluarga aku di rumah bisa hidup dengan layak. Terima kasih untuk semua rencana yang sudah kau susun. Aku janji, tidak akan pernah mengecewakan kepercayaan yang sudah sang pencipta sendiri percayakan ke aku. Aku akan pastikan orang tuaku hidup dengan layak," gumam Ana berjalan begitu semangat.
Bayangan bagaimana lezatnya masakan sang Ibu masuk ke dalam perutnya yang sudah keroncongan itu membuat senyuman mengembang sempurna di wajah Ana.
Baru saja Ana akan pergi menuju tas-nya yang melewati posisi Richard itu. Langkahnya seketika terhenti ketika mendengar suara yang keluar dari mulut pemuda itu.
"Mau kemana kamu? Cepat bersihkan kaca atas itu. Kacanya sudah berdebu. Sebelum itu, kamu turunkan vas foto yang ada di dekat kacanya itu. Itu vas foto mahal banget," tutur Richard tanpa mengalihkan pandangannya pada Ana.
Ana ingin menolak namun ingatannya menyadarkannya. Ia lalu menyahut ya sebelum akhirnya mengambil tangga.
Dengan kaki yang bergetar ia menaiki tangga itu. Hingga saat vas foto yang dimaksud oleh Richard telah berpindah di tangannya.
Tangannya seolah lemah. Wajahnya menjadi sangat pucat. Kepalanya seolah berkunang-kunang. Ia merasakan tubuhnya seolah melayang saat ini.
Tepat saat itu, Aldi datang dengan membawa berkas di tangannya. Matanya membulat saat mendapati Ana yang tampak akan terjatuh itu.
"Ana!" teriak Aldi untung tepat sekali.
Ana jatuh dalam gendongannya, gadis itu semakin pucat dan tak sadarkan diri kemudian.
"Sekeras inikah hati lo, Richard?! Lo mau bunuh cewek yang selaku lo jadikan budak ini? Apa lo pengen uang yang lo kasih ke dia dibayar sama nyawa dia, huh?!" bentak Aldi penuh amarah.
Richard diam seakan masih mencerna apa yang terjadi kala itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments